Imam Ghazali: Menumpahkan Darah Seorang Muslim itu Salah Besar!
Takfirisme dari Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) membentuk komunitas yang memandang dirinya beriman, berjumlah sedikit dan bahwa selainnya adalah kaum kafir. Dilanjutkan ialah kaum wahabi yang ekstremitasnya lebih parah lagi. Kalau Ibnu Taimiyah kerap menggunakan kata “bid’ah”, mereka mengubahnya dengan kata “kufur”.
Tolok ukur takfîr mereka (mengkafirkan selain mereka) adalah yang kontra dengan mereka dalam masalah teologis atau kefikihan. Seperti dimana Allah, bolehkah bertawasul, ziarah kubur, bertabaruk dan sebagainya, kendati sejarah Islam yang panjang menunjukkan pembangunan makam-makam para nabi dan pelestariannya di Palestina, Yordania, Suriah dan Irak. Muslimin pun berdatangan untuk menziarahinya. Di masa itu tak ada satupun orang yang menentang bahwa tindakan mereka itu kontra tauhid.
Di masa khilafah Umar bin Khatab bahkan, setelah memenangkan Baitul Maqdis tak pernah ada perintah darinya untuk menghancurkan makam-makam suci yang diziarahi. Justru ia melakukan perawatan dan penghiasannya. Namun kelompol takfiri bertindak sebaliknya. Kalau kaum muwahidin (yang bertauhid) pasca wafat Rasulullah saw bertawasul dengan maqam suci Nabi saw agar beliau mensyafati mereka, kaum ekstremis ini memandang tawasul mereka itu tak beda dengan tawasul kaum musyrik dengan patung.
Kelompok Islam radikal ini melampaui batas takfîr dari para pendahulunya yang sebatas lisan dan tulisan. Mereka telah melakukan perampasan di daerah-daerah sekitar Najed, hingga mereka berdaya material dari hasil merampas harta benda penduduk. Pengkaji dapat merujuk pada dua kitab: “Tarikh Ibn Ghanam” dan “Tarikh Ibn Basyar” tentang kejahatan-kejahatan apakah yang telah mereka perbuat, dan siapa saja pendirinya.
Sampai di masa pasca perebutan Afganistan dari tangan Soviet, sebuah ikrar jihad bagi para pemuda muslim diangkat untuk mengalahkan kekuatan kufur dan mengusir musuh dari negeri-negeri Islam. Namun kemudian menyimpang dengan pemikiran wahabi, hingga para pejuangnya mengkafirkan selain mereka yang ada di semua negeri Islam.
Gerakan mereka dimulai dengan anti negara-negara perlawanan terhadap zionis. Dalam serangan mereka bukan pembebasan al-Quds malah menghancurkan infrastruktur di Suriah dan Irak. Ekstremitas mereka sampai batas memerangi anak-anak, kaum wanita, lanjut usia dan sebagainya. Inikah yang diajarkan oleh Islam?
Rasulullah saw bersabda -yang maknanya kira-kira demikian: “Keramahan pada sesuatu berarti telah menghiasinya. Jika terangkat berarti telah menodainya.”
Ibnu Taimiyah: Pengkafiran itu Melampaui Batas
Takfîr artinya menganggap seseorang itu kafir. Mengkafirkan dia berarti mengeluarkannya dari prinsip-prinsip agama sekumpulan orang.
Menurut Ibnu Abdilbarr di dalam “at-Tamhid” 14/315-326, cet. Darul Faruq al-Haditsah, Kairo: Seseorang hendaklah tidak dikafirkan kecuali telah disepakati semua pihak, atau dengan dalil yang tak terbantahkan dari Alquran dan Sunnah.
Hal itu sebagaimana yang dikatakan oleh Syaukani di dalam “as-Sail al-Jarar” 4/783, bahwa tak diperkenankan bagi seorang muslim menghukumi orang itu keluar dari Islam dan masuk ke dalam kekafiran, kecuali dengan argumen yang lebih terang dari matahari siang bolong.
Menarik disimak apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah sendiri -yang disebut-sebut sebagai biang takfirisme- justru mengatakan berikut:
-“Selagi masih diragukan lebih baik menahan diri dari hal mengkafirkan. Sikap langsung mengkafirkan itu terpengaruh oleh watak orang-orang yang dikuasai kebodohan.” (Bughyatu al-Murtad, hal 345, cet.Maktab al-‘Ulum wa al-Hukm, Madinah).
-Mengenai perpecahan, pembunuhan, pelaknatan dan permusuhan di antara muslimin, dia berfatwa: “Masalah ini pada dasarnya diharamkan. Ada hal melampaui batas di dalamnya..” (Al-Istiqamah 1/24-6)
Riwayat Peringatan Keras: Jangan Mengkafirkan!
Banyak riwayat yang bermuatan peringatan keras bagi muslimin agar tidak saling mengkafirkan dan berhati-hati dalam masalah ini.
Pertama, peringatan secara umum terkait dengan berfatwa. Diriwayatkan dalam Sunan ad-Darimi 1/69, Rasulullah saw bersabda: “Orang yang paling berani berfatwa adalah yang paling berani terhadap neraka.”
Kedua, di dalam Sahih Bukhari 1/465 diriwayatkan dari Abu Dzar: “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seseorang menuding orang lain dengan “kafir” dan “fasik”, melainkan berbalik kepada dirinya jika ternyata orang itu tidak demikian.”
Ketiga, juga di dalam Sahih Bukhari 1/465 diriwayatkan dari Tsabit bin Dhahhak bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang menuduh seorang mukmin bahwa dia kafir, dia seperti telah membunuhnya.”
Melihat perkara ini berdampak yang sangat signifikan, ulama besar pun memberi peringatan keras atasnya. Seperti yang diungkapkan oleh Imam Ghazali (kira-kira demikian maknanya): “Yang seyogyanya dicondongi pengkaji ialah sikap hati-hati dari pengkafiran selama tak didapatinya sebuah cela. Adalah salah jika dia menghalalkan darah dan harta kaum yang shalat menghadap kiblat, yang mengatakan “la ilaha illallah muhammadur rasulullah”. Kesalahan dalam meninggalkan seribu orang kafir dalam hidup lebih rendah daripada kesalahan dalam menumpahkan darah seorang muslim.” (Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hal 157)