Fitrah, Agama, dan Mengenal Diri
“Barangsiapa mengenal dirinya niscaya mengenal Tuhan-nya”. Hadis ini sangat masyhur di kalangan kaum Muslimin: para filsuf, urafa, ahli hadis dan para mufasir. Hadis tersebut menghubungkan antara jiwa dengan Tuhan. Dan mengaitkan pengetahuan salah satunya dengan laainnya. Tentunya, dalam mengurai hadis tersebut memerlukan beberapa mukadimah yang dapat menghantarkan pemahaman yang jelas dan benar terhadap hadis tersebut. Karena, syarat dengan kandungan filosofis dan irfani, sehingga mendedahannya tentu tidak semudah menghafal hadis tersebut. Terdapat korelasi yang menarik dan njelimet antara pengetahuan jiwa dengan pengetahuan tentang Tuhannya.
Pengetahuan konseptual dan pengetahuan kehadiran merupakan pembagian pengetahuan secara primer. Pengembalian seluruh pengetahuan yang dimiliki manusia berakhir pada dua macam pengetahuan ini. Dalam definisi para filsuf, pengetahuan konseptual adalah perolehan pengetahuan melalui perantara konsep atau pun gagasan antara realitas dengan mental. Sedangkan, pengetahuan kehadiran adalah realitas objek pengetahuan mewujud dan hadir pada subjeknya tanpa media gagasan. Kedua definisi tersebut merupakan definisi paling populer.
Penafsiran beragam terhadap hadis di atas menuntun kita memahami secara komprehensif atas muatan hadis di muka. Secara umum, tafsiran atas hadis itu terbagi menjadi dua poros besar: afirmasi dan negasi. Sebelum lebih jauh memasuki dedahan terhadap hadis tersebut, tepat kiranya sekilas menjelajah sisi kesahihan hadis. Artinya, Ahlus-Sunnah, Syiah, mufassir, ahli-kalam, sufi-irfan dan para filosof mengakui keberadaan hadis ini. Akan tetapi, kita perlu menguji kevaliditasan hadis tersebut baik secara matan atau pun sanad.
Sebagian ulama berpendapat ke-mursalan hadis tersebut berasal dari Nabi saw seperti, al-Imam Fakhru Razi dalam al-Tafsir al-Kabir (Mafatih al-Ghayb), al-Majlisi dalam mir’atul ‘uqul fi syarhi akhbari âli Rasul dan Muhammad bin Syahr Asyub dalam Mutasyahbih al-Qur’an. Abdul Wahid bin Muhammad Âmidi dalam Ghuraru al-Hikam wa Duraru al-Kalim, Abdul Hamid bin Hibbatullah bin Abi al-Hadid dalamn Syarah Nahj al-Balaghah berpendapat bahwa hadis tersebut berasal dari ucapan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Sebagian lainnya seperti, Ibnu Taymiyyah, Suyuthi, Sam’âni dan Nawani bersikeras atas kepalsuan (baca: maudhu’) hadis ini. (Murtadha Khushsuhbat, Muhammad Ja’fari, Ma’rifat Kalami, Tabyiin Borhan-e Ma’rifat-e Nafs, hal 80)
Setelah mengenal sedikit posisi riwayat di atas, saatnya memasuki muatan hadis tersebut. Muatan yang syarat premis dalam memahaminya. Premis-premis filosofis menjadi sangat kokoh dalam upaya mendedah muatan hadis tersebut. Pembahasan kausalitas, merupakan salah satu bahasan sentral dalam filsafat, bahkan menjadi pondasi tunggal dalam menjelaskan penciptaan jagad wujud, mendapatkan kesempatan yang cukup leluasa untuk mendedah kandungan riwayat tersebut. Keterbutuhan dan ketergantungan ontologis-kausalitas merupakan alasan rasional untuk menghubungkan pengenalan jiwa dengan pengenalan kepada Tuhan. Hukum kausalitas adalah setiap akibat membutuhkan dan tergantung pada sebabnya. Dan tolok-ukur keterbutuhan dan ketergantungan kepada sebabnya menjadi poros kajian para pemikir muslim. Para teolog berpendapat tolok-ukur keterbutuhan tersebut terletak pada keterbutuhan dalam kejadian.
Dengan ungkapan lain, suatu akibat memiliki keterbutuhan pada sebabnya di saat dia menjadi ada, yang sebelumnya tidak ada. Keterbutuhan pada kejadiannya. Dan dengan landasan tersebut, membimbing manusia untuk sampai pada Pencipta atau Esensi yang menjadikan akibat. Para filosof, khususnya Parepatetik, menyandarkan keterbutuhan tersebut pada bangunan teori “kemungkinan-esensial”. Dengan landasan tersebut, menghantarkan nalar manusia sampai pada Esensi Yang-Niscaya-Ada (wajib al-wujud). Selain dua pandangan di atas, teorti “kemungkinan-kefakiran” (baca: imkan faqri) yang ditawarkan oleh Mulla Sadra dalam Teosofi Transendental (hikmah muta’âliyah) menambah warna baru dalam berargumentasi atas keberadaan Sang Maha Wujud lagi Kaya. Ketiga teori atas keberadaan Tuhan bisa menjadi sandaran untuk mendedah hadis itu dengan alasan bahwa jiwa adalah akibat.
