Rumah Sebagai Landasan Pembangunan Tata Sosial
Rumahku surgaku, rumah adalah sekolah pertama dan utama, lebih baik disini rumah kita sendiri (God Bless). Pihak yang menjadikan rumah sebagai objek bidik pemikiran dan analisa. Rata-rata menyakini bahwa rumah adalah menjadi poros pertama dan utama. Rantai pertama yang harus dibenahi demi bangunan keberhasilan besar yang diagendakan.
Unsur utama sebuah rumah bukanlah wujud fisik dari rumah, baik rumah kecil atau besar, sederhana atau mewah. Lebih utama adalah subjek yang ada dirumah tersebut. Sosok ayah dan bunda merupakan penentu kualitas sebuah rumah. Penentu arah tujuan dari keberadaan bentuk terkecil tatanan pemerintahan tersebut.
Dalam tatanan budaya seorang ibu yang hanya berada didalam rumah disebut sebagai ibu rumah tangga. Ada kesalahan pandangan ditengah masyarakat yang menilai seorang ibu rumah tangga adalah orang yang tidak bekerja. Beberapa suami ketika ditanya Apa pekerjaan istrinya, mereka menjawab bahwa istri mereka tidak bekerja, hanya seorang ibu rumah tangga.
Sebuah kenyataan yang jelas harus diluruskan. Seorang ibu rumah tangga tidak sekedar bekerja bahkan sangat bekerja. Mereka bekerja tanpa pandang waktu, bekerja tanpa mengenal standar waktu bekerja, berkerja tanpa gaji dan tanpa perhitungan ini dan itu. Mereka melakukan berbagai hal, siap menjadi berbagai sosok, menjadi guru bagi anak-anak mereka. Menjadi baby siter, menjadi tukang masak, menjadi tukang cuci baju, menjadi tukang bersih-bersih, menjadi menejer seluruh isi rumah dll. Pekerjaan ibu didalam rumah sangat banyak bahkan terlampau banyak. Jadi tidak tepat jika disebut bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak bekerja, mereka hanya karena tidak menghasilkan dan mendatangkan uang tidak menjadi layak disebut tidak bekerja.
Hormatilah ibumu, ibumu, ibumu, dan ayahmu
Rumah adalah sekolah
Ketika kita berkata dan meyakini rumah adalah sekolah maka harus ada sosok guru atau pembimbing dan ada sosok yang belajar. Sungguh harta besar yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia. Indonesia memiliki konsep belajar mengajar. Belajar mengajar bukan bermakna murid belajar dan guru mengajar, lebih dari itu adalah sebuah kegiatan berantai dimana murid yang awalnya belajar dia juga belajar untuk menyiap diri menjadi seorang pengajar. Dengan pola belajar mengajar ini sangat mungkin kepandaian seorang murid bisa jauh mengungguli keilmuan dan pengetahuan seorang guru. Sisi lain yang kiranya perlu juga disebutkan adalah guru atau pembimbing disini juga tetap menjadi pelajar.
Guru dan pembimbing akan tertinggal gerbong ketika mencukupkan diri dengan apa-apa yang sudah dia pelajari. Merasa menjadi guru sehingga tidak perlu lagi menuntut ilmu. Guru dan pembimbing ideal adalah mereka yang tidak pernah berhenti membekali diri, selalu update keilmuan selalu update metode dan tata cara penyampaian materi kepada anak didik.
Rumah adalah sekolah pun tidak berbeda. Orang tua adalah sosok pembimbing dan sosok guru bagi anak-anak mereka. Orang tua berbuat jujur. Anak-anak belajar menjadi sosok jujur dari mereka. Orang tua rajin membaca buku maka itu menjadi promosi otomatis bahwa berliterasi adalah hal menarik dan sangat penting. Tentu sembari disiapkan buku-buku atau bahan bacaan sesuai umur dan minat yang dimiliki oleh anak.
Rumah adalah pondok pesantren
Rumah pun bisa menjadi sebuah pondok pesantren, ini bisa dilakukan ketika kedua orang tua atau setidaknya salah satu dari orang tua adalah alumni sebuah pesantren.
Sebuah pola perlu diperhatikan sejak awal. Pergi ke pesantren seyognyanya tidak hanya untuk menjadi seorang santri. Pola pengajaran harus lebih disesuaikan, sehingga para santri dan santriwati kelak bisa menjadi seorang pendidik, menjadi seorang ustadz dan ustadzah. Jadi metode pengajaran harus teacher oriented bukan student oriented.
Mungkin seorang santri tidak mampu mengajarkan semua tahap level pelajaran pesantren namun setidaknya dia mampu mengajarkan sampai level tertentu. Anaknya ketika pergi kepesantren tinggal meneruskan apa yang sudah dia dapatkan dirumah. Tidak lagi memulai dari nol. Dengan cara ini waktu yang dia butuhkan belajar di pesantren juga lebih pendek dan bisa fokus kepada pengembangan selanjutnya.
Rumah sebagai landasan bangunan tata sosial
Rumah baik dengan basis sekolah biasa atau dengan basis pesantren keduanya bisa jadi landasan bangunan tata sosial yang baik dalam sebuah masyarakat.
Keduanya adalah modal penting dan besar bagi seorang anak yang terlahir didalamnya. Anak tidak lagi keluar dengan bekal kosong ketika hendak masuk ke sekolah atau ingin melanjutkan pendidikan di sebuah pesantren.
Penting disampaikan disini adalah adanya keselarasan pembelajaran yang dilakukan dirumah dengan pembelajaran yang diterima di sekolah atau dipesantren. Ini bisa dilakukan dengan adanya komunikasi aktif pengajar sekolah atau pesantren dengan masing masing orang tua murid atau santri.
Membangun rumah sebagai cikal bakal bangunan tatanan sosial yang baik dimulai dari belajar di sekolah atau pesantren secara baik. “Tidak ada anak bodoh, yang ada hanyalah mereka yang belum dapat kesempatan belajar dari guru yang kompeten dan metode yang efektif”, sebagaimana prinsip fisikawan Indonesia, Yohanes Surya. Sosok yang mampu membuat anak menguasai matematika SD hanya dalam kurun waktu enam bulan.