Makna Syar’i Haji
Hajj artinya (qashd) menuju –sesuatu. Mahjûj artinya maqshûd (yang dituju). Kemudian mengkhusus pada menuju Baitul Haram untuk beribadah. Sebagian ahli bahasa menyebutkan bahwa makna aslinya bukan hal menuju secara mutlak, tetapi bersifat khusus. Kekhususan ini dengan berbagai alasan di antaranya adalah:
Hal menuju berulang-ulang; atau menuju sesuatu (seseorang atau satu tempat) yang diagungkan; atau banyak menuju orang yang diagungkan; atau menuju untuk berkunjung (ziarah). Alasan lainnya, beda antara hajj dan qashd. Bahwa hajj adalah hal menuju secara konsisten, kemudian qashdul bait (menuju Baitullah) disebut hajj. Karena orang yang bermaksud mengunjungi Baitullah tidak berpaling darinya ke yang lain.
Kesimpulannya, ada dua pandangan tentang makna hajj, yaitu: hal menuju secara mutlak dan hal menuju bersifat khusus –dengan penjelasan di atas. Pandangan yang diikuti dari para pakar bahasa ialah berdasarkan bahwa makna yang umum adalah makna yang asli, lalu makna-makna yang khusus didapati –sebagai cabang- darinya. Jadi, makna yang asli digunakan pada hal-hal tertentu, dan dengan banyaknya penggunaan menjadi makna hakiki.
Masalahnya terkadang kebalikan dari itu, bahwa banyak makna yang khusus adalah makna yang asli, kemudian terlepas dari sifat khusus dan digunakan pada makna yang umum. Maka otomatis menjadi makna hakiki.
Sekiranya kukuh bahwa kata “hajj” digunakan pada (makna) qashd secara mutlak tanpa ‘inâyah (bantuan dari yang lain) serta tanpa melihat kekhususan, tidak niscaya menjadi makna yang asli baginya. Kemudian terlepas dari kekhususan, dan digunakan pada makna yang umum. Maka untuk menentukan makna yang asli harus memperhatikan kekhususan-kekhususan dan makna-makna yang tercampur, dan merujuk pada rasa kebahasaan (hiss lughawi).
Makna yang Paling Mendekati
Menurut Sayed Muhammad Ridha Sistani, penggunaan kata “hajj” pada (makna) qashd tidak tanpa inâyah. Hal ini dengan bukti hiss lughawi. Adanya beberapa penggunaan pada makna yang umum, tidak cukup menjadi bukti atas kata “hajj” dalam arti qashd.
Di antara semua pandangan di atas, yang paling mendekati ialah bahwa kekhususan yang diakui bagi pengertian hajj, yang dituju adalah yang diagungkan.
Patut disampaikan bahwa perkataan para ahli bahasa, kebanyakan diwarnai ijtihad dan tak lepas dari hads (praduga) serta penerapan nalar. Bisa jadi berasal dari bawaan-bawaan personal, yang tak ada realitasnya. Oleh karena itu, perlu adanya bukti-bukti dan indikasi-indikasi yang menguatkan, dan dengan menelusuri penggunaan-penggunaan yang diterapkan di masa kedatangan teks, demi mencapai makna yang asli bagi suatu kata.
Bagaimanapun, yang paling mendekati –sebagaimana penjelasan di atas- bahwa makna orisinil bagi hajj adalah menuju (berpaling pada) tempat yang disucikan atau seorang yang diagungkan. Hal ini diperkuat oleh beberapa referensi bahwa “hajj” merupakan kata luhur nan murni. Didapati di dalam tulisan-tulisan ragam kelompok masyarakat yang berafiliasi dengan bani Sam, sebagaimana didapati di dalam kitab-kitab Taurat, hajj artinya menuju dan mengunjungi tempat yang suci.
Demikianlah mengenai makna yang asli bagi kata “hajj”.
Makna Syar’i Haji
Adapun makna mustajid (yang baru), yang disebut dengan makna syar’i, mengenainya berbagai pandangan atau definisi:
1-Muhaqqiq Hilli; haji adalah sekumpulan manasik yang dilaksanakan di tempat-tempat syiar tertentu.
2-Allamah Hilli; haji adalah menuju Baitullah di Mekah dengan melaksanakan manasik tertentu.
3-Syaikhul A’zham al-Anshari memungkinkan definisi yang pertama yang lebih kuat dengan alasan tabâdur (hal terlintas langsung di benak). Allah swt berfirman: وَأَتِمُّوا۟ ٱلْحَجَّ وَٱلْعُمْرَةَ لِلَّهِ; Dan sempurnakanlah ibadat haji dan umrah karena Allah. (QS: al-Baqarah 196) dan ayat lainnya. Sedangkan yang kedua lebih sesuai dengan makna kebahasaan.
Mungkin dapat dikatakan bahwa makna yang pertama itu merupakan perkembangan bagi makna yang kedua. Mulanya, hal menuju Baitullah disebut haji, kemudian lambat laun dimaksudkan pada manasik khusus itu sendiri. Perkembangan secara bertahap seperti ini sesuai faktor-faktor alami.
Pandangan mengenai dasar makna mustajid tersebut sebagai makna syar’i bagi haji, jika dibantah bahwa amalan ibadah dan ritual agama seperti shalat, zakat, haji dan lainnya sudah ada di tengah umat-umat beragama dahulu, lantas klaim bahwa semua kata tersebut adalah realitas syar’i, apa maksudnya?
Sayed Khui menjawab: “Ketetapan makna-makna amalan ibadah itu di syariat-syariat terdahulu tidak mempengaruhi ketetapan realitas syar’i di dalam syariat kita..”
Referensi:
Buhuts fi Syarh Manasik al-Hajj/Catatan Pelajaran Fikih Sayid Muhammad Ridha as-Sistani