Epistemologi Agama (Bagian 1)
Oleh: Mahdi Yahya
Membicarakan jagad wujud, seperti menimba air laut yang tidak akan pernah habis dan selesai. Setiap timba yang diambil dari lautan wujud merupakan batasan-batasan terhadap realitasnya. Setiap filsuf berupa membagikan isi timba tersebut kepada generasi selanjutnya dalam bentuk karya-karya tulis.
Salah satu permasalahan jagad wujud yang selalu menjadi soroton para filsuf adalah pengetahuan. Meninjau pengetahuan sebagaimana pengetahuan itu sendiri. pada era-era awal para filsuf, mereka tidak pernah membedakan kajian ilmu dengan aspek yang beragam dan kemudian memilah-milahnya menjadi satu subjek tersendiri. Terkadang, sering kali kita menyaksikan bahasan mereka menari-nari dan kemudian meloncat dari satu sudut pandang ke sudut lainnya.
Sebagai contoh kasus, terkadang bahasan tentang ilmu ada dalam pasal eksistensi mental. Dalam pasalnya yang sama, kita melihat ilmu terkadang menjadi objek sorortan para filsuf sebagai kesesuaian antara mental dengan realitas eksternal. Atau pun realitas ilmu sebagai kaif nafsani yang merupakan bahasan ontologi ilmu.
Pada era modern hingga kontemporer, sengaja membedakan antara keduanya, para filsuf mulai memberikan perhatian serius dengan berkembangnya disiplin metodologi pengetahuan. Seiring dengan berkembang dan meluasnya kajian secara sistematik dan terminologis, maka pemilahan terhadap subjek bahasan tentang pengetahuan pun membelah diri. Melihat pengetahuan sebagai metodologi peraihan pengetahuan menyeret kita pada istilah epistemologi. Namun, jika pengamatan pada pengetahuan sebagai suatu fakta dari jagad wujud, maka itu adalah filsafat ilmu atau juga disebut dengan meta-epistemologi.
Memahami kedua perbedaan sudut pandang subjek dan metodologi sangat membantu kita untuk membedakan subjek bahasan, agar tidak terjebak dalam kerancuan subjek. Memasuki bahasan pengetahuan tanpa membedakan kedua kajian di atas, tentunya akan membangun paradigma yang rancu. Sehingga, menjadikan keduanya seakan satu bahasan.
Terlepas dari diskursus tentang epistemologi dan meta-epistemologi, pokok bahasan dalam makalah ringan ini adalah epistemologi yang merasuki kehidupan manusia dengan segala aspeknya. Artinya, pengetahuan memasuki kehidupan manusia dan mewarnainya dalam seluruh fase mentalnya. Penekanan pada mental, karena seluruh jenis pengetahuan yang dimiliki oleh manusia tersimpan dalam mentalnya. Walaupun, terjadi ke-gradual-an dalam perolehan dan metodologinya.
Salah satu bagian penting dalam fase epistemologi adalah tahapan pengetahuan agamis. Menarik untuk ditelusuri lebih jauh tentang fase ini. Karena, pada tingkatan pengetahuan agamis, terkandung metodologi epistemologi dengan seluruh tingkatannya. Tentunya, epistemologi agamis sangat terkait dengan pengetahuan kewahyuan.
Dalam menjelajah epistemologi agamis, dalam makalah ini akan sering bersinggungan dengan pengetahuan kewahyuan. Perolehan dan capaian pengetahuan agamis tidak lepas dari penggunaan seluruh metodologi yang belaku pada epistemologi. Terjadi perbedaan di kalangan ulama tentang metodologi pendekatan terhadap pengetahuan kewahyuan, namun mereka sepakat dalam tujuan, dan itu adalah mencari akar rasionalitas dalam konten kewahyuan dan menjaga keimanan dari segala bentuk gangguan.
Alquran, Sumber Pengetahuan Agama
Alquran merupakan kitab yang menghidupkan hati dengan ilmu dan pengetahuan ilahiayah yang abadi. Kitabullah yang menyeru kepada perkara-perkara atau sisi-sisi keilahiyahan. Dan seluruh hamba-Nya hendaklah merujuk kepada kitab tersebut agar terealisasi pengambilan manfaat darinya, untuk menuju sisi-sisi keilhaiyahan dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, penafsir seyogianya dapat mengurai sisi-sisi tersebut agar manusia bisa menjelmakannya dalam kehidupan jasmani dan ruhaniahnya. Alquran menjelaskan hal di atas dalam surah al-Isra’, sebagai berikut:
“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (Q.S: 17:82)
Seorang penafsir bertugas untuk menyingkap tabir dari ayat-ayat suci qurani agar nampak hakikatnya dan berkilau maknanya, berdasarkan kapasitas dan kualitas penafsir. Setiap penafsir memiliki kapasitas dan kualitas keilmuan yang beragam. Keragaman tersebut memberikan pengaruh yang besar bagi penafsir ketika membaca ayat-ayat suci, sehingga berpengaruh pemaknaannya dalam penafsiran. Terdapat banyak kitab tafsir yang menunjukkan latar-belakang keilmuan penafsirnya. Sudut-pandang para penafsir mengekspresikan kecenderungan ilmiah mereka, dengan demikian pun, mereka tidak mengabaikan atau pun masabodoh terhadadap makna linguistik dari perkata bahasa wahyu.
