Dimensi Keagungan Sayyidah Fathimah as yang Sulit Terselami (2)
“Aku menganggap diriku tak mampu mengenal sosok Fathimah Shiddiqah az-Zahra, ” (Imam Khomaeni, Shahifah Nur, jil. 19, hal. 278)
Hilir-Mudiknya Malaikat Jibril as kepada Sayyidah Fathimah as
Muhaddatsah artinya ialah orang yang malaikat berbicara dengannya. Al-Quran telah menyebutkan wanita yang pernah komunikasi dengan malaikat. Sarah, istri Nabi Ibrahim as yang tertawa saat seorang malaikat memberitahukan bahwa ia akan mempunyai anak, “Dan istrinya berdiri lalu ia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishak dan setelah Ishak akan lahir ya’kub. Dan (istrinya) berkata, “Sungguh ajaib, mungkinkah aku akan mrelahirkan anak padahal aku sudah tua dan suamiku sudah sangat tua? Ini benar-benar sesuatu yang ajaib.” Mereka (para malaikat) berkata, “Mengapa engkau merasa heran tentang ketetapan Allah? Itu adalah rahmat dan berkah Allah…”[1]
Juga, Maryam as yang telah berbicara dengan malaikat.[2] Meskipun, Maryam as sempat tidak mengenali malaikat, dan mengiranya laki-laki asing, “…Lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, maka ia menampakkan diri di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna. Dia (Maryam) berkata, “Sungguh, aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pengasih terhadapmu, jika engkau orang yang bertakwa. Dia berkata, “Sesungguhnya aku hanyalah utusan Tuhanmu…”[3]
Dijelaskan dalam riwayat dari Imam Jakfar ash-Shadiq as bahwa pasca wafat Rasulullah saw, Malaikat Jibril as diperintahkan untuk mendatangi Fathimah az-Zahra as. Dalam jedah waktu tujuh puluh lima hari, Malaikat Jibril as berkali-kali mendatangi Fathimah az-Zahra as. Selain untuk memberikan ucapan bela sungkawa, dan memberikan kabar tentang kedudukan ayahandanya di sisi Alloh, juga membukakan rahasia-rahasia gaib kepadanya. Yaitu memberitahukan segala sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi dan akan terjadi hingga hari kiamat dengan juru tulisnya Imam Ali as. Kumpulan berita tersebut kemudian dinamai Mushaf Fathimah.[4]
Hilir-mudiknya Malaikat Jibril as pada Fathimah az-Zahra as sekian waktu adalah hal yang sulit difahami nalar. Dalam hal ini, Imam Khomaeni menyatakan bahwa dari teks riwayat menunjukkan berulang-ulang Malaikat Jibril mendatangi Fathimah az-Zahra as. Padahal, Jibril al-Amin tidak pernah melakukan hal itu selain kepada para nabi agung yang berada pada level tertinggi. Para malaikat pun sebagaimana para nabi, memiliki level dan maqam yangberbeda-beda. Turunnya Jibril as pada Fathimah az-Zahra as bukan hal yang simpel. Jibril as malaikat yang paling agung dan tinggi kedudukannya di antara para malaikat. Karena itu, harus ada sinkhiyat atau kesesuaian yang sempurna antara kedudukan dan keagungan Jibril as dengan yang didatanginya. Atau, adanya sinkhiyat dan kesesuaian antara ruh agung Malaikat Jibril as dengan ruh Fathimah az-Zahra as. Karena itu, ini merupakan keagungan tertinggi Fathimah az-Zahra as dibandingkan dengan keagungan dan keutamaan lainnya.[5]
Teladan ‘Lintas Masa’ dan ‘Multi Dimensi’
Al-Quran telah mensinyalir kehidupan beberapa wanita teladan dan berbagai aktifitas positif mereka dalam aspek-aspek tertentu. Istri Fir’aun, Asyiah binti Muzahim merupakan figur perlawanan dalam mempertahankan keimanan hingga titik darah penghabisan. Istri Fir’aun hidup dengan kondisi suami yang mengaku dirinya sebagai tuhan yang paling tinggi.[6] Dia mengatakan, “Aku tidak mengenal tuhan bagimu selain aku.”[7] Padahal, hanya Alloh Swt yang pantas mengucapkan kalimat ini, “Sucikanlah nama Tuhanmu yang paling Tinggi.”[8]
Ada hal menarik dari doa yang dipanjatkan istri Fir’aun dalam surat at-Tahrim ayat 11. Kecintaan pada Alloh adalah tujuan hidupnya yang lebih utama dari segalanya, “Wahai Tuhanku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu sebuah rumah di dalam surga.” Yang dimohonkan istri Fir’aun pertama adalah perjumpaan dengan Allah (liqoa’ Alloh) karena pertama ia berkata, “Wahai Tuhanku, bangunkan untukku di sisi-Mu (‘indaka)” baru setelah itu ia minta dibangunkan rumah di surga dan berkata, “…sebuah rumah (baitan) di dalam surga.” Inilah salah satu sisi teladan istri Fir’aun, kecintaan kepada Alloh Swt dan mendapatkan keridhoan-Nya, melebihi keinginannya untuk mendapatkan pahala surga.
