Fungsi Haji Dalam Penguatan Kerjasama Dan Persatuan Umat Islam
Oleh : Kifliyah Batul M.A*
Pengantar
Ibadah haji adalah salah satu perintah Allah swt dan sunnah yang diajarkan semenjak Nabi Adam as hingga Nabi Ibrahim as, kemudian
diwariskan dan disempurnakan oleh Nabi Muhammad saw. Ibadah haji adalah sebuah perjanjian antara manusia dengan Tuhannya dan sebagai tempat persatuan para penerus ajaran Ibrahimi yang hanif. Ibadah haji adalah pusat perkenalan dan komunikasi umat Islam yang agung ini, pelatihan kesadaran, kebebasan, dan pembentukan diri. Ibadah haji merupakan sunnah seluruh utusan Allah, sedangkan Ka’bah adalah tempat ibadah pertama di muka bumi. Para penziarah Ka’bah dan pelaku haji menjadi tamu-tamu Allah swt. Haji adalah sebuah ibadah agung yang merupakan salah satu puncak kebebasan mukmin muwahhid dari selain-Nya, jalan penyucian diri dan manifestasi kerinduan dan pengorbanan, kesadaran dan tanggung jawab dalam kehidupan individual dan sosial. Dengan demikian ibadah haji adalah penjelmaan seluruh hakekat dan norma Islam. Ibadah haji dengan seluruh aspeknya akan menerangi kehidupan manusia. Namun sayangnya, masih banyak sisi dari ibadah ini yang belum dimanfaatkan semaksimal mungkin dan bahkan ditinggalkan begitu saja. Ibadah haji memiliki kandungan hikmah yang sangat kaya dan sudah semestinya digali dan dipelajari, sebagaimana kita mempelajari seluruh hukum dan pengetahuan Islam yang lain. Dengan mempelajarinya, kita akan memetik berbagai manfaat dan berkah, untuk kemudian diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan individual maupun sosial. Melalui ibadah haji, kaum muslimin akan meraih berbagai manfaat darinya, sebagaimana dijanjikan Allah swt di dalam Al- Qur’an, “Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka…” Karena ayat tersebut menggunakan kata yang bersifat umum “Manaafi’a” maka bisa disimpulkan bahwa manfaat haji mencakup segala bentuk, mulai dari manfaat individu, sosial, ukhrawi, duniawi, budaya, politik, ekonomi, dan bahkan militer. Seluruh manfaat haji itu akan dapat diraih oleh para jamaah haji dan dapat dirasakan pula oleh seluruh kaum muslimin. Dalam kesempatan ini kami akan memfokuskan pembahasan pada dua dimensi haji, yaitu individu dan sosial.
Dimensi Individual Ibadah Haji
Masa ibadah haji merupakan sebuah kesempatan yang tepat untuk membebaskan diri dari wawasan yang sempit, egoisme, kelalaian, dan keterikatan kepada dunia. Ibadah haji adalah gambaran terjadinya hari kiamat dan manifestasi bergeraknya umat manusia secara serentak. Ibadah haji adalah salah satu tugas seluruh kaum muslimin
dan termasuk di antara rukun agama dan panji mulia Islam. Ibadah haji merupakan training jangka pendek untuk melatih jiwa dan ruh manusia secara individual. Ibadah haji akan melatih manusia untuk menyucikan diri, mencapai kejernihan hati, dan meraih cahaya Ilahi. Melalui ritual haji, manusia akan mampu membersihkan noda material dan spiritual dari jiwanya sehingga ia meraih ketenangan jiwa dan kedekatan diri kepada Allah swt. Dia akan menemukan shirath mustaqim ke arah kesempurnaan dan penghambaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dimensi Sosial Haji
Dimensi sosial haji dapat dipelajari dari firman Allah swt berikut ini. “Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah Suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia.” Artinya, Ka’bah dan sekitarnya menjadi tempat yang aman bagi manusia untuk mengerjakan urusan-urusannya yang berhubungan dengan duniawi dan ukhrawi. Dengan adanya Ka’bah yang menjadi pusat dari ritual haji, kehidupan manusia menjadi kokoh. Ibadah haji adalah pada hakikatnya adalah gerakan sosial kaum muslimin sedunia untuk bersama-sama untuk menyelesaikan segala problema, menjamin segala kebutuhan umat, serta dan menyelesaikan berbagai urusan umat manusia. Marilah kita menmbaca pesan haji yang pernah disampaikan oleh pimpinan spiritual tertinggi Iran saat ini, Ayatullah Ali Khamenei pada musim haji tahun 1417 H. “Haji adalah kewajiban agama yang paling memiliki dimensi sosial karena haji merupakan manifestasi kekuatan, kemuliaan, dan persatuan umat Islam. Ibadah haji memberikan pelajaran tentang berbagai problema yang dihadapi umat manusia, khususnya dunia Islam, dan memberikan kesempatan untuk menggalang kekuatan, kemuliaan, dan persatuan. Oleh karena itu, melalaikan dimensi sosial haji sama artinya dengan menutup sumber-sumber kebaikan untuk kaum muslimin yang tidak dapat dipenuhi dari jenis ibadah