Mulla Sadra setelah memaparkan teorinya, al-imkan al-faqri, sebagai tawaran final dalam berargumentasi atas kebaradaan Tuhan, beliau melanjutkan paparannya tentang hirarki eksistensi (baca: tasykiik wujud). Menurutnya, hirarki eksistensi adalah setiap tingkatan dari wujud terkait dengan tingkatan yang lebih kuat dan sempurna. Seluruh tingkatan akan berakhir pada satu puncak eksisntensi yang sangat sempurna. Setiap fase dari tingkatan-tingkatan tersebut memiliki keterbutuhan dan keterkaitan eksisntesial di antara tingkatan-tingkatan tersebut. Hingga, berhenti pada satu puncak eskisistensi yang tidak memiliki keterbutuhan dan ketergantungan secara mutlak. Jiwa manusia merupakan satu bagian dari hirarki eksistensi tersebut. Maka, dia merupakan eksistensi keterbutuhan secara inheren yang memerlukan kepada sebab, bukan saja dalam kejadiannya bahkan dalam menjaga keberadaanya agar tetap ada. Keterbutuhan eksistensial tersebut merupakan pondasi bagi keberadaan dan keberkesinambungan eksistensinya.
Selanjutnya, salah satu bahasan menarik dalam kausalitas adalah permasalahan keserasian sebab dengan akibatnya (baca: sinkhiyyah). Dengan landasan keserasian, para filsosof membangun argumentasi tentang ke-immaterial-an jiwa. Petikan argumentasi tesebut menyatakan bahwa ruh atau jiwa manusia diciptakan langsung oleh Tuhan dengan menggunakan kata “khalaqtu bi yadi” (QS. Shad, 75). Maka, Pencipta ruh juga suci dari sentuhan materi.
Tinjauan terhadap pengetahuan dapat dilihat dari dua aspek yang berbeda. Aspek pertama adalah tinjauan secara epistemik, dimana sudut pandang terhadap pengetahuan menyoroti ranah jenis-jenis, tingkatan, media, perolehan pengetahuan serta nilai pengetahuan yang disebut dengan tolok-ukur kebenaran dan kesalahan pengetahuan. Aspek kedua adalah mengamati eksistensi pengetahuan. Tinjauan aspek pertama disebut dengan epistemologi, sedangkan aspek kedua disebut meta-epsitemologi. Apa pun aspek dan tinjauan di atas merupakan predikat-predikat bagi subjeknya, yaitu jiwa dan ke-immaterial-an jiwa. Semua tinjauan akan kehilangan nilai bahkan keberadaanya, jika jiwa terlebih dahulu tidak pernah dibuktikan keberadaannya.
Pada makalah sebelumnya, disebutkan tentang arti inheren. Dan pada makalah ini, tidak lagi ingin membahas tentang inheren, akan tetapi ingin menerapkan istilah kedua dari inheren yang terdapat pada bab burhan. Inheren pada bab burhan adalah satu kepahaman yang diambil dari diri sesuatu tanpa melibatkan unsur lain di luar sesuatu tersebut. Keterbutuhan jiwa, akibat, terhadap sebabnya adalah keterbutuhan inheren. Dimana keterbutuhan tersebut dipahami dari hakikat akibat. Jika tidak, maka dia adalah sebab. Sebaliknya, ketidak-terbutuhan sebab kepada selain dirinya merupakan konsep yang dipahami secara inheren dari hakikat sebab. Jika tidak, maka dia adalah akibat. Berpijak pada premis ini, keterbutuhan jiwa, sebagai akibat, terhadap sebabnya adalah keterbutuhan inheren. Dengan kata lain, ketergantungan eksistensial terhadap sebab secara inheren menjadikan jiwa selalu memerlukan sebabnya. Sehingga, jiwa tidak melihat dirinya kecuali keterbutuhan dan ketergantungan. Dia tidak memiliki kemadirian dan independesi secara eksitensial. Dari sisi lain, akibat bukan sesuatu yang berlainan secara eksisntial dari sebabnya, karena dia adalah inti dan hakikat ketergantungan. Maka, akibat adalah ‘penampakan’ lain dari hakikat sebab. Sebagaimana terang merupakan akibat cahaya, dan difahami dari cahaya. Terang bukan sesuatu yang terpisah dari cahaya, namun ia merupakan tampilan lain dari cahaya. Dengan pendekatan di atas, sebagian para ‘urafa berpendapat bahwa jiwa merupakan tajalli dari keberadaan sebab.
Dengan memperhatikan premis-premis di atas, sampailah kita pada tafsir atas riwayat “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” bahwa pengenalan jiwa dengan segala aspek dan ‘ruang-kerja’-nya, maka akan menghantarkan manusia pada pengenalan Tuhan.
Pada bahasan sebelumnya, disebutkan bahwa fitrah adalah cetakan, dengan cetakan itu Allah menciptakan manusia, dan jiwa adalah yang mengisi cetakan tersebut. Selanjutnya, ayat Alquran menyatakan dengan gamblang “Tidak ada perubahan pada ciptaan (fitrah) Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. 30:30), dapat disimpulkan bahwa agama yang lurus tersebut adalah pengenalan Tuhan, sebagaimana yang telah disebutkan pada argumentasi jiwa atas keberadaan Sebab. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan yang lebih dalam bahwa mengenal Tuhan merupakan struktur atau pun cetakan dalam penciptaan manusia, yang ungkapkan dalam bahasa wahyu dengan “(Itulah) agama yang lurus”.Oleh: Andi Mahdi