Dzikrul Maut, Haul Sayidul Mursalin
Mengingat kematian adalah hal yang terpuji dalam agama Islam. Mengingat maut menjadikan manusia lebih berhati-hati dalam menjalani hidup. Mengingat mati mengingatkan diri bahwa kita juga akan mati, tafakur bahwa kita berada dalam antrian menunggu panggilan Allah Swt. Mengingat kematian membuat seseorang menjadi ahli surga karena dia lebih fokus untuk berbuat baik serta menjauhi kezaliman.
“Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang”? Artinya adalah orang yang selalu berbuat baik, jika meninggal dunia kebaikannya akan selalu dikenang. Melihat peribahasa ini sungguh nyata dalam kaca budaya kita. Dimana para ulama besar, para Kiyai diingat kebesaran mereka pada hari ketika mereka meninggal, diceritakan ulang berbagai jasa dan kebaikan sehingga bias menjadi teladan tepat dihari meninggalnya almarhum.
Keberadaan budaya yang sudah ada sejak ratusan tahun ini tentu bukan tanpa tujuan. Tentu ada pesan dan harapan yang ingin disampaikan oleh para leluhur.[1] Beberapa pihak secara frontal memberontak dan menentang[2] itu bisa membuat pesan dan harapan leluhur tidak sampai ke tangan kita, tidak sampai kepada anak keturunan di masa mendatang. Seperti biasa alasan yang diangkat kelompok itu adalah untuk memurnikan ajaran Islam. Apakah kegiatan haul Nabi Muhammad Saaw membuat ajaran Islam tercoreng, atau membuat sejarah yang selama ini ditutup-tutupi akan terbuka bagi khalayak.
Berbagai kegiatan yang diklaim bidah adalah kegiatan berbagi, bersedekah, membaca shalawat, tahlil, dan doa untuk jenazah. Ketika menilik dari jati diri Islam sebenarnya itu semua adalah terjemah lokal dari Bahasa kasih sayang, dalam bentuk gotong royong, dalam saling mendoakan, dalam saling bersedekah menitipkan amalan untuk almarhum, memintakan maaf untuk almarhum kepada warga sekitar dan orang-orang yang kenal dengan almarhum. Dengan adanya acara kemungkinan besar semakin banyak orang yang menghadiri acara dan kemungkinan untuk mendapatkan pahala dan ampunan dosa lebih banyak bagi almarhum. Itu hanya sekilas hikmah, tentu ada masih banyak hikmah besar yang terkandung didalamnya.
Ketika ulama dan Kyai besar di peringati haulnya maka sayidul mursalin Nabi Muhammad Saaw adalah orang yang paling layak dan utama untuk diperingati hari wafatnya. Karena beliau adalah manusia paling sempurna. Manusia paling berjasa, paling berilmu, paling berakhlak, paling tinggi kedudukannya disbanding manusia-manusia yang lain.
Dua perbedaan dalam ikatan persaudaraan
Menurut sejarawan penganunt Ahlul Bait, Nabi Muhammad saaw lahir pada tanggal 17 Rabiul Awal dan meninggal pada tanggal 28 Safar pada umur 63, dipangkuang Imam Ali bin Abi Thalib. Sedang sejarawan Ahlu Sunnah menyakini bahwa Nabi Muhammad saaw meninggal pada tanggal 12 Rabiul awal tanggal yang sama dengan hari lahir beliau[3] pada umur 63 tahun.
