Telaah Singkat Tahdzib Al-Ahkam Dan Al-Istibshar Syeikh Thusi (Bag. 1)
Tahdzib Al-Ahkam
Abu Ja’far Muhammad bin Hasan Thusi adalah seorang fakih, ahli ilmu rijal, mufassir Alquran, dan ulama besar Syiah. Beliau dilahirkan pada tahun 385 H di Thus, Khurasan. Di kota itu beliau mempelajari ilmu-ilmu dasar Islam. Pada tahun 408 H beliau melanjutkan studinya ke Baghdad. Dari sisi keilmuan, beliau berkembang dengan pesat dan cepat. Akhirnya pada tahun 460 H, beliau menghembuskan nafas terakhirnya di kota Najaf.[1]
Syeikh Thusi berguru kepada Syeikh Mufid dan Sayed Murtadha Alamul Huda. Sepeninggal Sayed Murtadha, beliau menduduki posisi marja’ umum di Baghdad selama 12 tahun. Beliau peletak landasan ilmu-ilmu keislaman dan mazhab Syiah. Hauzah ilmiah Syiah dipindahkan ke Najaf atau tepatnya didirikan oleh beliau.
Syeikh Thusi mula-mula menulis kitab Tahdzib atas permintaan seseorang.[2] Saat mengumpulkan hadis-hadis kitab ini, beliau berhadapan dengan kontradiksi dan pertentangan antara zahir sebagian riwayat. Lalu beliau memutuskan untuk menyusun sebuah kitab tersendiri yang menghimpun hadis-hadis tersebut. Dari sinilah, Syeikh Thusi menulis kitab Al-Istibshar.[3] [4]
Kelebihan Kitab Tahdzib
1) Kitab Tahdzib menghimpun berbagai riwayat yang tidak diketahui oleh para penulis kitab-kitab hadis lainnya. Hal itu karena penulisnya memiliki komprehensifitas dalam berbagai bidang ilmu atau pernah belajar kepada guru-guru seperti Syeikh Mufid dan Sayed Murtadha atau punya akses ke perpustakaan-perpustakaan besar semisal perpustakaan Sayed Murtadha dan perpustakaan wilayah Karkh, Baghdad.
Kitab Tahdzib merupakan kitab jami’ dalam bidang fikih yang dijadikan rujukan pada abad ke-5 hingga 10 lebih dari kitab-kitab fikih lainnya.
2) Kitab ini menukil hadis-hadis yang saling kontradiktif. Oleh karena itu, penulis tidak memaksakan pandangannya kepada pembaca. Fatwa orang yang menjadikannya sebagai rujukan akan lebih dalam dan semakin muktabar.
3) Riwayat-riwayat pada permulaan setiap bab kitab ini lebih diutamakan dibandingkan riwayat-riwayat di akhir bab. Hal ini disinggung sendiri oleh Syeikh Thusi dalam mukadimah Al-Istibshar, namun sebagian ulama lebih mendahulukan riwayat-riwayat akhir sebuah bab dari riwayat-riwayat permulaannya karena tidak memperhatikan poin di atas.
4) Kitab Tahdzib ditulis dengan urutan dan metode kitab Al-Muqna’ah Syeikh Mufid, karena kitab Tahdzib adalah syarah dan tafsir argumentatif dari kitab Al-Muqna’ah. Sejak pertama datang ke Baghdad, Syeikh Thusi menyarahi kitab gurunya tersebut. Beliau menulis kitab ini sedemikian cermat dan kokoh saat berusia kurang dari 25 tahun sehingga pembaca akan membayangkan bahwa penulisnya adalah seorang mujtahid besar yang telah menghabiskan puluhan tahun untuk mendalami pembahasan terkait.
Usia Syeikh Thusi 28 tahun saat Syeikh Mufid wafat. Syeikh Thusi selalu menambahkan kalimat “أیَّدَهُ اللهُ تعالی” ketika menyebut nama sang guru dalam jilid pertama kitab. Hal ini menunjukkan bahwa Syeikh Mufid saat itu masih hidup. Dengan demikian, jilid pertama kitab ini ditulis saat Syeikh Mufid belum meninggal dunia. Di akhir jilid tersebut terdapat kalimat yang menceritakan wafatnya Syeikh Mufid.[5] Meskipun pada permulaan jilid dua juga dijumpai kalimat “أیَّدَهُ اللهُ تعالی”, namun dapat dipastikan bahwa hampir seluruh jilid pertama kitab ini ditulis saat Syeikh Mufid masih hidup dan ketika itu usia Syeikh Thusi 27 atau 28 tahun.
5) Syeikh Thusi dalam kitab ini biasanya menukil hadis-hadisnya secara mu’allaq, artinya menghapus permulaan sanad dan hanya menyebutkan bagian akhirnya. Tujuannya adalah meringkas kitab dan menghindari pengulangan nama para perawi. Di akhir kitab juga menyebutkan masyikhah (jalur-jalur perawi) yang bisa dirujuk oleh pembaca untuk memperoleh sanad yang tidak dibawakan secara lengkap.
