Imam Ali: “Cari Orang Lain Saja!” (1)
Kepemimpinan umat setelah ketiadaan Nabi Muhammad saw beralih ke kekhalifahan yang diyakini oleh muslim Syiah Imamiyah sebagai hak Ali bin Abi Thalib ra. Namun, ketika kedudukan ini jatuh ke tangan yang lain, tidak ada tuntutan darinya. Ia justru memilih sikap diam. Bahkan pasca terbunuhnya khalifah ketiga, orang-orang tumpah di rumah Imam Ali dan mendesak agar bersedia dibaiat menjadi khalifah mereka, tetapi beliau menolak. Imam Ali mengatakan, دعوني والتمسوا غيري; “Tinggalkan aku dan cari orang lain saja!” Mengapa Imam merespon negatif?
Agar sikap penolakan itu tidak disalahpahami bahwa beliau tak layak menjadi khalifah, padahal beliaulah yang terlayak sebagai khalifah Rasulullah saw., maka Imam Ali lebih lanjut menjelaskan kepada mereka, “Kita akan menghadapi suatu perkara yang beraneka rupa dan warna di masa datang.”
Imam Ali mengungkapkan bahwa berbagai sisi akan datang menghadang, seperti gelombang kabut menghalangi pandangan mata. Jalan utama menjadi “jalan tikus” tak dikenali, dan orang-orang sudah tidak mengenalinya lagi. Tetapi di bagian akhir penjelasannya sebagai penyempurnaan hujjah, beliau mengatakan, “Ketahuilah, jika aku terima tongkat kekhalifahan ini, aku akan bertindak sebagaimana yang aku ketahui, bukan sebagaimana yang kalian inginkan! Namun, sekiranya aku sebagai menteri seperti sebelumnya, itu lebih baik daripada menjadi seorang amir.”
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Imam Ali telah memprediksi periode kekhalifahannya akan menghadapi banyak problem. Di antara yang paling mendasar disampaikan oleh Syahid Mutahari dalam bukunya Seiri dar Sire-e Aimme:
Problem Kemunafikan
Problem pertama yang menjadi dasar ucapan beliau, “Kita akan menghadapi masalah yang sangat berat”, yaitu dampak-dampak dari kasus terbunuhnya Utsman bin Affan. Imam “mewarisi” kekhalifahan dari khalifah ketiga ini yang dibunuh oleh kaum ‘reformis’ yang banyak protes, termasuk soal pemakaman jasad Utsman.
Pada saat itu, tidak semua orang seperti kaum itu. Imam Ali sendiri beda pikiran dengan mereka dan kaum yang kontra mereka dan dengan masyarakat umumnya. Saat itu, beliau sebagai duta penengah antara pihak Utsman dan kelompok yang memprotesnya dari Hijaz, Madinah, Basrah, Kufah dan Mesir. Imam berbeda dengan kebijakan Khalifah Utsman dan, pada saat yang sama, menentang mereka yang ingin membunuh khalifah, karena upaya ini akan menimbulkan fitnah (kekacauan) yang mengancam Muslimin.
Imam Ali berusaha mengarahkan Utsman ke jalan yang benar. Di sisi lain, beliau juga bahkan memadamkan api gejolak mereka yang bangkit melawan khalifah. Tetapi, kedua pihak ini bergeming; tidak berpaling dari pilihan masing-masing.
Dalam pengetahuan Imam Ali, pembunuhan terhadap Utsman oleh sebagian pihak, terutama Muawiyah, memang diharapkan hal itu terjadi, sehingga akan menimbulkan fitnah. Usaha Muawiyah dari dalam mengangkat fitnah agar Utsman dibunuh untuk kemudian akan memanfaatkannya untuk kepentingan politisnya.
Jika para penentang Rasulullah saw adalah kaum kafir pemuja berhala, dan mereka memerangi beliau dengan slogan ulu hubal (Jayalah Hubal!), sedangkan slogan Nabi saw, Allâhu Alâ wa Ajall (Allah Mahatinggi lagi Mahaagung), para penentang Imam Ali adalah orang-orang yang menampakkan keislaman. Slogan-slogan mereka adalah slogan-slogan Islam, tapi tujuan-tujuan mereka anti Islam.
Dalam analisis Muthahhari, Abu Sufyan ayah Muawiyah dengan slogan keberhalaan itu berperang melawan Rasulullah saw. Tetapi anaknya, Muawiyah, yang sehati dan sejalan dengan Abi Sufyan berslogan ayat (QS: al-Isra 33): وَ مَنْ قُتِلَ مَظْلُوماً فَقَدْ جَعَلْنا لِوَلِيِّهِ سُلْطاناً; “Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan (hak kisas) kepada walinya.”
Politisasi Pembunuhan Utsman
Itu slogan yang sangat tepat baginya. Tetapi saat itu, tak ada yang bertanya kepada Muawiyah, siapakah wali syari yang berhak menuntut darah Utsman?
Pertama, sudah tentu, keluarga Utsman ra. itulah yang paling dekat. Utsman mempunyai putra, sementara Muawiyah berkerabat jauh dengannya. Jadi, apa hubungannya dengan Muawiyah sehingga dia menuntut darah Utsman?!
Kedua, Utsman ra. yang terbunuh lantas apa kaitannya dengan Imam Ali ra.?
Jelas, semua persoalan ini tak ada berurusan dengan Muawiyah, tetapi dia hanya ingin memanfaatkan keadaan kacau itu. Sebelum kejadian, dia telah menempatkan orang-orangnya di sekitar Utsman. Dalam pesannya, jika Utsman terbunuh, bajunya yang berlumur darah berikut jari isterinya yang mereka potong agar langsung dikirimkan kepadanya di Syam (Suriah).
Muawiyah menyuruh mereka memperlihatkan potongan jari isteri Utsman di sisi mimbarnya dan mengatakan, “Hai orang-orang, dunia telah teraniaya! Islam telah sirna! Ini adalah potongan jari isteri Utsman!”
Muawiyah juga memerintahkan agar mengangkat baju Usman di atas kayu untuk diarak di masjid atau tempat lainnya. Di sana dia duduk, menangisi Utsman dan mengadakan peringatan meratapi mendiang sang khalifah yang teraniaya di Syam. Warga pun digiring untuk ikut menangis agar kelak mereka menuntut darah Utsman. Menuntut kepada siapa? Kepada Imam Ali?! Bersambung
Referensi:
Seiri dar Sire-e Aemme/Syahid Mutahari.