Munculnya perbedaan semacam ini bukan hal yang aneh, karena untuk meruntuhkan Islam secara utuh itu sangatlah mustahil, musuh islam mengambil jalan lain yang terlihat remeh namun bisa menghancurkan dari dalam. Mereka berusaha menurunkan rasa hormat umat Islam kepada Nabi utusan-Nya. Salah satu cara yang dilakukan adalah memunculkan perbedaan. Perbedaan pada sosok paling utama dan menjadi identitas Islam itu sendiri. Dari sisi sejarah beliau sampai pada tafsir dan terjemah ayat Quran seputar Nabi Muhammad saaw as.[4]Satu pihak meyakini Nabi Muhammad saaw manusia sempurna secara utuh, pihak lain ada yang berusaha mewacanakan bahwa Nabi Muhammad saaw tidak sempurna secara utuh, dalam arti Nabi Muhammad kadang kala berbuat salah, keliru, bahkan berbuat dosa[5]. Wacana yang diangkat dengan dalil yang terkesan dibuat-buat dan bertentangan dengan ayat-ayat lain dari Alquran.
Dalam ikatan persaudaran. Maka keyakinan bahwa Nabi Muhammad saaw meninggal pada tanggal 28 Safar atau pada tanggal 12 Robiul awal. Semestinya sebagaimana kepada para Ulama dan Kyai besar dilakukan peringatan duka, dilaksanakan Haul, maka kepada Nabi Muhammad Saaw juga tidak berbeda. Perlu juga melakukan peringatan haul walau dalam sekala kecil, menelaah secara rinci detik-detik ketika beliau meninggal. Dua riwayat baik yang menyebutkan meninggal dipangkuan Ali bin Abi Thalib atau dipangkuan Aisyah binti Abu Bakar, keduanya bisa diangkat ke permukaan. Hadirin dipersilakan untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam apa-apa yang sebenar telah terjadi pada saat detik-detik meninggalnya Nabi saaw.
[1] Dalam adat jawa ada kalender yang mana kalender ini disesuai dengan berbagai kejadian yang terjadi secara berulang bertahun-tahun. Kejadian itu menjadi patokan dalam hitungan bulan bahkan dalam hitungan hari, dengan kalender itu petani mengetahui kapan harus menyiapkan bibit, kapan harus memulai menyiapkan lahan, serangga apa saja yang menyerang tanaman dll. Ketika ditelisik semua itu selaras dengan ilmu astronomi. Pernyataan bahwa Indonesia awalnya hanya berupa budaya animisme, dinamisme perlu ditelaah ulang. Para peneliti menemukan banyak hal di berbagai penjuru nusantara. Peninggalan yang menunjukkan bahwa bangsa yang mendiami nusantara adalah bangsa besar dan memiliki pedadaban tinggi, tidak hanya sekedar dinamisme animisme yang terkesan terbelakang, hanya berburu dan meramu. Bangsa Indonesia adalah kelanjutan dari sebuah bangsa besar.
Pernyataan hanya berupa budaya animisme dan dinamisme bias mengarah pada meremehkan budaya bangsa Indonesia. Semestinya hal ini ditinggalkan dan lebih mengutamakan pernyataan yang mendukung kukuhnya nasionalisme.
[2] https://muhammadiyah.or.id/hukum-selamatan-untuk-orang-yang-meninggal-dunia/ Hukum mengadakan selamatan yang disertai dengan doa yang dipaketkan itu, tidak ada tuntunan dari Islam. Selamatan tiga hari, lima hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh budaya animisme, dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu yang sudah begitu berakar dalam masyarakat kita.
[3] 12 Rabiul Awal Tahun Gajah di Makkah.
[4] Dapat disimak pada terjemah dan tafsir surat Abasa ayat 1-3.
[5] Alasan yang digunakan adalah manusia adalah tempat salah dan dosa, Nabi adalah manusia, maka Nabi juga bisa atau mungkin berbuat salah dan dosa. Dengan menggunakan alasan ini lalu mengacuhkan kenyataan sejarah tertulis serta penjelasan nyata dari alQuran tentu tidak bisa oleh akal sehat. Manusia memang tempat salah dan dosa tapi itu tidak menjadi keharusan bahwa seseorang pasti atau harus berbuat dosa. Lebih jelas bisa dipelajari tentang kemaksuman Nabi Muhammad saaw.