Dua putri Nabi Syuaib as, yang salah satunya kemudian menjadi istri Nabi Musa as dengan tetap menjaga batasan-batasan syariah telah melakukan aktifitas ekonomi. Mata pencaharian mayoritas masyarakat kala itu adalah mengembala. Mereka memberikan minum ternaknya setelah antrian pengembala lelaki selesai sehingga tidak terjadi ikhtilath atau bercampur baur dengan laki-laki non muhrim. Mereka juga menjaga iffah dan rasa malu ketika berhadapan dengan laki-laki non muhrim, meskipun harus menjadi tulang punggung ekonomi keluarga karena kondisi ayahnya telah lanjut usia.[9] Ayahnya seorang nabi tidak melarang aktifitas mereka, itu artinya perbuatan mereka dibenarkan syariat. Karena itu, aktifitas ekonomi kedua putri Nabi Syuaib as akan menjadi inspirasi dan teladan bagai para wanita yang hendak melakukan berbagai aktifitas ekonomi dengan tetap dengan menjaga batasan syariat.
Dalam surat an-Naml ayat 29-35 telah menjelaskan tentang sikap demokratis, argumen-argumen logis, dan kebijakan-kebijakan politik Ratu Balqis yang jauh dari sikap otoriter dan arogansi. Sikapnya itu akan menjadi teladan bagi semua pemimpin, baik pada radius kecil maupun besar. Al-Quran tidak membantah langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Ratu Balqis. Padahal, salah satu metode dalam al-Quran ialah jika sesuatu itu salah, maka akan langsung dibantah. Sebagai contoh yang telah terjadi pada Fir’aun. Ia bertaubat tatkala maut menjemput, Alloh langsung menolak taubatnya dengan tegas, “Ketika Fir’aun hampir tenggelam dia berkata, “Aku percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israel, dan aku termasuk orang-orang yang berserah. Mengapa baru sekarang (kamu beriman), padahal sesungguhnya engkau telah durhaka sejak dahulu, dan engkau termasuk orang yang berbuat kerusakan.”[10]
Al-Quran telah menjadikan Maryam as sebagai teladan Iffah dan kesucian diri.[11] Ketika seorang malaikat datang yang menjelma menjadi seorang lelaki asing, beliau memohon perlindungan kepada Allah Swt, “Lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, lalu ia menampakkan diri di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna. Dia (Maryam) berkata, “Sungguh, aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pengasih terhadapmu, jika engkau orang yang bertakwa. Dia (malaikat) berkata, “Sesungguhnya aku hanyalah utusan Tuhanmu.”[12]
Jika wanita teladan lainnya yang telah disebutkan dalam al-Quran sebagai teladan dalam aspek tertentu, atau untuk masa tertentu, maka Fathimah az-Zahra as merupakan teladan dalam segala aspek kehidupan, dan untuk semua masa. Karena itu, beliau merupakan teladan ‘lintas masa’ dan ‘multi dimensi’. Allah Swt dalam Al-Quran menyebutkan Maryam as sebagai penghulu para wanita pada masanya, “Wahai Maryam, sesungguhnya Alloh telah memilihmu dan mensucikanmu, dan telah memilihmu atas para wanita di alam.”[13]
Sedangkan Rasulullah saw yang ucapannya merupakan wahyu Alloh [QS an-Najm:3-4] telah mengumumkan bahwa Fathimah az-Zahra as merupakan penghulu para wanita di seluruh masa. “Wahai Fathimah, apakah engkau tidak senang menjadi penghulu para wanita seluruh alam, penghulu wanita umat ini, dan penghulu para wanita mukminah?“[14]
Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Fathimah as adalah penghulu para wanita. Seseorang bertanya kepada beliau, “Apakah dia hanya penghulu para wanita di masanya?” Rasulullah menjawab, “Itu adalah Maryam putri Imron, adapun putriku, Fathimah dia adalah penguhulu para wanita seluruh alam dari awal hingga akhir.”[15]
Alusi dan Ruhul Ma’ani menyatakan bahwa Fathimah paling utama dari seluruh perempuan masa dulu maupun yang akan datang. Dengan hadis ini dapat ditetapka bahwa Fathimah merupakan perempuan termulia, karena merupakan jiwa dan diri Rasulullah saw. Karena itu ia pun lebih utama dai Aisyah.[16]
Mungkin ada yang bertanya, jika Maryam as penghulu wanita pada masanya saja, kenapa Al-Quran menggunakan kata ‘’aalamiin’, yang secara bahasa artinya ialah seluruh alam? Penggunaan seperti ini dalam al-Quran merupakan hal biasa, sebagaimana halnya tentang Bani Israil Allah Swt telah mengutamakan mereka di alam semesta, “Wahai Bani Israil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepada kalian, dan Aku telah mengutamakan kalian dari semua umat yang lain di alam ini.”[17] Tentu, maksud al-Quran bukan mengutamakan Bani Israil di seluruh alam dari awal hingga akhir, akan tetapi mereka diutamakan atas umat yang lainnya pada masanya saja, dan saat mereka beriman.
[1] QS Hud:71-73
[2] QS Ali-Imron:42-47 dan QS Maryam:17-21
[3] QS Maryam:17-19
[4] Kulaini, Al-Kafi, jl 1, hal 241
[5] . Misbah Yazdi, Jami az Zulale Kausar, hal. 212
[6] QS an-Naziat:24
[7] QS al-Qashah:38
[8] QS al-A’la:1
[9] QS al-Qashash:23-25
[10] QS Yunus:90-91
[11] QS at-Tahrim:12
[12] QS Maryam:17-19
[13] QS Ali-Imron:42
[14] Naisaburi, Mustadrak ash-Shahihain, jil 3, hal 156
[15] Majlisi,Biharul Anwar, jil 43, hal 24
[16] Alusi, Ruhul Ma’ani, jil 3, hal 138
[17] QS al-Baqarah:47