Pandangan Irfan: Terobosan Spiritual atas Filsafat Ketuhanan
Fardiana Fikria Qurani
Pandangan Irfani merupakan pengetahuan yang bersifat kehadiran (hudhuri). Ia bukan diperoleh melalui suatu diskursus tertentu yang dikonstruksi secara konseptual melalui definisi dan argumentasi sebagaimana dalam kerangka logis, melainkan hadirnya suatu kesadaran dalam jiwa atas kualitas kesucian jiwa yang sanggup menerima makna-makna substansial dan universal.
Maka, pertama-tama yang mesti ditegaskan adalah bahwa pengetahuan irfani adalah suatu kehadiran yang datang tidak dengan melalui perantara berpikir. Meski kemudian, makna tersebut lalu dikonstuksi, ditafsir dan diartikulasikan menurut suatu kerangka logis tertentu sehingga dapat diekspresikan melalui bahasa. Sehingga bahasa, merupakan artikulasi (nalar-tafsir) atas makna-makna yang hadir.
Dengan begitu, keintiman pengetahuan irfan tidak bisa ditangkap dengan suatu konstruksi nalar logis, melainkan dengan pengalaman spiritual langsung. Menurut para ulama (salik) yang menjalankan suatu laku tertentu (suluk), pengalaman spiritual tersebut hanya mungkin jika dijalankan dengan suatu tahapan-tahapan (maqomat) yang dimana tahapan-tahapan tersebut akan memunculkan suatu hal (ahwal) yakni kondisi jiwa yang makin suci sehingga puncaknya adalah makrifat.
Makrifat inilah yang dikenal sebagai pengetahuan irfani. Ia bukan pengetahuan biasa yang selalu mengandaikan relasi subyek-obyek. Ia adalah suatu poros kesatuan antara jiwa sebagai Subyek dengan Makna yang dikandungnya yang hadir berkat cahaya Ilahi. Maka, Makrifat adalah suatu ‘hal’ pada jiwa dimana ia merupakan iluminasi kehadiran Tuhan dalam jiwa. Jiwa dalam konteks makrifat dengan sedemikian rupa tiada pilihan kecuali menerima kebenarannya secara mutlak.
Pandangan Irfani Sebagai Terobosan Spiritual
Pandangan dunia irfan ini, menjadi terobosan filosofis-spiritual atas suatu diskursus mengenai filsafat ketuhanan. Hal ini karena pertanyaan akan ada dan tiadanya Tuhan selalu dikonstruksi dalam argumen-argumen sekunder dimana selalu mengandaikan pengetahuan sebelumnya. Misalnya, argumen ontologis akan keberadaan Tuhan, yang dimana Tuhan dinyatakan sebagai sebab pertama lantaran keharusan menetapkan sebab dari semua rentetan sebab-akibat. Bahwa Tuhan mestilah diandaikan adanya bagi kemungkinan adanya Alam.
Begitu juga dalam argumen kosmologis yang menyatakan bahwa alam ini bekerja secara sistemik-teratur sedemikian rupa, sehingga diandaikan membutuhkan suatu lokus manajerial atas keteraturan alam. Dapat kita cerna, baik argumen ontologis maupun kosmologis berakar pada logika sebab-akibat dimana konsepsi sebab-akibat adalah suatu perbandingan rasional atas nilai kebergantungan suatu wujud dengan wujud yang lain. Tapi bagaimanapun, Tuhan sebagai Sebab Pertama, atau sebagai pengatur jalannya alam dipahami secara sekunder. Artinya tidak ada bukti primer atas keberadaan Tuhan kecuali ia dikonstruksi melalui suatu argumen.
Dengan begitu, sesungguhnya, Konsep keberadaan Tuhan dicapai melalui kerangka logis alam pikiran yang mengandaikan keharusan akan adanya Tuhan dengan mendasarkan diri pada prinsip-prinsip kausalitas. Maka, yang terjadi, bukan membuktikan keberadaan Tuhan, tapi memberi kemungkinan logis pada keberadaan Tuhan.
