Filsafat dan Fisika Kuantum (Bag.1)
image:pemurniandiri.blogspot.com
Perluasan pengalaman kita secara besar-besaran dalam beberapa tahun belakangan ini telah mengungkapkan kelemahan-kelemahan konsepi-konsepsi mekanis kita yang sederhana dan, akibatnya, telah menggoncangkan landasan tempat interpretasi atas observasi yang biasa diletakan Niels Bohr (dikutip dari the Thao Capra).
Segala sesuatu mulai berubah sifat dan penampakannya; seluruh pengalaman seseorang atas dunia menjadi sangat berbeda. Terbentang jalan baru sangat dalam dan luas untuk mengalami, melihat, mengetahui, dan bersentuhan dengan segala sesuatu (Sri Aurobindo (dikutip dari the Thao Capra).
Filsafat dan fisika
Sebelum menulis ini kiranya layak Anda mengikuti kepiluan hati saya akibat mendengar bahwa sorogan ilmiah kitab masterpiece Shadra itu selalu mengabaikan bab fisika (thabi’at). Ini adalah sebuah hal yang juga disesalkan oleh Dr. Mulyadi Kartanegara. Kenapa seolah-olah fisika dimusuhi oleh filsafat? Apakah karena perasaan rendah diri atau karena memandang fisika banyak berkutat tentang thabiat semata-mata, sebuah benda dunia yang rendah dan mati?
Menurut Ian Barbour, fisika adalah ilmu yang mempelajari struktur dasar dan proses perubahan yang terjadi pada materi dan energi. Definisi ini menggambarkan aktifitas yang memeras waktu dan penelitian yang sangat luas. Anda bisa mengetahui bagaimana terjadinya proses perubahan pada materi dan energi, dan bagaimana sampai bisa melacak keberadaan struktur dasar?
Perubahan adalah salah satu tema yang populer dalam filsafat sejak Aristoteles hingga Mulla Sadra. Fisika mempunyai arti historis dan kotemporer yuang amat penting karena posisinya sebagai ilmu sains pertama yang berhasil disusun secara sistematis. Di samping itu, beberapa asumi fisika digunakan cabang-cabang sains yang lain.
Karena membahas benda mati maka fisika dianggap menjauhkan manusia dari Tuhan, padahal alam itu mâ yu’lamu bihi atau sign (tanda) atas Tuhan (ayat-ayat Allah). Istilah kosmos yang diambil dari bahasa Yunani juga tidak seindah istilah alam, sebab kosmos berasal dari cusmus yang artinya keteraturan (orderly) dan sama sekali tidak mau menunjukkan kehadiran Tuhan, begitu juga dengan wordl. Wordl atau nature sama sekali tidak ada hasrat-hasrat spiritual.
Tapi mungkin keasikan ilmuwan Islam dengan tuhan ini mengabaikan dimensi lain dari tuhan yaitu kecerdasan tuhan di alam. Lantaran itu saya melihat disorientasi filsuf muslim kontemporer atas fisika, dengan lebih banyak melakukan kontemplasi dan refleksi atas alam makrokosmos dan mikromosmos dan mengabaikan alam atom dan subatomik bahkan kata Ian G. Barbour fisikawan, teologian dan pengarang serta winner of the 1999 Templeton Prize for Progress in Religion, mengatakan bahwa tanpa bantuan fisika kuantum yang menelaah gaya-gaya alam, mustahil kita dapat memahami unsur-unsur kimia, tabel periodik, transistor, tenaga nuklir bahkan kehidupan sendiri.
Ingatan saya melayang pada sebuah kuliah yang dibawakan oleh seorang kandidat doktor di Sorbone Perancis berkebangsaan Tunisia, ia pernah mengatakan bahwa Ibnu Sina mengganggap mustahil seseorang bisa pergi ke bulan dan kemudian kembali membawa tanah (sesuatu) dari bulan tersebut. Apa yang dibayangkan Ibnu sina sangat berbeda dengan sekarang. Apakah begitu juga deskripsi Mulla Shadra tentang fisika yang mungkin sudang dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan saint mutakhir.
Untuk mengutak-atik science, seseorang memang harus belajar dari alam, dari materi dari thabiat langsung terlibat secara penuh – tidak sekedar merenung di menara gading- merefleksikan secara filosofis benda-benda itu. Ia harus berkubang dalam benda; tanah, air dan yang lebih sub atomik lagi, partikel, proton, quark dsb – yang dianggap tidak memiliki peran metafisik- padahal bukankah mereka adalah inti dari segala yang ada ini? Lalu kenapa terhadap yang inti kita abai dan cukup puas dengan kulitnya saja, apalagi itu pun cukup dengan wujud mental? Ataukah ilmuwan muslim modern tidak memiliki waktu dan orientasi ke depan?
Ada beberapa implikasi yang mungkin berpengaruh pada filsafat, sebab filsafat memang kadang-kadang memerlukan saint sebagai ujung tombaknya. Saint misalnya tetap diperlukan oleh filsafat, karena filsafat seperti kata Mulla Sadra berkutat dalam hal-hal yang universal (kuliyyat) sementata science atau knowledge itu mencoba menguliti yang juziyat (particular). Any how, konsekuensinya yang particular itu bisa saja mementahkan atau mendukung yang universal.
Sains modern sebagai pandangan dunia, merupakan salah salah pandangn dunia di antara berbagai pandangan dunia lainnya kata Armahedi Mahzar. Menurut Armahedi Mahzar, saint adalah filsafat tersembunyi, karena itu dengan sendirinya saint mempunyai tiga komponen :ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi saintisme adalah materialisme, mekanisme dan atomisme. Epistemologi saintisme adalah rasionalisme dan empirisme dan aksiologi saintisme adalah netralisme, universalisme dan humanisme.
Filsafat adalah ilmu universal yang selalu merendah diri terhadap kemungkinan penemuan-penemuan saint, sekalipun ia yang mengafirmasikan ilmu tapi ia juga siap diremake oleh ilmu-ilmu partikular. Sebagai sebuah pemikiran, kontemplatif, ia memerlukan bukti-bukti yang mendukung klaim-klaimnya, contohnya tema kausalitas adalah produk murni filosofis yang kemudian ditemukan secara efektif dalam eksperimen sains. Dan sains selalu mencoba menemukan sebab dari segala fenomena. Seperti kita ketahui bahwa bahwa tool dari sains adalah observasi dan eksperiman sementara tool dari filsafat adalah diskusi dan kontemplasi. Jadi, saint tetap bertugas untuk menemukan pola dari kejadian (the pattern of event) dan filsafat mencoba untuk menafsirkannya.
Relasi fisika dan filsafat bukanlah relasi yang semu, tapi ia relasi yang harmonis. Asumsi-asumi fisika selalu filosofis sebelum eksperimentalis. Konsep induksi misalnya adalah konsep filosofis, karena mengandaikan keyakinan akan karakter universalnya dan sekaligus mengabaikan partikularitasnya.
Mungkin kedekatan pandangan mekanika Newton atau fisika Newton dengan positivis atau materialisme bisa dikatakan sangat wajar sebab bukankah dampak dari mekanika Newton adalah alam yang bisa diprediksi, alam yang rasional, observable, experimental, dan bahkan predictable hal yang menjadi acuan kaum positifis. Jadi, alam seperti arloji. Objek dalam mekanika Newton adalah apa yang bisa diamati dan karena itu juga bisa diramalkan, dengan membaca yang sekarang dapat diprediksikan hal yang akan datang–ia linier, dan terukur.