Etika Lingkungan Hidup sebagai Konsekuensi Tauhid
Fardiana Fikria Qur’any, M. Ud-Pada abad 21 telah dilakukan penelitian tentang lapisan ozon alam ini yang sudah menipis akibat dari pemanasan global. Terjadinya pemanasan global disebabkan dari polusi udara yang dihasilkan dr emisi gas kendaraan dan efek rumah kaca. Kondisi seperti ini sangat merugikan manusia itu sendiri. Sampai hari ini, beberapa negara berusaha menciptakan transportasi yang ramah lingkungan untuk mengurangi atau mengantisipasi semakin menipisnya lapisan ozon.
Selain isu pemanasan global yang muncul ke permukaan, banyak isu kerusakan lingkungan hidup lainnya seperti, tercemarnya air karena limbah industri, terjadinya eksploitasi pada hutan dengan menebangi pohon tanpa menanamkan kembali sehingga mengakibatkan banjir yang tak terlakan. Yang terburuk adalah kehabisan sumber daya alam karena selalu dihabiskan tanpa dilakukan perawatan dan penjagaan.
Krisis ekologi adalah masalah konkrit yang kita hadapi hari ini. Namun, krisis bukan sekedar krisis tindakan. Krisis ekologi diakibatkan dari salah kaprah memahami relasi antara manusia dengan alam. Maka, krisis ini harus diselesaikan secara mengakar dari basis tindakan yang mendorong manusia berpikir untuk mengeksploitasi alam semesta.
Islam tidak sejalan dengan tindakan merusak alam semesta. Karena tanggungjawab seorang khalifah di atas bumi bukan saja merawat dirinya sendiri sebagai manusia, tetapi juga merawat makhluk Tuhan lainnya, seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan semua makhluk hidup yang Allah ciptakan.
Agama Islam mendorong pengikutnya untuk senantiasa menjaga dan merawat alam semesta seperti dia menjaga dirinya sendiri. Dalam dimensi akhlak atau etika di dalam Islam, etika terhadap lingkungan hidup adalah hal penting. Konspesi etika lingkungan di dalam Islam memiliki dasarnya sendiri dan hal ini berhubungan dengan keimanan seseorang. Oleh karena itu, pada tulisan ini, kita akan membahas mengenai basis etika lingkungan hidup dan bagaimana keterhubungannya dengan keimanan manusia pada Tuhannya.
Basis Etika Lingkungan Hidup
Alam semesta ini seringkali dilihat oleh manusia hanya sebagai objek belaka dan manusia adalah subjek. Ketika relasi hubungan manusia dengan alam semesta ini relasi subjek-objek, maka yang terjadi adalah, alam semesta harus mengabdikan dirinya untuk manusia dan manusia dapat mengeksploitasi alam semesta sedemikian rupa hingga tak lagi bersisa suatu apapun dari alam ini.
Basis hubungan manusia dengan alam yang seperti ini adalah basis antroposentrik. Antro adalah manusia dan sentrik adalah pusat. Manusia dipahami sebagai pusat alam semesta dan ukuran kebenarannya adalah manusia itu sendiri (subjektif). Paradigma seperti inilah yang kemudian menghasilkan tindakan-tindakan yang merusak alam semesta. Karena alam semesta harus memberikan segala sesuatunya pada manusia.
Di dalam Islam, basis tindakan pelestarian alam atau basis dari etika lingkungan hidupnya memiliki paradigma yang berbeda. Alam tidak dipandang sebagai objek, melainkan sebagai satu kesatuan dari diri manusia itu sendiri. Relasi manusia dengan alam semesta bukan relasi subjek-objek yang dilandasi oleh cara pandang antrosentris, melainkan relasi kealaman yang berhubungan dengan ketuhanan yaitu, antropokosmik.
Antro adalah manusia dan kosmik adalah alam semesta. Yang dimaksud dengan antropokosmik adalah manusia dan alam semesta adalah satu kesatuan organik yang tidak dapat dipisahkan. Antropokosmik sendiri adalah istilah yang digunakan pertama kali oleh Direktur Harvard Institute-Yenching, Tu Weiming. Alam semesta adalah makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmos. Keduanya memiliki keterhubungan dalam kesuatuan kosmik.
Pandangan antropokosmik memiliki konsekuensi tindakan yang merawat alam semesta. Karena melukai alam sama dengan melukai manusia itu sendiri. Menghancurkan alam berarti menghancurkan manusia itu sendiri.
Selain pandangan antropokosmik ini, ada basis lainnya dalam Islam yaitu, kosmos tidak penah lepas dari keterhubungannya dengan dimensi metafisika. Dimensi inilah yang membangun keterhubungan kuat antara makrokosmos dan mikrokosmos. Istilah kosmos adalah istilah yang merujuk pada alam semesta yang melibatkan dimensi metafisik di dalamnya. Dengan demikian, kesadaran akan kesatuan kosmik yang berhubungan pada metafisika dapat menghantarkan manusia untuk menjaga dan melestarikan alam semesta.
Dalam bahasa teologis, menjaga alam adalah realisasi dari keimanan pada Allah SWT.
Memelihara Alam; Buah dari Keimanan
Tauhid adalah sebuah upaya mengeesakan Allah SWT. Dengan kata lain, menganggap sesuatu itu esa. Dalam pemahaman agama Islam, tauhid adalah meyakini keesaan Allah SWT. Tauhid berhubungan dengan keimanan. Selain iman, ada Islam dan Ihsan. Al-Qur’an mengibaratkan ketiganya dalam bentuk pohon. Allah Ta’ala berfirman:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim/14:24-25).
Akar pohon itu disebut sebagai iman. Sesuatu yang menancap ke bawah dengan kuat yang menentukan kekuatan berdirinya pohon tersebut dan menentukan perkembangannya hingga menghasilkan cabang yang kuat dan buah yang manis. Cabang adalah ilustrasi dari Islam (syariat) sedangkan buah adalah Ihsan.
Tauhid adalah pondasi, islam adalah dimensi lahir (syariat) dan ihsan adalah esensi dari agama ini. Sehingga orang yang sempurna dalam beragama Islam ialah, ketika ia memiliki keimanan akan keesaan Allah SWT, menjalankan syariatnya dan melakukan kebaikan. Salah satu bentuk kebaikan ialah, menjaga dan merawat alam semesta agar alam ini senantiasa memiliki timbal balik kebaikan juga bagi umat manusia.
Menjaga alam semesta, memeliharanya dengan baik adalah bagian dari ihsan atau buah dari keimanan. Orang yang memiliki pondasi kuat dalam beriman akan secara otomatis semestinya merawat alam semesta. Karena merawat alam semesta adalah konsekuensi tauhid atau konsekuensi dari mengimani Allah SWT.
Kembali pada definisi iman, bahwa iman bukan saja mengucapkan dengan lisan yaitu, bersayahadat, melainkan juga menetapkan di hati dan membuktikannya lewat perbuatan. Pembuktian keimanan lewat perbuatan dalam konteks lingkungan hidup ialah, menjaga, merawat dan melestarikan alam semesta hingga alam menemui keharmonisan dan keseimbangannya.