Persoalannya, apakah Tuhan pada realitasnya ‘memang’ betul-betul ada atau tidak, adalah di luar jangkauan nalar logis-filosofis di atas. Sejauh kebenaran nalar kausalitas, Tuhan hanya dimungkinkan adanya. Sebagai suatu keterangan logis mungkin kerangka berpikir ontologis-kosmologis telah cukup memberi nilai bagi kemungkinan akan adanya Tuhan.
Manusia demi kebutuhan eksistensialnya tak bisa sepenuhnya bergantung pada argumen tersebut. Tuhan yang diandaikan ada adalah Tuhan sejauh yang bisa dipikirkan, dan bukan Tuhan yang wujud pada diriNya. Maka, pandangan dunia irfani memberi suatu jalan yang lebih subtil, yakni membuka ruang pada alam jiwa untuk secara langsung menerima kehadiranNya.
Wahyu Sebagai Pengalaman Jiwa Nabi Yang Tersucikan
Agama adalah ajaran yang membuka ruang baru bagi keniscayaan akan adanya Tuhan. Dengan prinsip nubuwwah dan pewahyuan, Tuhan tidak lagi sekedar suatu konsepsi, tapi Dia hadir melalui KalamNya yang secara langsung menyentuh jiwa terdalam, tersuci atas manusia yang dipilihNya yakni manusia yang Dia sendiri yang menyucikannya.
Maka, agama bukanlah suatu konstruksi atas suatu nalar tertentu dalam epos kebudayaan dan sejarah, melainkan suatu makna yang hadir (turun) sebagai wahyu. Ia langsung menyentuh jiwa yang Tuhan sucikan, dialah para Nabi. Maka, wahyu adalah apa yang Nabi katakan sebagaimana yang Tuhan hadirkan dalam jiwanya.
Maka, wahyu bernilai absolut karena kehadirannya secara langsung di kedalaman jiwa yang tersucikan (tajarrud). Maka, para Nabi dengan sadar menerima wahyu tersebut dengan serta merta secara dan total menerima kebenarannya. Makin suci jiwa makin mudah menerima kebenaran agama. Kondisi kesucian jiwa adalah apa yang kita sebut sebagai fitrah.
Namun, dalam kenyataannya, penerimaan akan kebenaran wahyu bersifat relatif. Relativitas ini bergantung pada gradasi kesadaran seseorang. Agama bisa saja diterima dengan awam lantaran keterikatan sosiologis budaya. Namun hal tersebut bukanlah inti agama, ia hanya suatu tahapan budaya pada manusia.
Maka, untuk mengenal agama secara hakiki, seseorang mesti mensucikan jiwanya. Argumen logis-rasional adalah prakondisi yang memberi ruang kemungkinan pada nalar untuk menerima keberadaan Tuhan, namun penetapan realitas Tuhan sebagai wujud absolut hanya mungkin bagi jiwa yang tersucikan. Dengan begitu, kenabian merupakan guidance yang akan membimbing manusia untuk berjalan menuju kesusian jiwa dimana dengan kesucian tersebut, Tuhan akan menampakkan diriNya (dalam AsmaNya) yang akan membuat jiwa akan tunduk sepenuhnya (Islam).
Tuhan dalam kerangka nalar adalah dzat yang diandaikan adaNya. Ini adalah konsepsi Ketuhanan. Dengan nalar seperti ini manusia tak mesti secara niscaya menyembahkan dan menggantungkan hidup padaNya. Karena Dia masihlah suatu pengandaian rasional. Tapi Jiwa yang suci yang mengalami kehadiran AsmaNya akan secara langsung menyadari wujudNya dan akan serta merta tunduk padaNya. Wujud Tuhan dalam jiwa adalah jelas, makin suci jiwa makin jelas kehadiranNya. Maka, Tuhan adalah suatu eksistensi yang riil bagi jiwa yang suci dan tersucikan.