Catatan Sang Jenderal Bayangan
Adalah lanjutan dari makalah sebelumnya berjudul “Nama Saya Qasem Sulaimani”. Merujuk pada sebuah buku yang menukil langsung dari Sang Martir yang namanya sudah populer dari sebelum kesyahidannya (3/2/2020), dan kini mendunia.
Dari sejak muda ia mempunyai selera kemiliteran dan siap tempur: “Saya sangat menyukai perbincangan soal militer dan tampil di medan pertempuran. Karena itu, selain saya siap (pernah) mendapat tugas di medan selama 15 hari, saya pulang sampai perang berakhir.”
Cukup banyak pengalamannya dalam operasi militer di masa perang dengan Saddam, Irak, ketika menginvasi negaranya, Iran. Berikut ini Syahid Sulaimani menceritakan pengalaman dan perannya pada masa itu:
1-“Fathul Mubin” adalah operasi terpenting yang pernah saya ikuti, untuk pertamakalinya kami diperintah membentuk sebuah brigade, walau kondisi saya saat itu dalam terluka, saya terima tugas sebagai asisten pimpinan poros di medan Shush dan Sahal Abbas.
Operasi ini membawa kenangan yang sangat manis dari kemenangan-kemenangan yang kami raih di dalamnya. Meski dalam kondisi sulit dari sisi fasilitas, kami mampu menawan 3000 an tentara Irak.
2-Operasi “Wal fajr 8”; selain manisnya meraih kemenangan yang yang dirasakan oleh saya bersama rekan-rekan setelah berbagai kepahitan dan beban berat yang mereka tanggung, laskar “Tsârullah” dari Kerman (daerah asal beliau) berperan penting dalam operasi ini.
Saat-saat yang paling berat bagi para komandan perang ialah bila para pejuang yang mereka sayangi, gugur. Terlebih yang gugur itu seorang yang memiliki posisi terpenting dalam pertempuran. Ketika Hasan Baqeri dan Majid Baqai gugur, dengan kepergian keduanya kami merasa menghadapi kondisi yang sangat sulit di peperangan.
Syahid Hasan Baqeri adalah “Beheshti” Medan Perang (penisbatan pada Ayatollah M.Husein Beheshti yang gugur bersama 72 orang penting dalam ledakan bom oleh kelompok Khalq, disaat beliau berpidato. Syahid Beheshti berperan penting terkait undang-undang negara di bawah bimbingan Imam Khomeini). Orang seperti dia menempati posisi inti yang dirujuk oleh para komandan perang untuk mendapat solusi dari tekanan-tekanan musuh.
Selain dia, di kesempatan lain saya merasa sangat terpukul dengan gugurnya seorang komandan yang kesyahidannya seperti gugurnya satu batalyon. Ia bernama Haji Yunus Zanki Abadi, yang menjadi harapan bagi regu “Tsârullah”, dan merasa senang dengan tindakan paling sulit di medan pertempuran.
3-Operasi “Karbala 1” di Tehran; kami harus bergerak dari titik “Emamzadeh Hasan” ke “Qalawizan” untuk membebaskan wilayah Tehran. Saat itu laskar “Tsârullah” mendampingi laskar “Rasulullah saw”, keduanya bahu membahu, berkonfrontasi sengit dengan pasukan Saddam. Kami antarkan laskar “Rasulullah saw” bergerak menuju garis depan.
Cuaca cerah pada saat itu, pasir dan debu menutupi area operasi, kami melaju dengan motor ke paling depan. Di sana kami melihat kumpulan dalam jumlah besar sedang bergerak ke arah kami. Mulanya kami bayangkan bagaimana kekuatan pasukan kami, namun kami maju sampai posisi hanya sekian meter jarak antara kami dan mereka. Sehingga kami harus turun dari motor, dan berlari ke titik-titik area pasukan kami, yang pada akhirnya mereka semua berhasil kami tawan.
Kesyahidan di Mata Qasem Sulaimani
Disampaikan pada hari jumat tahun 1981 sebelum berangkat operasi “Thariqul Quds” di hadapan dua batalyon Laskar 41 “Tsârullah” Kerman. Dari pidatonya di bawah ini ia mengungkapkan alasan yang mendasar dan tujuan yang tinggi bagi setiap pejuang muslim. Yaitu, mati syahid yang dicita-citakan oleh setiap ‘âsyiq untuk bersua dengan Kekasihnya, Allah swt.
Setelah membaca surat “an-Nashr” dan shalawat, Komandan Qasem Sulaimani membawakan sebuah hadis qudsi:
“Siapa yang mencari-Ku akan mendapati-Ku. Siapa yang mendapati Aku akan mengenal-Ku. Siapa yang mengenal-Ku akan menjadi pencinta-Ku. Siapa yang menjadi pecinta-Ku maka Aku akan “membunuh”nya. Siapa yang Aku bunuh, Aku lah sebagai dendanya.”
Demikian lah kebahagiaan nan agung. Kesyahidan itu cita-cita yang membuat hati bergelora. Semua pecinta demi menggapai Kekasih mereka dan mencapai tujuan mereka. Kesyahidan adalah sarana pamungkas yang mereka pilih membawa diri mereka kepada Sang Kekasih. Adalah kebanggaan yang bukan untuk semua orang. Melainkan bagi orang-orang yang membina diri. Mereka inilah yang akan menggapai kebanggaan bersua dengan Allah, dan mereka banyak di antara kalian. Tandanya yang berwarna spiritual menampak di wajah-wajah kalian dan terlihat dari kejauhan..”
Referensi: Hajj Qasem Sulaimani/Ali Akbari Muzdabadi