Politik Identitas Akar Intoleransi
Annisa Eka Nurfitria.Lc___Tujuan suci politik adalah sebagai sarana untuk menghasilkan kekuasaan yang dapat menciptakan, mendistribusikan, mengawal dan memastikan keadilan, keamanan dan kesejahteraan kepada masyarakat secara luas. Sehingga tujuan suci politik merupakan salah satu alat dalam pembangunan peradaban. Berbeda jika politik berpijak pada identitas, maksudnya adalah politik yang berputar sekitar penggarapan isu-isu yang non-substansial esensial. Basis pemikiran politik ini adalah identitas primordial (etnis, ras, ciri fisik, budaya, bahasa, atau agama) dipolitisasi secara ekstream dengan tujuan meraup dukungan dari massa yang merasa sama secara identitas, ras, suku, agama atau elemen perekat lainnya.
Toleransi dan persatuan menjadi syarat penting sebagai awal bagi proses pembangunan di berbagai bidang pada suatu masyarakat. Sedangkan politik identitas sangat potensial menimbulkan intoleransi, perpecahan antar masyarakat bahkan disintegrasi bangsa. Artinya, dapat dikatakan, bahwa paradigm yang selalu mengedepankan perbedaan – non substansial dalam politik identitas – sangat kontra produktif dengan tujuan suci politik yaitu pembangunan dan meningkatkan kemajuan peradaban dalam suatu masyarakat, khususnya masyarakat modern yang mana perbedaan adalah sesuatu yang tak terhindarkan.
Memang politik identitas menjadi hal yang menarik bagi sebagian politisi, karena selain biyanya murah, juga sangat efektif menutupi sisi-sisi negatif dari sosok yang diusung, semisal kurangnya intelektualitas atau kecacatan moral yang dapat dijejaki secara historis. Padhal sebenarnya politik berbasis identitas adalah strategi politik yang paling tidak kreatif. Namun pada beberapa kasus dapat menjadi alat politik yang paling efektif dan efisien jika dihubungkan dengan jumlah hasil dukungan yang diperoleh. Lebih menekankan pada narasi-narasi emosional yang kadang menjurus pada ungkapan-ungkapan hate speech terhadap kelompok identitas yang dianggap berbeda. Saat emosi sekterian yang dibidik, maka dengan sendirinya tingkat nalar kritis intelektual seseorang menjadi lebih tumpul atau setidaknya berkurang.
Politik murahan ini pada akhirnya adalah bentuk pembodohan terhadap masyarkat. Masyarakat tidak lagi melihat kemampuan riil kepemimpinan, kenegarawanan, manajerial, moralitas dan intelektualitas dari seorang calon pemimpin tetapi justru menutup mata terhadap hal-hal tersebut karena dibutakan oleh narasi dan diksi fanatisme emosional yang semu. Sebagai gantinya massa beralih pada hal-hal non-substansial semisal ciri-ciri fisik, kesukuan, atribut agama artifisial dan yang sejenisnya.
Sebagai konsekuensi logis dari politik identitas adalah, mereka yang terpilih sebagai pemimpin politik bukanlah mereka yang memiliki kapabilitas yang dibutuhkan untuk menciptakan kemajuan disegala bidang pada suatu masyarakat dalam wilayah tertentu, tetapi justru sebaliknya, yang terpilih adalah para pembuat masalah yang bisa jadi cacat secara moral dengan tingkat intelektual minimum. Pemimpin seperti ini potensial menularkan handikapnya kepada semua elemen di dalam sistem, dan tentu saja akan meninggalkan tradisi korup setelah masa jabatannya berakhir. Belum lagi perpecahan sosial yang ditimbulkannya yang dampaknya akan lebih panjang dirasakan oleh masyarakat.
Sudah saatnya sekarang kita memutus rantai tradisi politik paling primitif ini seperti praktik politik identitas sektarian. Sebagai gantinya masyarakat harus mendasarkan pilihan kepemimpinan politiknya pada hal-hal yang bersifat rasional dan substansial. Pada ciri-ciri atau indikator-indikator karakter yang lebih substantif yang wajib dimiliki oleh sosok pemimpin politik seperti moralitas, integritas, empati, kepemimpinan, kapasitas intelektual, heroisme, kenegarawanan, manajerial, kemampuan komunikasi, dan yang sejenisnya.
Kapasitas seorang pemimpin dapat pula dinilai melalui gagasan-gagasan inovatif yang ditawarkannya. Memang ketika seorang kandidat pemimpin politik suatu wilayah ingin mengajukan dirinya, maka seharusnya dia datang dengan gagasan-gagasan segar dan inovatif namun tetap realistis dan membumi. Bukan dengan menjual atribut primordialisme artifisial yang bahkan diperoleh tanpa ikhtiar sama sekali, karenanya tidak dapat dinilai sebagai sebuah prestasi.
Pemimpin yang baik adalah ia yang dapat menyatukan perbedaan dengan mengedepankan irisan persamaan bukan memecah belah atau melakukan politik segregasi warisan kolonialis imperialis. Penyatuan tidak serta merta menghilangkan akar spritualitas dan ciri budaya dari masing-masing komunitas, tetapi justru menguatkan dan melestarikan dengan cara yang positif, menjadikannya sebagai aset sosial pemersatu sebagai modal dasar bagi bergeraknya pembangunan disegala bidang. Sebenarnya setiap agama dan budaya memiliki nilai-nilai kebaikan universal yang sama (filsafat perennial), karenanya irisan inilah yang seharusnya dikedepankan dalam konteks interaksi sosial dan politik di masyarakat.
Sebagai penutup, dapatlah disimpulkan pada paparan singkat kali ini, bahwa rasionalitas dan moralitas universal haruslah menjadi dasar dalam melakukan pemilihan pemimpin politik di suatu masyarakat dalam suatu wilayah tertentu, baik skop desa, kota / kabupaten, propinsi, sampai ke tingkat negara. Rasionalitas dan moralitas universal ini digunakan sebagai alat dalam menilai dan menganalisis gagasan-gagasan yang disampaikan oleh seorang kandidat pemimpin politik. Sehingga kelak masyarakat akan memilih pemimpin yang berbasis gagasan, yang secara validitasnya tentu lebih bisa diukur kemampuan kepemimpinannya daripada mereka yang hanya menjual ciri-ciri primordial non-substansial.