Beliau melakukan itu saat Syeikh Kulaini sebelumnya dalam Al-Kafi biasanya membawakan seluruh sanad, sedangkan Syeikh Shaduq punya kebiasaan menghapus seluruh sanad.
6) Volume riwayat fikih Tahdzib lebih banyak. Berbeda dengan Syeikh Kulaini dan Syeikh Shaduq, Syeikh Thusi dalam kitab ini bermaksud mengumpulkan seluruh riwayat dalam tema fikih (baik yang sesuai dengan fatwa atau bertentangan dengan fatwa, yang kontradiktif atau non kontradiktif).
Riwayat Tahdzib berjumlah 13.988, sedangkan jumlah riwayat Furu’ Al-Kafi mencapai 11.021 atau 10.800. Menurut hitungan Agha Bozorg Tehrani, kitab ini menghimpun 13.590 hadis yang tersusun dalam 23 pasal fikih dan 393 bab.[6]
Pembahasan pentingnya adalah, dua kitab Syeikh Thusi ini dianggap sebagai referensi penting dalam mengenal kondisi para imam Syiah a.s. saat masih hidup dan juga dalam mengkaji unsur taqiyah dalam perjalanan hadis Syiah.
Kitab Tahdzib banyak disyarahi ulama Syiah, di antaranya:
* Ihya’ Al-Ahadits, Muhammad Taqi Majlisi.
* Maladz Al-Akhyar, Muhammad Taqi Majlisi.
* Maladz Al-Akhyar, Muhammad Baqir Majlisi.
* Ghayah Al-Haram, Sayed Nimatullah Al-Jazairi.
* Maqshud Al-Anam, Sayed Nimatullah Al-Jazairi.
* Syarh Tahdzib, Syahid Tsani.
* Syarh Tahdzib, Maula Muhammad Amin Esterabadi.[7]
7) Kitab ini memaparkan riwayat yang diterima atau ditolak secara relatif sempurna dengan tanpa melihat bagaimana Syeikh Thusi mengkompromikannya. Hal ini memudahkan seorang fakih atau peneliti hadis untuk mengenal seluruh sisi shudur dan kandungan riwayat dalam rangka mengistinbathkan setiap hukum.
Selain itu, refleksi luas riwayat-riwayat semacam ini akan mengenalkan kita kepada fenomena taqiyah, pemaparan jawaban yang sesuai dengan level mukhatab, perluasan dan penyempitan pembahasan yang dipaparkan para imam a.s., kesalahan para perawi dalam menukil makna riwayat dan…
8) Dengan melihat komprehensifitas keilmuan Syeikh Thusi, metode menyikapi riwayat dan mentakwilkannya atau menyatukannya secara ‘urfi akan memberikan pengalaman ilmiah yang efektif kepada setiap peneliti/pengkaji hadis, meskipun seluruh takwilan beliau tidak dapat diterima.
9) Sebagian ulama akhbari meyakini keshahihan hadis-hadis Tahdzib (seperti Kutub Arba’ah lainnya) berdasarkan ucapan Syeikh Thusi sendiri,[8] akan tetapi ketidakbenaran pandangan ini akan tampak saat melihat penegasan Syeikh Thusi berkenaan dengan dhaifnya banyak hadis yang kontradiktif.[9]
10) Sebagian ulama besar seperti Allamah Majlisi dan Faidh Kasyani pernah mengajar kitab Tahdzib.[10]
(Bersambung)
==========================================
[1] Ma’arif, Tarikh-e Omumi-ye Hadis, halaman 383 – 384.
[2] Tahdzib Al-Ahkam, jilid 1, halaman 2 – 4.
[3] Kitab Al-Istibshar menghimpun 5.511 hadis dalam 625 bab. (Modir Syanehchi, ‘Ilm Al-Hadits Wa Dirayah Al-Hadits, halaman 99)
[4] Al-Istibshar, Mukadimah.
[5] “و کان شیخنا محمد بن محمد بن النعمان رحمة الله…” (Dan guru kita Syeikh Muhammad bin Muhammad bin An-Nu’man amarhum…). [Thusi, Tahdzib Al-Ahkam, jilid 1, halaman 478].
[6] Adz-Dzari’ah, jilid 4, halaman 504.
[7] Ma’arif, halaman 425.
[8] Thusi, Al-‘Iddah Fi Ushul Al-Fiqh, jilid 1, halaman 137.
[9] Khui, Mu’jam Rijal Al- Hadits Wa Tafshil Thabaqat Ar-Ruwah, jilid 1, halaman 95 – 97.
[10] Sebagai contoh, lihat: Muhammad Baqir Majlisi, Bihar Al-Anwar, jilid 107, halaman 223; jilid 108, halaman 99; jilid 110, halaman 38, 147, 152; Faidh Kasyani, Al-Wafi, jilid 1, halaman 23 – 24.