Hukum Syari: Pengertian dan Pembagiannya
Hukum syari adalah pensyariatan yang datang dari Allah swt guna mengatur kehidupan manusia. Inilah definisi yang disampaikan oleh Syahid Bagir Shadr di dalam Halaqahnya. Berbeda dengan definisi klasik yang mengatakan: Hukum syari adalah pesan syari yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Mukallaf, yakni seorang yang memenuhi persyaratan taklif; balig, akal dan mampu.
Beliau mengkritisi definisi tersebut:
Pertama, bahwa khithâb atau pesan itu penyingkap hukum, bukan hukum itu sendiri.
Kedua, hukum syari tidak hanya berkaitan dengan perbuatan. Tetapi juga juga berkaitan dengan diri si mukallaf dan sesuatu yang terkait dengan dirinya. Karena tujuan dari hukum adalah mengatur kehidupan manusia, terkadang berkaitan dengan:
1-Perbuatannya; misalnya Laksanakan shalat! atau Berpuasalah atau jangan minum khamar!. Kewajiban dan larangan ini berkaitan dengan perbuatan si mukallaf seperti shalat, puasa, minum khamar dan lainnya.
2-Dirinya; seperti hukum bagi seorang wanita bahwa dia isteri si fulan setelah akad nikah. Pernikahan atau hal menjadi suami-isteri ini merupakan hukum syar’i yang berkaitan dengan dirinya.
3-Sesuatu lain; seperti hukum terkait rumah, bahwa rumah itu milik fulan setelah ia membelinya dalam persyaratan. Kepemilikan ini merupakan hukum syar’i berkaitan dengan sesuatu atau benda itu, yang jelas bukan merupakan perbuatan, juga bukan diri si mukallaf.
Hukum: Taklifi dan Wadhi
Atas penjelasan tersebut, hukum syari terbagi dua macam:
1-Taklifi; ialah yang berkaitan secara langsung dengan perbuatan, seperti wajib shalat, wajib menafkahi keluarga, haram minum khamar dan sebagainya.
2-Wadhi; ialah yang berkaitan dengan hal lain selain perbuatan tapi berdampak pada perbuatan dengan perantara. Seperti hukum hal menjadi isteri bagi fulanah sesudah terjadi akad nikah. Hal ini merupakan hukum syari yang tidak berkaitan dengan perbuatannya, tetapi dengan dirinya, yang kemudian berkaitan dengan perbuatannya dan mengatur dirinya. Pernikahan yang telah terjadi membawa hukum seperti wajib patuh pada suami, dan kepatuhan ini merupakan perbuatan sang isteri.
Contoh lainnya, kenajisan. Misalnya baju ini najis, kenajisan ini berkaitan langsung dengan baju, dan berkaitan secara tidak langsung dengan perbuatan si mukallaf. Bila baju yang sedang dipakai najis, maka harus dijauhinya di dalam shalat. Dengan kata lain, tidak boleh dipakai di dalam shalat.
Ada keterkaitan kuat antara hukum wadhi dan hukum taklifi, bahwa di mana ada hukum wadhi di situ ada hukum taklifi. Sebagai contohnya, hal sebagai suami-isteri merupakan hukum syari wadhi yang membawa hukum (taklifi) wajib bagi suami, yaitu menafkahi isterinya dan mencukupi (kebutuhan)nya. Kewajiban ini merupakan hukum taklifi. Demikian halnya dengan kepemilikan, yang membawa hukum larangan menggunakan barang milik seseorang tanpa seizinnya.
Di dalam al-Halaqah ats-Tsaniyah diterangkan perbedaan antara dua macam hukum syari itu, bahwa taklifi berkaitan langsung dengan perbuatan, dan terbatas pada lima hukum: wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah. Sedangkan wadhi tidak berkaitan langsung dengan perbuatan; ialah semua hukum selain lima hukum tersebut.
Hukum Wadi Sebagai Subyek dan Muntaza’ bagi Hukum Taklifi
Syahid Baqir Shadr kemudian menyampaikan sebuah pandangan yang menurutnya keliru. Dikatakan bahwa wadhi selalu merupakan sesuatu yang diangkat dari taklifi. Realitasnya hanya sebagai intizâ (bagian yang diangkat dari taklifi), seperti hal bacaan surat (di dalam shalat) sebagai yang diangkat dari taklifi yang berkenaan dengan keseluruhan komposisi (shalat).
Pandangan tersebut beliau tolak, dengan alasan bahwa banyak perkara wadhi menjadi subyek bagi hukum taklifi, seperti pernikahan atau hal sebagai suami-isteri adalah subyek bagi hukum (wajib) menafkahi isteri dan lainnya. Jadi, sebagaimana diterangkan di dalam al-Halaqah ats-Tsalitsah beliau, hukum wadhi memiliki dua bentuk:
1-Sebagai subyek bagi hukum taklifi, bahwa pernikahan merupakan wadhi yang menjadi subyek bagi taklifi seperti wajib memberi nafkah, misal dikatakan: Wajib bagi suami menafkah isteri. Kepemilikan yang merupakan wadhi menjadi subyek bagi hukum haram menggunakan milik orang lain. Misalnya, Haram menggunakan barang si pemilik tanpa seizinnya.
2-Sebagai muntaza’ (bagian yang diangkat) dari hukum taklifi, seperti juz`iyah (hal menjadi bagian) dan syarthiyah (hal menjadi syarat). Misal dikatakan, Di dalam shalat wajib ruku, sujud dan.. lainnya, kita menangkap juz`iyah (hal sebagai bagian dari shalat) ini adalah ruku, sujud dan lainnya. Juga syarthiyah (hal yang menjadi syarat bagi shalat zuhur) ialah zawâl; waktu tergelincirnya matahari.
Referensi:
Durus fi Ilm al-Ushul -al-Halaqah I, II, III fi Uslubiha ats-Tsani/Syaikh Baqir Irwani.