Hari Raya Sebagai Awal Mula Mengekang Hawa Nafsu yang Sebenarnya
Bulan ramadhan tidak terasa sudah akan berlalu, masyarakat sudah berbondong-bondong menyiap diri, menyongsong hari raya nan fitri. Hari raya, hari perayaan setelah perjuangan besar mengekang hawa nafsu segera akan digelar. Pro kontra ru’yatul hilal dan penentuan kapan hari raya itu dilaksanakan sebagai rutinitas tahunan akan kembali memenuhi jagad media sosial.
Terlepas dari kapan hari raya 1442 Hijriah itu akan dilaksanakan. Hari raya idul Fitri bagi warga Indonesia dan juga negara-negara tetangga adalah hari istimewa. Hari untuk menyempatkan diri menengok sanak keluarga di kampung halaman. Menjalin ukhuwah dan silaturahmi yang kita kenal dengan Mudik menjadi sebuah keharusan. Tetap berangkat pulang walau pemerintah menetapkan larangan dan resiko harus berbalik arah jika mendapat hadangan.
Bulan puasa dikenal masyarakat sebagai waktu dimana setan ditali dan dijeruji. Manusia dengan berpuasa berusaha mengekang hawa nafsu liar mereka. Berpuasa membuat manusia menjadi lebih tenang dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Nafsu butuh tenaga untuk berbuat ulah. Dengan berpuasa tenaga manusia cukup terkuras. Nafsu pun lebih mudah dalam kendali.
Bulan puasa berlalu tentu bukan bermakna manusia bisa kembali berpesta pora dengan hawa nafsu yang selama satu bulan sudah dijinakkan. Idul Fitri selayaknya tidak menjadi ajang balas dendam untuk mengumbar hawa-hawa nafsu jasmani yang sudah dijinakkan selama bulan suci ramadhan. Seperti halnya berbuka puasa tidak menjadi waktu balas dendam untuk memakan semua yang diinginkan sejak siang hari. Prilaku balas dendam dengan memakan membabi buta ini terbukti buruk bagi kesehatan alat pencernaan manusia.
Selain dapat membuat lambung penuh dan bekerja ekstra, makan dalam jumlah banyak sehabis puasa bisa memicu masalah pada sistem pencernaan. Nah, kondisi inilah yang bisa memunculkan gejala kembung, mual, rasa begah, hingga nyeri perut.[1]
Banyak efek buruk konsep balas dendam ketika berbuka puasa yang disebutkan web halodoc.com. Sehingga kebiasaan ini perlu untuk dihindari oleh orang-orang ahli puasa.
- Lemas dan Kantuk
- Mual dan Muntah
- Gangguan Pencernaan
- GERD
Ini semua adalah kerugian fisik, secara psikis orang yang terlalu banyak makan ketika berbuka puasa juga kesulitan untuk khusu’ dalam ibadah-ibadah malam harinya. Berat untuk bangun malam dan beribadah. Berat untuk ibadah sunah makan sahur dll. Tubuh manusia menjadi lelah untuk mencerna makanan terlalu banyak setelah sebelumnya alat pencernaan kosong dari berbagai jenis makanan selama belasan jam.
Semestinya kejadian harian di bulan suci ramadan ini juga menjadi pelajaran besar. Idul fitri semestinya tidak menjadi awal mula kembalinya pelampiasan hawa nafsu. Pola ketika bulan puasa mengekang, diluar bulan puasa membiarkan tanpa adanya kontrol tentu perlu dibenahi.
Sejatinya Islam sendiri mengajari untuk menjadi sosok-sosok stabil. Makan dan minumlah tapi janganlah berlebih-lebihan.
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ
Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.[2]
Sejatinya pada saat menjalani ibadah suci berpuasa di bulan suci ramadhan juga tetap bersama kaidah ajaran Quran ini. Membalas dendam pada saat berbuka adalah tindakan berlebih-lebihan. Melebihi kapasitas alat pencernaan tubuh, terlebih kondisi alat pencernaan sebelumnya kosong dari makanan.
Ayat ini juga mengajari Umat Islam bahwa ketika hendak memasuki tempat sembahyang, baik masjid, musala, atau tempat ibadah yang lebih kecil seperti ruang salat. Asumsinya orang tersebut tentu sedang akan beribadah. Ketika akan beribadah maka akan optimal hasilnya jika sebelumnya tidak mengkonsumis makanan dan minuman dalam jumlah besar atau apalagi berlebih-lebihan. Fokus diri tidak akan tertuju kepada sembahan yang disembah. Untuk menguasai diri dari rasa kantuk yang berat saja sangat sukar dilakukan.
Sungguh unik karena dalam bahasa persia orang yang dilanda kantuk disebut, Khob burdan, Khob gereftam (خواب بردن خواب گرفتن). Makna leterlek adalah saya dikalahkan oleh tidur, tidur membawa saya. Kondisi dimana seorang manusia dikuasai secara utuh oleh rasa kantuk. Kondisi yang bisa dipicu dengan melanggar aturan Allah untuk tidak berlebih-lebihan dalam makan dan minum.
Dalam kondisi tidak akan salat pun. Makan dan minum berlebihan juga akan mengganggu kinerja seseorang. Waktunya bekerja sebagai wakil rakyat dalam balai rakyat yang megah, tapi tak kuasa kantuk menguasai tanpa memberi sedikit pun ampunan.
Ketika menggunakan konsep berbalas dendam ketika hari raya idul fitri tiba pun dampaknya tidak terlalu jauh berbeda. Kondisi jasmani dan rohani seseorang akan kaget dan hanya berbuah pada keadaan-keadaan yang tidak nyaman.
Hari raya idul fitri adalah kesempatan memuali pengekangan hawa nafsu yang sebenarnya. Satu bulan lamanya adalah kesempatan melatih diri untuk hari awal ini. Menjadi manusia yang lebih unggul dari hawa nafsunya. Meletakkan hawa nafsu dibawah akal budi yang sejak lahir telah dimiliki.
[1] https://www.halodoc.com/artikel/hindari-makan-berlebihan-saat-berbuka-puasa-ini-sebabnya
[2] Al-A’raf: 31