Hikmah Busana Muslimah (2)
Annisa Eka Nurfitria-Pakaian juga mempunyai fungsi emosional. Pakaian mencerminkan emosi penggunanya dan pada saat yang sama mempengaruhi emosi orang lain. Walaupun reaksi emosional pada pakaian bergantung latar belakang psikososial. Pakaian telah lama digunakan untuk mengekspresikan emosi kelompok atau bangsa tertentu. Kita dapat berhipotesa, busana Muslimah – apalagi kalau diekspresikan secara massal – akan mendorong emosi keagamaan yang konstruktif.
Emosi dan prilaku sebenarnya kembali kepada fungsi pertama pakaian, yaitu diferensisasi. Sebagian peneliti menyebutkan fungsi dekoratif sebagai fungsi primer, tetapi kata Leathers, “Fungsi dekoratif busana cenderung memberi identifikasi khas kepada seseorang perancang yang cerewet (kritis).
Apabila kita berjumpa dengan orang lain, kita akan mengkategorikan orang tersebut dalam satu kategori yang terdapat dalam laci memori kita. Kita akan segera mengelompokkannya sebagai mahasiswa, cendikiawan atau kiyai. Kita menetapkan kategori orang itu berdasarkan deskripsi verbal, petunjuk proksemik, petunjuk artifaktual, petunjuk wajah, petunjuk para linguistic dan petunjuk artifaktual. Pada kendala waktu yang singkat, yang kita gunakan umumnya petunjuk artifaktual – yang paling penting darinya ialah busana.
Busana kata Kefgan dan Touchie-Specht, “menyampaikan pesan”. Busana lebih dahulu terlihat sebelum suara yang terdengar. Kepekaan pesan yang disampaikan bergantung pada sejumlah variable, seperti setting, task acquaintanceship, latar budaya, pengalaman, dan kesadaran. Beberapa jenis busana selalu berkaitan dengan prilaku tertentu. Pelaku persepsi akan secara otomatis menghubungkan tindakan dengan pakaian.
Sebuah penelitian yang dilakukan Gibbins pada gadis-gadis sekolah menengah menunjukkan bahwa manusia memang betul-betul menilai orang lain atas dasar busananya, dan makna yang disampaikan oleh busana tertentu cenderung disepakati.
Menggunakan bahasa yang sederhana, jenis pakaian tertentu melahirkan makna tertentu. Baju coklat memberikan makna Polisi, peci putih hijau, baju safari pegawai negeri, dan blangkon orang Jawa. Berdasarkan kategori-kategori itu, kita segera melahirkn sejumlah keterangan tambahan tentang objek persepsi kita. Jadi, begitu saya mencoba memaknai Polisi, saya segera mengeluarkan dari memori saya sejumlah karakteristik tentang Polisi. Saya pun mulai mengatur transaksi sosial saya.
Menurut Stone, “Penampilan adalah fase transaksi sosial yang menegaskan identitas para partisipan (pemeran-serta trasaksi sosial tersebut). Penampilan itu, sebagaimana adanya, bisa dibedakan dengan wacana yang kita konseptualisasikan sebagai teks transaksi – yakni, apa yang diperbincangkan oleh kelompok tersebut. Penampilan dan wacana adalah dua dimensi berbeda dari transaksi sosial. Yang disebut lebih dahulu tampaknya bersifat lebih mendasar. Ia memungkinkan, menopang, menetapkan batas-batas dan menyediakan ruang bagi (perwujudan) kemungkinan-kemungkinan bagi diskusi yang bermakna.
Dalam hubungannya dengan busana Musliman, wanita yang memakainya akan segera dipersepsi dalam kategori Muslimah. Boleh jadi berbagai konotasi dikaitkan dengan kategori ini, bergantung pada pengalaman dan latar belakang psikososial pelaku persepsi – busana fundamentalis, wanita salihah, istri yang baik, dan sebagainya. Apa pun konotasinya, inti persepsinya tidak mungkin lepas dari kategori Muslimah. Dari persepsi itu pula orang kemudian mengatur dan menjaga prilakunya terhadap pemakai busana Muslimah. Ia tidak akan melakukan sexual harassment, ia tidak akan berani melakukan hal-hal yang tak senonoh – paling-paling gangguan kecil, seperti ucapan “Assalamualaikum” yang dilontarkan dengan maksud bercanda. Inilah barangkali yang dimaksud Allah SWT dengan “sehingga mereka tidak diganggu” (QS 33; 59).
Busana Muslimah mempunyai fungsi menegaskan identitas. Dengan busana Muslimah, seorang Muslimah dapat mengidentifikasikan dirinya dengan ajaran-ajaran Islam. Karena identifikasi ini, ia akan terdorong untuk berprilaku sesuai dengan ajaran Islam. Dalam hubungan interpersonal, busana Muslimah akan menyebabkan orang lain mempersepsi pemakainya sebagai wanita Muslimah dan akan memperlakukannya sebagaimana mestinya. Dalam bahasa Al-Qur’an, busana Muslimah dipakai “supaya dikenal” dan “sehingga mereka tidak diganggu.”
Sumber:
Langner, “Clothes and Government:, dalam M.E. Roach dan J.B. Eicher, Dress, Adornment and the Social Order, New York: John Wiley & Sons, Inc., 1965.
- Kefgen dan P. Touchie-Specht, Individuality in Clothing Selection and Personal Appearance, New York: Macmillan, 1971.
G.P. Stone, “Appearance and the Self”, dalam Langner, op.cit.,