Dimensi Keagungan Sayidah Fathimah as yang Sulit Terselami (1)
“Kepribadian yang memiliki ribuan dimensi ilahi, yang masing-masing tidak dapat diungkapkan oleh pena dan lisan! Tidaklah mungkin bagi siapa pun untuk mengetahui sifat kepribadian Sayyidah Fathimah, Al-Mardhiyyah, Ash-Shiddiqah, kecuali bagi mereka yang telah menaiki tangga dimensi ilahi hingga puncaknya, yang hanya dapat dicapai oleh mereka para Nabi ulul azmi dan para Maksumin as.“ Sayyidah Fathimah as sedemikian dalam tahap ilahi yang ghaib, telah muncul di dunia ini dalam wujud seperti ayahnya dan suaminya dalam bentuk Insan yang nyata untuk menunaikan peran dalam risalahnya pada ruang lingkup semesta alam dari mengajar, belajar dan menyebarkan budaya Islam, dan menentang para tiran agar terbentuk pemerintahan yang adil, realisasi hak asasi manusia dan penghadangan ajakan setan.” (Imam Khomaeni)
Kemiripan Radius Otoritas Fathimah as dengan Rasulullah Saw
Semakin tinggi tingkat spiritual seseorang maka semakin luas pula radius dan kapasitas otoritas yang Allah Swt berikan kepadanya. Muhammad Rasulullah Saw adalah makhluk termulia Allah Swt yang memiliki keluhuran tingkat spiritualitas yang tak tertandingi oleh makhluk manapun sehingga pengutusan beliau bersifat rahmatan lil ‘alami (QS al-Anbiya:107),
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ) (
Sedang Sayyidah Fathimah as yang disebutkan dalam beberapa sumber hadis muktabar seperti Shahih Bukhori, Shahih Muslim, Sunnan Turmidzi, Mustadrak Shahihain, sebagai belahan jiwa Rasulullah, “Fathimah belahan jiwaku…
(فاطمة بضعة مني)
Dalam ilmu shorof, kata bidh’un (“بضع) yang diartikan ‘belahan atau bagian’ ialah kemiripan yang mencapai 70% hingga mendekati 100%, bukan kurang dari itu. Hal ini, meniscayakan Sayyidah Fathimah as memiliki radius dan kapasitas yang mirip ayahandanya, hingga beliau dinyatakan sebagai sayidatu nisai’l ‘alamin, penghulu segenap para wanita. Sayyidah Fathimah as memiliki kemiripan dengan mahkluk termulia hingga seratus persen dalam kemuliaan, keagungan, kebaikan dan dimensi-dimensi kesempurnaan lainnya.
Manifestasi Sifat Jalaliyyah (Keagungan) dan Jamaliyyah (Keindahan) Alloh Swt (Radhiyah & Mardhiyah)
Nabi Muhammad Saw dalam berbagai ungkapan telah memperkenalkan sosok Sayyidah Fathimah as. Namun, terdapat satu riwayat sahih yang sangat mengagumkan, telah menyebutkan putrinya sebagai jelmaan sifat jalaliyyah dan jamaliyyah Allah Swt. Rasulullah saw bersabda, “Wahai Fathimah, sesungguhnya Allah akan murka karena kemurkaanmu, dan akan ridho karena keridhoanmu.” [Mustadrak ash-Shahihain, jil 3, hal 153]
Dalam sudut pandang irfani, sifat-sifat Allah Swt dapat diklasifikasikan pada sifat jalaliyyah (keagungan) dan jamaliyyah (keindahan). Marah atau murka merupakan salah satu bentuk pengejawantahan sifat jalaliyyah. Sedangkan ridho atau rela merupakan salah satu bentuk pengejawantahan sifat jamaliyyah.
Kemurkaan Sayyidah Fathimah as tolok ukur kemurkaan Allah, dan keridhoan Sayyidah Fathimah as tolok ukur keridhoan Allah. Karena beliau merupakan jelmaan dan manifestasi keagungan dan keindahan Allah Swt, juga merupakan pengejawantahan (madzhar) asma dan sifat-sifat Allah Swt. Tidak ada seorang pun yang meragukan bahwa Allah meridhoi Sayyidah Fathimah as, namun keridhoan Allah Swt tergantung pada keridhoan Sayyidah Fathimah as itulah yang menunjukkan manifestasi puncak keagungannya, jelmaan sifat jamaliyyah Allah Swt.
Barometer Kebenaran Risalah Seorang Nabi
Sebab diturunkan surat Ali-Imron ayat 61 ialah peristiwa Mubahalah. Para pendeta Nasrani Najran menantang Rasulullah Saw untuk bermubahalah, “Siapakah yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah, “Mari kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kalian…kemudian marilah kita bermubahalah agar laknat Alloh ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”
Mubahalah ialah prosesi saling melaknat dua kelompok yang ingin membuktikan kebenaran ajaran, atau pengakuan masing-masing, dan kelompok yang salah akan binasa.
Ayat menggunakan kata ‘nisaa’ , bentuk jamak/plural yang artinya ialah para wanita. Dalam kaidah Bahasa Arab, untuk bentuk jamak/plural minimal ialah tiga orang. Namun, Rasulullah Saw kala itu hanya mengajak Sayyidah Fathimah as dari kalangan wanita. Padahal, ada para istri Nabi Saw dan wanita mukminah lainnya, namun tidak seorang pun dari mereka diajak.
Ini dikarenakan peristiwa Mubahalah merupakan peristiwa penentuan antara benar dan tidaknya ajaran Islam. Para pendeta Najran telah mempertanyakan kebenaran kenabian Rasulullah Saw. Karena itu, sosok yang diajak pun harus seseorang yang punya peran penting dalam risalah Nabi saw. Sosok yang maksum dan sosok yang merupakan manifestasi ajaran Islam secara utuh, itulah Sayyidah Fathimah as.
Para pendeta Najran mengurungkan niatnya saat melihat sosok-sosok yang diajak Rasulullah Saw yang di antaranya ialah Sayyidah Fathimah as. Kemudian mereka mengumumkan kepada kaumnya,
“Sesungguhnya aku melihat wajah-wajah yang bila mereka memohon kepada Alloh untuk mengangkat gunung dari tempatnya dan menghancurkannya, niscaya Alloh akan mengabulkan. Janganlah kalian bermubahalah dengan mereka, karena kalian akan binasa. Dan,jika itu terjadi, niscaya tidak akan tersisa seorang pun di muka bumi ini dari orang Nashrani.”
Zamakhsyari dalam tafsirnya menyatakan bahwa tidak ada lagi dalil dan argumen yang lebih kuat dan lebih penting dari ayat Mubahalah yang menunjukkan keutamaan dan keagungan ‘Ashhabul Kisa‘ yaitu, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Dalam tafsir Durrul Al-Mantsur Suyuthi terkait ayat Mubahalah disebutkan dalam salah satu riwayat bahwa saat itu Rasulullah saw datang dengan menuntun Hasan dan Husein di sebelah kanan dan kiri, di belakangnya Sayidah Fathimah dan kemudian Imam Ali as di belakang Sayidah Fathimah sa. Posisi Sayyidah Fathimah as antara Rasulullah saw dan Imam Ali as adalah menunjukkan posisinya sebagai penghubung Risalah dan Imamah.(Euis Daryati, Lc.MA)