Ilmu (Pengetahuan) dalam Perspektif Falsafah Islam dan al-Qur’an
Fardiana Fikria Qur’any
Ilmu dan pengetahuan adalah dua hal sama sekaligus berbeda tergantung dengan perspektif apa kita mendefinisikannya. Dalam perspektif sains dan filsafat, ilmu adalah sistematika pengetahuan manusia, sedangkan pengetahuan berhubungan dengan apa yang kita lihat, dengar, sentuh, kecap setiap harinya tanpa perlu disistematisasikan. Misalkan pengetahuan kita bahwa “lemon itu menyehatkan badan”. Pengetahuan ini kita dapatkan bukan dari hasil observasi dan eksperimentasi, melainkan dari kesimpulan para ilmuwan yang tertulis di dalam buku kesehatan. Sementara, seorang ilmuwan untuk menyimpulkan sebuah tesis tentang “apakah benar lemon itu menyehatkan badan?” itu perlu dilakukan sebuah penelitian, serangkaian proses eksperimentasi, sehingga bukan hanya sebuah kesimpulan tentang lemon yang dihasilkan tetapi juga komposisi lemonnya pun diketahui. Dengan demikian, kita sudah bisa membedakan mana yang disebut ilmu dan mana yang disebut dengan pengetahuan. Yang akan kita bahas di sini ialah, pengetahuan manusia dengan beragam persoalan tentangnya.
Tabula Rasa vs Innate Idea
Pertanyaan pertama yang muncul ketika berbicara pengetahuan manusia ialah, apakah manusia dilahirkan dalam kondisi kosong, tanpa pengetahuan apa-apa yang kita sebut dengan teori tabula rasa atau sebenarnya manusia sudah memiliki pengetahuan sebelumnya, namun ketika dilahirkan manusia lupa pengetahuan itu dan belajar merupakan sebuah proses pengingatan kembali pengetahuan manusia yang sudah terlupakan? Bagaimana al-Qur’an mengisyaratkan kondisi awal manusia?
Para fil0sof Barat yang rasional seperti Rene Descartes, mengamini adanya innate idea (ide bawaan) yang dimiliki oleh manusia sejak sebelum ia terlahir ke alam ini dan menjadi konsep pasti yang dimiliki manusia di alam ini, sehingga menurut para filosof rasionalis kebenaran tentang segala sesuatu di ala mini itu ditentukan oleh kebenaran yang sudah melekat di dalam pikiran kita yaitu, ide-ide bawaan itu. Sementara itu, Para kaum empirisme Barat seperti John Locke, menolak teori ide bawaan dan berargumen dengan teori tabula rasa yaitu, bahwa manusia lahir ke dunia ini tidak membawa pengetahuan apapun dan kemampuan apapun. Manusia seperti kertas kosong terlahir di alam ini.
Bagaimana pandangan al-Qur’an terkait dengan kondisi awal pengetahuan manusia? Bagaimana pandangan para failasuf muslim terkait dengan hal tersebut?
Manusia, Fitrah dan Potensialitasnya
Terdapat ayat al-Qur’an yang secara tegas mengisyaratkan tentang kondisi awal pengetahuan manusia. Dalam Q.S. an-Nahl ayat 78, Allah berfirman:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
Ayat di atas mempertegas bahwa manusia yang terlahir di dunia ini, terlahir dalam kondisi belum mengetahui apa-apa, tetapi manusia diberikan alat pengetahuan yang memiliki fungsi pendengaran, penglihatan bahkan alat lain yang disebut dengan hati di mana fungsinya tidak hanya memiliki fungsi empiris saja. Dengan demikian, meskipun manusia terlahir tanpa pengetahuan apapun, ia memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan dengan indera yang diberikan.
Menarik di sini, al-Qur’an menyebutkan fungsi empiris yaitu, pendengaran dan penglihatan, kemudian menyebutkan kata “afidah” yaitu, hati yang memiliki fungsi non empiris. Perasaan-perasaan seperti bahagia, sedih adalah sesuatu yang bersifat non empiris.
Salah satu filosof muslim yaitu, Muhammad Baqir al-Shadr memiliki pandangan yang sama tentang kondisi awal pengetahuan manusia. Terdapat dua argumentasi yang digunakan Baqir Shadr untuk menolak teori ide bawaan kaum empiris. Pertama, manusia dapat menjelaskan seluruh pengetahuan melalui penginderaan, maka tidak diperlukan lagi ide bawaan. Hal ini juga yang dinyatakan oleh Lock bahwa, manusia terlahir seperti kertas putih dan kosong tanpa konsep-konsep apapun. Karena konsep dihasilkan melalui pertemuan entitas yang ada di luar diri kita dengan indera empiris kita. Dengan demikian, bayi ketika lahir belum sama sekali sempurna fungsi penginderaanya dan belum memiliki persentuhan antara alam dengan inderanya, maka mustahil manusia sudah memiliki pengetahuan.
Kedua, dalam prinsip sebab-akibat, kriteria akibat pasti akan sesuai dengan sebabnya. Prinsip ini kemudian menurunkan prinsip lainnya yaitu, prinsip bahwa efek ganda tidak dapat datang dari sesuatu yang sederhana. Kita ketahui bahwa jiwa adalah sederhana maka, ia tidak mungkin mendatang konsep-konsep yang bersifat kompleks. Oleh karena itu, tentu konsep-konsep ini datang bukan dari jiwa, melainkan dari sesuatu di luar dirinya.
Dengan demikian, berdasarkan dua argumentasi tersebut, Baqir Shadr ingin menegaskan berdasarkan ayat al-Qur’an di atas juga bahwa manusia terlahir dalam kondisi belum mengetahui apa-apa. Tetapi Muthahhari menambahkan lagi bahwa Islam tidak menerima teori ide bawaan seperti yang digagas oleh para kaum rasionalis, tetapi Islam menerima konsepsi fitrah pengetahuan manusia.
Murtadha Muthahhari membagi pengetahuan manusia menjadi dua yaitu, pengetahuan yang diperoleh melalui usaha yang disebut dengan pengetahuan muktasabah dan pengetahuan yang bersifat fitri yang disebut dengan pengetahuan ghair muktsabah. Pengetahuan yang bersifat fitri ini berbeda dari ide bawaan yang digagas oleh Descartes, pengetahuan yang bersifat prinsip-prinsip di mana untuk mengetahuinya, manusia memerlukan guru, sistem yang membedakan besar dan kecil, perlu membuat analogi, menempuh pengalaman. Artinya, bangunan intelektualitas manusia dijadikan sedemikian rupa, sehingga dengan menyodorkan beberapa hal saja cukuplah baginya untuk mengetahui hal itu tanpa harus ada dalil dan bukti dan juga bukan karena ia telah mengetahui hal itu sebelumnya.
Hemat penulis, yang dimaksud dengan pengetahuan ghair muktasabah merupakan pengetahuan berupa unsur-unsur berpikir logis. Seperti pengetahuan kita tentang “sebagian lebih kecil dari keseluruhan”, ini adalah prinsip logis yang tidak membutuhkan pembuktian, tetapi untuk mengetahuinya, kita memerlukan konsepsi keseluruhan dan konsepsi sebagian, maka jika konsepsi itu sudah ada, maka sebagian lebih kecil dari keseluruhan dapat diketahui tanpa perlu lagi dibuktikan.
Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa manusia dilahirkan dalam kondisi fitrah. Kondisi di mana manusia meski belum memiliki pengetahuan apapun, ia tetap memiliki potensi yang akan teraktualisasi secara bertahap.