Tela’ah Makna Harta dan Anak Menjadi Baqiyat As Shalihat
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.[1]
Terkait makna baqiyat as-shalihat Imam Shadiq as berkata, “Janganlah meremehkan kecintaan kepada kami, (itu adalah salah satu) dari baqiyat as-shalihat. Dalam hadis lain Nabi Muhammad saw menjelaskan, untuk tidak mengabaikan pembacaan tasbih arba’ah, karena tasbih arba’ah adalah bagian dari baqiyat as-shalihat. Jika harta dan anak-anak ditempatkan di jalan yang Allah ridhoi, maka keduanya akan menjadi baqiyat as-shalihat.
Harta dan anak-anak dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang penting, dua hal yang keberadaannya mempengaruhi perencanaan dalam keluarga, banyak yang menghabiskan sebagian besar harta untuk berobat sehingga bisa memiliki anak seperti yang lain, ada juga yang mengganti dengan sejumlah besar uang untuk bisa mengangkat anak akibat suami atau istri sudah difonis mandul. Tapi ada juga yang mengorbankan anaknya demi mendapatkan uang. Dalam ayat antara harta dan anak sekilas diposisikan setara, keduanya adalah perhiasan dalam kehidupan di dunia bagi seseorang. Jika harta dikorbankan demi anak ini lebih manusiawi, karena anak dijadikan sebagai tujuan, anak adalah parameter. Misalnya menggunakan harta demi menyekolahkan anak. Sementara orang-orang yang “menjual” anaknya tentu hal ini tidak sesuai dengan hukum kemanusiaan, itu adalah tindakan tidak manusiawi dan perlu dijauhi.
Ini kita kembalikan pada standar bahwa baik harta maupun anak sebenarnya bisa menjadi baqiyat as shalihat. Sebuah amalan yang kekal dan terus menerus mengirimkan pahala kepada pemiliknya. Pihak yang mengorbankan anak demi mengumpulkan harta tentu tidak termasuk kedalam kelompok baqiyat as-shalihat.
Harta yang digunakan dijalan Allah seperti sedekah, waqaf, dan semacamnya maka harta ini akan menjadi baqiyat as shalihat. Menjadi kekal dan bahkan memberikan harta yang terus menerus kepada pemiliknya.
Berikut tela’ah tentang anak yang menjadi baqiyat as shalihat.
Orang tua demi pendidikan anak rela banting tulang mengumpulkan harta, bekerja siang malam seolah waktu 24 jam itu harus ditambah beberapa jam lagi. Rela melakukan kerja lembur tanpa memperhatikan kesehatan tubuh. Target utama adalah pendidikan anaknya tertunaikan.
Benar bahwa anak memang harus dididik, pendidikan anak adalah kewajiban utama dan pertama orang tua, namun ada satu kenyataan yang kadang tidak disadari yaitu bahwa pendidikan di sekolah-sekolah kadang sudah tidak lagi menjadi sebuah proses pendidikan. Alih-alih berfungsi sebagai lembaga pendidikan anak, lembaga-lembaga itu masih berputar-putar mencari formula untuk mentransfer ilmu kepada anak dengan lebih cepat dan lebih mudah, hasilnya dalam proses transfer ilmu ini pun banyak yang gagal, anak didik tidak bisa lulus dalam ujian-ujian akademis yang dihadapi.
Dua hal yang harus diperhatikan adalah belajar dan sekolah bukan dua hal identik, anak kesekolah tidak selalu belajar, belajar tidak selalu harus di sebuah sekolah. Kedua semau tempat adalah sekolah, jadi belajar bisa dimana saja, kapan saja.
Beberapa orang tua mati-matian menyekolahkan anaknya tujuannya agar anak memiliki ijazah, anak bisa bekerja ditempat yang lebih baik (tidak bekerja keras tapi uang yang didapat banyak). Orang tua secara tidak sadar sedang memframing anak untuk menjadikan pencarian harta benda dunia sebagai tujuan hidup. Menjadi parameter nilai yang harus diutamakan. Karena itu dalam beberapa tahun anak menempuh pendidikan orang tua tidak melihat perkembangan pendidikan anaknya, tidak melihat apa pengaruh pendidikan dari lembaga pendidikan yang diikuti anak sehari-hari, apakah benar-benar memberikan pendidikan, memberikan pengajaran atau tidak. Poin yang dilihat hanya apakah anak mendapatkan ijazahnya atau tidak, dia lulus terbaik atau tidak, semua kurang lebih kembali pada nilai pengajaran dan transfer ilmu semata, bukan nilai pendidikan yang sudah tertanam pada anak. Bukan hanya orang tua, kadang para guru pun memiliki penilaian yang sama, mengutamakan hasil ajar anak, apakah transfer ilmu kepada anak berhasil atau tidak, apakah anak hafal pelajaran atau tidak, belum ke tahap apakah anak bisa mengaplikasikan ilmu itu dalam kehidupan atau tidak, apakah anak bisa memanfaatk ilmu itu kedalam kehidupan atau tidak, para guru belum bisa mandiri dalam mengajar anak, mereka di target dengan materi-materi yang sering tidak sesuai dengan waktu yang dimiliki. Materi sangat banyak sementara waktu yang ada sangat minim, kadar penguasaan siswa kepada materi sebelumnya juga sering tidak sama rata, ada yang sudah siap mendapatkan pelajaran yang akan diajarkan ada yang tidak siap.
Apa yang semestinya diperhatikan pada anak adalah pendidikan mereka, bukan sekadar sekolah mereka, jika terpaksa biarlah anak berhenti sekolah tapi jangan sampai anak berhenti belajar.
Menyekolahkan anak tapi orang tua tidak bisa berkomunikasi secara lancar dengan anak, waktu berangkat anak masih tidur, ketika pulang anak sudah tidur lagi. Hal ini bisa menjadi penyebab terhambatnya pendidikan anak, anak pergi ke sekolah tapi mereka tidak belajar disana, keberadaan orang tua adalah kebutuhan dasar bagi setiap anak.
Bagaimana menjadikan anak menjadi baqiyat as shalihat adalah dengan pendidikan tepat waktu, tepat tempat, tepat materi dan dengan didampingi orang tua. Menyekolahkan anak bukan jaminan anak menjadi terdidik, dalam sekolah ada banyak hal yang bisa membentuk anak, teman, guru, dan lingkungan sekolah.
[1] Qs AlKahf: 46.