lainnya.” Ayatullah Khomeini juga pernah menyampaikan pesan berikut ini kepada para jamaah haji pada 5 Dzul Hijjah 1408 H. “Semua orang dapat mengambil manfaat dari ibadah haji sebagaimana yang mereka dapatkan dari Al-Qur’an. Akan tetapi, hanya ulama’, orang-orang yang mendalami arti, hukum, dan tujuan sosialnya serta mengetahui permasalahan umat Islam saja yang mampu meraih manfaat lebih, berupa esensi petunjuk, hikmah, dan kebebasan.” Sayang sekali, manfaat besar haji dari dimensi sosial tidak banyak diperdulikan oleh kaum musimin. Setiap tahun jutaan kaum muslimin berbondong-bondong menginjakkan kaki di atas tanah yang suci, yang pernah diinjak oleh Siti Hajar, Nabi Ibrahim as, Nabi Ismail as, dan Nabi Muhammad saww, akan tetapi jarang sekali mereka bertanya, Siapakah Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad saw? Apa yang telah mereka lakukan? Apa tujuan mereka? Dan apa yang mereka inginkan dari kita? Mereka hanya sibuk melakukan ritual haji, tanpa berusaha menggali filosofi, esensi, dan tujuan hakiki dari ibadah haji. Bila kita memperhatikan beberapa ayat yang memuat kewajiban beberapa ibadah dari sisi waktu pelaksanaannya, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ibadah-ibadah ini lebih banyak melihat kepada dimensi sosialnya daripada individualnya. Kebersamaan dalam menjalankan ibadah-ibadah tersebut akan menunjukkan kekuatan, kemuliaan dan persatuan umat Islam. Dalam shalat misalnya, Al-Qur’an menyebutkan, “Sesungguhnya
shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” Penetapan waktu dan anjuran melaksanakan shalat secara berjamaah merupakan sebuah anugerah kepada umat Islam. Dapat dibayangkan kekuatan, kemuliaan, dan persatuan kaum Muslimin apabila mereka melaksanakan shalat serentak dan secara berjamaah serta menggunakan kesempatan ini dengan baik untuk kepentingan Islam.
Berkenaan dengan puasa, Al-Qur’an mewajibkan seluruh umat Islam untuk berpuasa di bulan suci Ramadhan. Secara serentak, kaum muslimin sedunia melakukan ibadah Ramadhan dan hal ini adalah sebuah kesempatan untuk mewujudkan kekuatan, kemuliaan dan persatuan umat Islam di seluruh penjuru dunia. Adapun berkenaan dengan haji, Allah berfirman, “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi [ialah bulan Syawal, Zulkaidah dan Zulhijjah]…” Pada momen itulah kaum muslimin
seharusnya memberikan perhatian yang lebih pada ibadah haji ini untuk membenahi diri, menjalin komunikasi dengan jamaah lain, dan bersama-sama mengejar tujuan individual atau sosial yang diinginkan oleh Islam. Ibadah haji merupakan sebuah muktamar agung yang dihadiri oleh umat Islam berbagai lapisan, dari seluruh belahan
dunia. Namun, apakah umat muslimin mampu memanfaatkan muktamar agung ini demi meningkatkan derajatnya di muka bumi, memperjuangkan nasib kaum muslimin yang tertindas, dan menjalin persatuan untuk melawan musuh-musuh Islam, semuanya kembali kepada kemauan umat Islam sendiri. Kaum muslimin sedunia seharusnya mampu memanfaatkan anugerah Ilahi ini semaksimal mungkin.
Penutup
Sebagai penutup dari tulisan singkat ini, perkenankan penulis memberikan usulan kepada setiap jamaah haji yang akan berangkat, khususnya yang memiliki otoritas untuk melobi, mengundang dan mengadakan pertemuan dengan para tokoh dari negara lain untuk memprakarsai penyelenggaraan muktamar tahunan dan membentuk
komite-komite dalam berbagai bidang yang diperlukan oleh umat Islam. Pada musim haji, umat Islam dapat mengadakan pertemuan atau seminar khusus sesuai dengan keahlian dan bidangnya masingmasing untuk menjalin kontak, tukar pengalaman, menciptakan kreativitas dan innovasi bersama atas nama kaum muslimin dalam bidang kultural, ekonomi, politik, militer dan lain-lain. Upaya seperti ini, paling tidak –sesuai dengan apa yang pernah penulis saksikan di musim haji tahun 2008 yang lalu—telah mulai dirintis oleh para pemuka jamaah haji Iran dengan mengundang para pakar dan ahli pada bidang-bidang tertentu, mengulurkan tawaran kerjasama, dan mengadakan berbagai pertemuan ilmiah untuk mendengarkan, mengamati, menganalisa dan menyelesaikan berbagai permasalahan dan problema umat Islam dan dunia internasional. Tentu saja, upaya-upaya itu tidak cukup bila hanya dilakukan jamaah Iran saja dan hanya dilakukan pada masa haji saja. Harus ada langkahlangkah global yang dirancang sebelum datangnya musim haji dan upaya-upaya untuk menindaklanjuti kerjasama dan kesepakatan yang telah dijalin pada musim haji. Tidak diragukan lagi, bila suatu hari kelak haji dimanfaatkan secara benar oleh umat Islam dan ibadah ini meraih posisi sebenarnya di dunia Islam, yaitu sebagai muktamar agung kaum muslimin, Islam akan meraih kejayaan dan menguasai dunia. Semoga kita dapat menyaksikan datangnya hari itu. Amin ya Rabbal Alamin!A
DISKUSI: