Potensi Taqwa dan Aktualitasnya Dalam Puasa
Fardiana Fikria Qurany, M. Ud-Berdasarkan hukum kausalitas, alam ini senantiasa bergerak dan berubah. Dan setiap perubahan merupakan ihwal aktualitas suatu wujud berdasar potensi yang dimilikinya dan stimulus yang didapatkannya. Di alam ini, dengan hukum alam yang pasti, manusia dapat memanfaatkannya untuk hidup mereka. Manusia tak dapat menciptakan hukum alam, tapi dapat mengelolanya untuk suatu kepentingan. Misalkan, manusia ingin bepergian secara cepat, maka ia butuh alat (transportasi) dimana alat itu memanfaatkan tenaga mesin untuk menggerakkan ban yang berbentuk lingkaran sehingga dapat berjalan dengan baik.
Setiap sesuatu pasti memiliki potensi, dan akan aktual bila ada sebabnya. Sesuatu di sini tidaklah semata-mata berdimensi material belaka, melainkan juga sisi hal non-material (ruh, jiwa). Pada manusia, tidak sekesar tubuh-biologisnya yang tumbuh secara alami sesuai potensinya, melainkan alam pikirannya pun turut bertumbuh. Tubuhnya menerima gizi hingga dapat bertumbuh dengan sehat, begitu pula pikirannya akan bertumbuh sehat dengan menerima pengetahuan yang benar dan positif.
Islam, dengan syariatnya, tampak memperhatikan secara serius pola kesehatan dua aspek di atas. Misal, dalam tindakan mengkonsumsi barang, Islam menegaskan dua kriteria penting: Halal dan Thayyib. Halal terkait dengan sisi syara’ yang nilainya telah ditentukan di dalam nash-nash agama, sementara Thayyib berhubungan dengan kualitas suatu barang dalam hubungannya dengan tubuh kita.
Tak terkecuali puasa, ia memiliki–salah satunya–fungsi preservatif. Ibadah puasa, menurut banyak penelitian dinilai berdampak positif terhadap kesehatan tubuh manusia. Hal ini paralel dengan sebuah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah, “Berpuasalah, niscaya kamu sehat” (shūmū, tashihhū). Kenyataan ini makin diperkuat dengan analisa ahli medis yang mengungkapkan bahwa lambung menampung dan mencerna makanan selama kurang lebih 4 jam, begitu selanjutnya usus diolah dan diserap oleh usus selama 4 jam. Artinya jika sehari kita makan 3 kali, maka sesungguhnya lambung dan usus bekerja sedemikian rupa mengolah makanan di dalam perut kita. Dengan puasa, ada jeda waktu agar tubuh beristirahat dan melakukan penataan ulang energi.
Artinya dengan perintah puasa tersebut terdapat kapasitas tubuh yang mungkin mengalami suatu perubahan metabolistik. Dimana tranformasi tersebut hanya mungkin dengan menahan lapar dan haus. Perintah syariah pada dasarnya memang didesain untuk mengaktualkan potensi diri manusia untuk sampai pada derajat kemanusiaan yang tinggi, melebihi derajat segala makhluk yang ada di semesta alam raya ini.
Puasa Batin
Potensi manusia yang maha dahsyat justru terletak di dalam suatu “ruang” yang tak bisa ditunjukkan tempatnya, tapi hanya bisa dipahami dan dirasakan: Batin. Dalam batin ini sekurangnya terdapat 3 kekuatan: Akal, Nafsu, dan Ruh (spititual). Akal untuk menangkap hakikat kenyataan secara teoritis. Nafsu bekerja untuk melampiaskan (ghodobiyyah) dan menikmati (syahwatiyyah) sesuatu, yang tampil dalam rupa hasrat, obsesi dan keinginan-keinginan yang bersifat hewaniah-basyariah. Hingga Ruh yang tertanama dalam lubuk hati terdalam, tak terkata, ia disinyalir sebagai ruang manifestasi tajalli cahaya ilahi yang membuka tabir antara hamba dengan Tuhannya.