Kembang-kencup pemaknaan terkait erat antara teks dengan konteks. Dari sisi lainnya, juga terhubung dengan disiplin pengetahuan yang menjadi landasan dasar penafsir. Sebagai contoh kasus kata “nur” (baca: cahaya). Di tangan seorang ‘arif cahaya memiliki makna emanasi Kausa-Prima kepada akibat-akibat yang menyeruak dari-Nya. Sedangkan, di tangan seorang teolog diartikan hidayat dan petunjuk. Namun, mereka tidak mengabaikan arti linguistik cahaya tersebut dari makna aslinya.
Kembang-kencup pemaknaan terhadap teks, baik teks suci atau pun bukan, merupakan salah satu subjek bahasan semiotika. Semiotik menjadi sangat krusial dalam membaca teks suci, selain hermeneutik dan semantik. Peranan yang diambil semiotik dalam pembacaan teks-teks suci adalah membaca tanda (baca:bahasa) dan mengaitkannya dengan makna (fakta atau pun konteks). Dalam proses pengaitan tersebut, kembang-kencup makna tidak bisa dihindari.
Nah, menarik untuk diamati secara seksama, peran semiotik tidak kalah besar, bahkan bisa dikatakan lebih besar ketimbang porsinya hermenenutik dalam pembacaan teks-teks suci. Selanjutnya, peranan semiotik dalam membentuk bangunan pengetahuan agamis sangat besar. Dimana, kembang-kencup pemaknaan yang ditangkap oleh seorang penafsir memberikan satu pengetahuan baru baginya.
Dengan sekelumit penjelasan di atas, maka menjadi jelas bagi kita betapa pentingnya pengetahuan agamis. Dan dari sisi inilah, kita memerlukan struktur bangunan pengetahuan agamis.
Sekilas tentang Bahasa dalam Pandangan Ahli Ushul Fiqih
Bagi sebagian orang di saat mendengar kata usul-fiqih tersirat di Paiman mereka adalah satu disiplin ilmu yang berkutat dalam kedah-kaedah kefikihan. Padahal, jauh panggang dari api. Usul-fiqih adalah satu disiplin ilmu yang membahasa anasir-anasir umum dalam upaya menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya. Menariknya, sebagaian besar bahasan dalam usul-fiqih justru berkutat pada kajian bahasa. Salah satu diskursus yang mengundang perdebatan serius di dalamnya adalah asal usul kemunculan bahasa.
Konvensional bahasa merupakan landasan dasar dalam diskursus tentang bahasa. Artinya, bahasa bukan sesuatu titipan yang disematkan ke dalam jiwa manusia. Melainkan, berdasarkan kesepakatan dan kesepaham antara dua orang atau pun lebih atas satu kata yang bertujuan menerangkan satu fakta tertentu. Sebagai singgungan, dalam logika formal terdapat bahasan tantang beberapa jenis eksistensi. Salah satunya adalah eksistensi kata dan bahasa. Bahasan tersebut sama dengan apa yang digagas dalam usul-fiqih.
Contoh kasus, kata “gelas” yang terdiri dari beberapa huruf yaitu, g-e-l-a-s disepakati sebagai penunjuk atas realitas dan fakta wadah untuk minum. Kesepakatan tersebut menghasilkan gagasan di mental pendengarnya. Sehingga, dia memahami kemauan pembicarannya. Pertukaran keinginan pembicara menjadi gagasan pada pendengarnya tidak akan terealisasi tanpa ada kesepakatan atau konvensional atas kata tersebut. Poros terpenting yang menjadi sorotan para ahli usul-fiqih bukan pada kesepakatannya, namun pada bagaimana kata atau bahasa bisa menjadi penanda atas realitas dan bisa menciptakan gagasan pada pendengarnya.
Dengan ungkapan lain, kesepakatan saja tidak mampu untuk menghadirkan gagasan di mental pendengarnya. Perlu unsur lain yang mampu secara kokoh untuk mewujudkan gagasan tersebut. Sayyid Khoei berpendapat, unsur tersebut tidak lain adalah “perjanjian”. Di mana, peletak kata berjanji untuk menggunakan kata tersebut sebagai penanda atas realitas tertentu. Sayangnya, pendapat beliau tergeser oleh teori bahasa Syahid Sadr. Sadr, setelah memberikan beberapa keberatan atas pandangan Sayyid Khoei, guru Sadr, memaparkan teori bahasanya yang dikenal dengan “al-qarn al-akid” (baca: keseiringan yang erat).
Menurut Sadr, eksistensi eksternal dan eksistensi bahasa harus memiliki ikatan yang kuat. Tanpa ikatan tersebut tidak akan menghasil gagasan bagi pembicara atau pun pendengar. Ikatan tersebut adalah upaya mengikat dua eksistensi tersebut dengan cara penggunaan selalu keduanya. Kondisi tersebut berakhir pada sirnanya kata dalam makna. Manunggaling kata dalam makna. Sehingga, ketika terdengar kata “gelas” pendengar tidak lagi terfokuskan kepada eksistensi kata yaitu “g-e-l-a-s”, namun langsung mental pendengar mendapatkan gagasan eksistensi eksternal gelas.
Setelah sedikit kita menjelajah dunia bahasa dan hubungannya dengan realitas, maka saatnya kita memasuki subjek bahasan kita yaitu, bahasa wahyu. Peran beberapa disiplin ilmu sangat besar untuk memperoleh pengetahuan agamis dari bahasa wahyu. Bersambung