Hadis-hadis Fatimah Maksumah a.s.
Fatimah Maksumah (alaihas salam) adalah salah seorang perempuan mulia yang banyak menimba ilmu pengetahuan dari ayahanda beliau, Imam Musa Al-Kadhim a.s. dan saudara beliau, Imam Ali Ar-Ridha a.s. untuk dijadikan sebagai petunjuk bagi umat.
Terkadang beliau memberikan jawaban untuk pertanyaan kaum Syiah saat ayahanda beliau sedang tidak berada di tempat. Jawaban yang beliau berikan cukup memuaskan mereka sehingga beliau mendapatkan doa dari ayahanda beliau “Ayahmu menjadi tebusanmu!”[1]
Baca juga: Sayidah Fatimah Ma’shumah, Asy’ariyun dan Kebangkitan Spiritual Islam di Qom
Terkadang beliau mewariskan ilmunya dengan menukil hadis, karena Nabi saw. bersabda:
“Barangsiapa mempelajari dua hadis, mengambil manfaat dari keduanya atau mengajarkannya kepada orang lain sehingga ia pun memperoleh manfaat dari keduanya, akan lebih baik baginya dari ibadah 60 tahun.”[2]
Oleh karena itu, beliau mempelajari berbagai hadis dari ayahanda dan saudara beliau, dan juga menukil banyak riwayat untuk masyarakat dengan berbagai tekanan dan kesulitan yang ada saat itu.
Dari Sayidah Fatimah Maksumah, perempuan berilmu dan pemilik berbagai kemuliaan ini, secara keseluruhan terdapat 5 hadis dalam sumber-sumber hadis. Yang menarik bahwa 4 hadis di antaranya berisi tentang pembahasan imamah atau wilayah.
Iya, beliau mengenal masanya dengan baik. Beliau mengalami masa ketika ayahanda, Imam Musa Al-Kadhim a.s. menemui ajal di pojokan penjara dengan berbagai siksaan terberat dan terburuk, kemudian diletakkan di atas keranda robek dipikul oleh 4 orang sambil diteriaki, “Inilah imam kaum Rafidhah [Syiah].” Demikian pula dengan saudara beliau, Imam Ali Ar-Ridha yang diundang ke Khurasan dengan alasan sebagai putra mahkota yang harus memperoleh perlindungan dan pengawasan lebih.
Dalam kondisi seperti itulah, Fatimah Maksumah memperkuat dan merestorasi bangunan imamah Syiah dengan hadis-hadis yang kuat. Beliau menjelaskan hadis “manzilah” yang dinukil oleh Sunni dan Syiah dan menjadi sanad terbesar atas imamah Amirul Mukminin Ali a.s.:
“Apakah kalian melupakan sabda Rasulullah saw…. Kedudukanmu (Wahai Ali) di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa?”[3]
Artinya bahwa sebagaimana Harun adalah washi dan pelanjut misi Nabi Musa a.s., Amirul Mukminin Ali a.s. juga menjadi washi Nabi saw., setelah beliau dilanjutkan oleh Hasan dan Husain hingga sampai pada Musa bin Ja’far. Maka sebutan imam kaum Rafidhah adalah sebuah penghinaan. Semestinya harus dikatakan Imam Kadhim adalah washi dan pelanjut misi Nabi saw., begitu pula dengan Imam Ridha a.s.
Oleh karena itu, pemberian gelar putra mahkota dari Makmun tiada artinya, karena Imam Ridha a.s. sendiri adalah pemilik kedudukan imamah dan wilayah atau sebagai washi dan pelanjut misi Nabi saw. Imam Ridha a.s. berkata kepada Makmun, “Jika khilafah dan imamah adalah hakmu, engkau tidak berhak menyerahkannya kepada orang lain, dan jika itu adalah hak orang lain (demikian realitanya dan kami berhak atas itu), kenapa engkau menganggap diri sebagai khalifah dan mengangkat putra mahkota?”
Fatimah Maksumah dengan hadis ini ingin memahamkan bahwa imamah para imam Syiah berasal dari kewashian dan suksesi Nabi saw., bukan sebagai putra mahkota dari sosok seperti Makmun.
Di tempat lain beliau menjelaskan hadis mutawatir dan qath’i Ghadir yang memaparkan imamah seluruh imam Syiah. Nabi saw. dalam khutbah Ghadir, bersabda, “Kemudian setelahku adalah Ali sebagai wali dan imam kalian dengan perintah Allah. Lalu imamah akan berlanjut pada keturunanku dari putra-putra Ali hingga kalian menemui Allah dan aku kelak.”[4]
Beliau juga menukil dari ucapan Fatimah Zahra a.s. saat bersabda, “Apakah kalian melupakan sabda Rasulullah saw. pada hari Ghadir Khum, “Barangsiapa yang aku adalah maulanya, maka Ali juga adalah maulanya.””[5]
Dalam sebuah hadis yang panjang, beliau menukil bahwa Nabi saw. pada malam mi’raj melihat sebuah kalimat berikut ini berada di atas sebuah tirai: “Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah, Ali wali dan pemilik urusan umat.” Dalam kelanjutan hadis tersebut disebutkan: “Muhammad Rasulullah dan Ali adalah washi Al-Mustafa.”
Di bagian lain dari hadis dapat kita baca: “Rasulullah bertanya, “Milik siapakah istana ini?” Jibril menjawab, “Milik putra pamanmu dan washimu, Ali bin Abi Thalib, wahai Muhammad!”[6]
Di antara berbagai peristiwa yang terjadi pada malam mi’raj, Fatimah Maksumah memilih beberapa hadis yang berhubungan dengan pembuktian imamah Ali sebagai peletak dasar imamah Syiah. Hal itu menandakan pengetahuan beliau yang mendalam terhadap kondisi masa yang terjadi ketika itu.
Untuk memperkuat akar imamah dan wilayah di hati kaum muslimin, terutama kaum Syiah, beliau menjelaskan berbagai manfaat mencintai Ahlul Bait a.s. Dengan sanad dari bunda Fatimah Zahra a.s., beliau menukil: “Barangsiapa meninggal dunia atas dasar kecintaan kepada keluarga Muhammad, ia mati syahid.”[7]
Hadis ini tidak hanya disebutkan dalam sumber-sumber Syiah dari lisan suci Fatimah Maksumah saja, bahkan Ahlu Sunnah pun menukil hadis tersebut dengan penjelasan lebih. Fakhrurrazi, Zamakhsyari, dan Qurtubi menukil dari Nabi saw.:
“Barangsiapa meninggal dunia dengan kecintaan kepada keluarga Muhammad, ia mati syahid.
Ketahuilah! Barangsiapa meninggal dunia dengan kecintaan kepada keluarga Muhammad, ia mati terampuni.
Ketahuilah! Barangsiapa meninggal dunia dengan kecintaan kepada keluarga Muhammad, ia mati dalam keadaan bertaubat.
Ketahuilah! Barangsiapa meninggal dunia dengan kecintaan kepada keluarga Muhammad, malaikat memberikan kabar gembira dengan surga, kemudian Munkar dan Nakir membawa berita bahagia.
Ketahuilah! Barangsiapa meninggal dunia dengan kecintaan kepada keluarga Muhammad, akan dibukakan dua pintu ke surga di kuburnya.
Ketahuilah! Barangsiapa meninggal dunia dengan kecintaan kepada keluarga Muhammad, Allah menjadikan kuburnya sebagai tempat ziarah malaikat.
Ketahuilah! Barangsiapa meninggal dunia dengan kecintaan kepada keluarga Muhammad, ia mati di atas sunnah dan jamaah.
Ketahuilah! Barangsiapa meninggal dunia dengan kebencian kepada keluarga Muhammad, ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan tanda di keningnya bertuliskan: “Terputus dari rahmat Allah.”
Ketahuilah! Barangsiapa meninggal dunia dengan kebencian kepada keluarga Muhammad, ia mati kafir.
Ketahuilah! Barangsiapa meninggal dunia dengan kebencian kepada keluarga Muhammad, ia tidak akan pernah mencium bau surga.”[8]
Di bagian lain hadis malam mi’raj kita baca: “Pada hari kiamat kelak seluruh manusia akan dikumpulkan dalam keadaan telanjang kaki tanpa alas, kecuali para Syiah Ali. Seluruh manusia akan dipanggil dengan nama ibu mereka, kecuali para Syiah Ali yang diseru dengan nama ayah mereka.”
Berkenaan dengan rahasia masalah tersebut, Nabi saw. menanyakan kepada Jibril. Jibril menjawab, “Dengan mencintai Ali, kesucian nasab mereka terjaga (halal).”[9]
Dalam hadis keempat, beliau menjelaskan kesucian dan kemaksuman Imam Husain a.s.[10] dan dalam hadis kelima beliau memprediksikan Qom akan menjadi pusat bagi kaum Syiah.[11]
Sumber: https://hawzah.net
======================
[1] A’lam An-Nisa’, halaman 692; Tarikh Ahl Bait, halaman 82; Karimah Ahl Bait, Ali Akbar Mahdi Pour, halaman 171.
[2] “مَن تَعَلَّمَ حَدِيثَينِ اثنَينِ يَنفَعُ بِهِما نَفسُهُ و يُعَلِّمُهُما غَيرَهُ فَيَنتَفِعُ بِهِما كانَ خَيرا مِن عِبادَةِ سِتّينَ سَنَةً”
Kanz Al-‘Ummal, Muttaqi Hindi, Muassasah Ar-Risalah, jilid 10, hadis ke-28.849.
[3] “أنسیتم قول رسول اللّه…انت منّی بمنزلة هارون من موسی”
Al-Ghadir, jilid 1, halaman 197; Uns Al-Mathalib Fi Manaqib Ali bin Abi Thalib, halaman 49; Bihar Al-Anwar, jilid 36, halaman 353; ‘Awalim, jilid 21, halaman 354, hadis ke-3.
[4] Bihar Al-Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 37, halaman 207-208; ‘Awalim, Syeikh Abdullah Bahrani, jilid 15, halaman 375.
[5] Ibid, Al-Ghadir, jilid 1, halaman 197; A’lam An-Nisa’ Al-Mu’minat, halaman 578.
[6] Bihar Al-Anwar, jilid 68, halaman 77; ‘Awalim, jilid 21, halaman 325; Yanabi’ Al-Mawaddah, halaman 257.
[7] Atsar Al-Hujjah, jilid 1, halaman 8-9; ‘Awalim, jilid 21, halaman 354.
[8] Al-Kasysyaf, Zamakhsyari, Beirut, jilid 4, halaman 220-221; Tafsir Fakhr Ar-Razi, jilid 27, halaman 165-166; Tafsir Al-Qurtubi, jilid 8, halaman 43-58.
[9] Bihar Al-Anwar, jilid 68, halaman 77.
[10] Bihar Al-Anwar, jilid 43, halaman 243; Amali Syeikh Thusi, halaman 82; A’lam An-Nisa’ Al-Mu’minat, halaman 579.
[11] Forughi az Kaosar, halaman 49.