Nafsu bukanlah hal yang diisyaratkan untuk dihilangkan, melainkan disucikan dan dikendalikan. Lantaran karena nafsu yang liar, akan memenggalkan jalannya akal pikiran yang sehat, lebih-lebih memenjarakan ruh yang bertabur cahaya ilahi. Maka, puasa berupaya mendisiplinkan nafsu manusia agar dapat dikendalikan oleh akal dan ruh.
Demikian al Ghazali mengkategorikan 3 bentuk puasa seorang hamba. 1. Mereka yang berpuasa untuk sekedar tak makan, tak minum, dan tak berhubungan intim(shoumul bathni wal farji), ini yang lazim disebut sebagai puasanya orang awam, puasa dengan standar minimal. 2. Mereka yang berpuasa tidak sekedar menahan lapar, haus, dan seks tapi menjaga mata dan telinga dari melihat dan mendengar hal-hal yang sia-sia, yang menjauhkannya dari mengingat Allah (shoumul jawarih). Tingkatan ini tentu lebih tinggi nilainya dari tingkatan pertama, dan disebut juga dengan “Shoumul Khowas”
- Mereka yang berpuasa, bukan sekedar sebagaimana dua kategori sebelumnya. Lebih dari itu, batinnyalah yang berpuasa, ia menghindari keinginan yang tak menjadikan dirinya makin cinta pada RabbNya. Ia kendalikan dirinya untuk marah, kendalikan dirinya untuk benci, ia tabur seluas-luasnya cinta di hatinya, lantara hanya ridho Allah semata yang ia harap. Inilah puasa hati (shoumul qolbi) arau lazim dikenal sebagai shoumu khowashil khowas.
Gerak laju perubahan ruhaniah manusia membutuhkan sebab, yang akan menghantarkannya menuju aktualitas tertinggi seorang hamba: Taqwa. Para ulama mendefinisikan taqwa dengan bermacam-macam bentuk. Namun bisa kita rangkai dalam empat kategori utama sebagai indikator ketaqwaan seseorang. Pertama, al-khawf minal Jalīl (rasa takut kepada Allah Yang Maha Agung). Takut di sini tak semata bermakna negatif, tapi lebih sebagai kepasrahan positif. Yakni takut dan pasrah karena kesadaran akan KuasaNya. Kedua, al-‘Amal bi-tanzīl (beramal sesuai tuntunan Syari’ah). Syariah merupakan tuntunan praktis hidup seorang muslim yang wajib dilaksanakan berdasar cara-cara yang dicontohkan Nabi. Ketiga, ar-Ridhā bil qalīl (ridha dengan yang sedikit). Orang bertaqwa, di hatinya selalu ada ridho atas ketetapanNya. Baik secara kuantitas hal yang didapatkannya dalam hidup terlihat kecil atau besar. Indikator terakhir, al-isti’dād liyawmi-r-rahīl (menyiapkan untuk kehidupan akhirat). Bagi manusia bertaqwa, hidup di dunia tidaklah abadi. Hal ini merupakan konsekuensi keyakinan akidah Islam yang meyakini adanya hari akhirat. Sehingga kehidupan dunia tiada lain kecuali tempat berinvestasi amal baik sebagai bekal pulang ke kampung halaman sejati yang abadi (Dar al akhirah).
Jika kita tilik lebih dalam lagi, dapat kita lihat bahwa sesungguhnya substansi Taqwa secara adalah ketundukan seorang hamba yang tiada lagi karena apapun kecuali karena Allah. Seorang hamba yang menyembahNya karena sepenuh-penuh kesadaran. Segala terjal suluk yang dijalani menuju Ridho ilahi lantaran sadar yang penuh terasa membahagiakan dan bermakna, alih-alih membuatnya menderita.
Kesimpulan
Begitu pentingnya puasa sebagai proses aktualisasi potensi terbaik kemanusiaan (taqwa), ia bahkan diperintahkan kepada umat sebelum Nabi. Hal ini menandaskan bahwa manusia di muka bumi adalah sama belaka, yang membedakan mereka adalah Taqwanya. Dan taqwa hanya mungkin diraih dengan iman dan syariat. Tanpanya, jiwa manusia akan selalu terkurung dalam status kemungkinannya, bahkan bisa jadi ia mengaktual dalam bentuk yang lain yang justru akan menodai dan menghacurkannya sendiri.