Ilmu Yang Melenyapkan Diri (annihilation)
- Ilmu Lahir dan Ilmu Batin
Ilmu yang membesarkan ego, hanyalah pengantar ilmu saja. Pengantar tidak selalu sukses mengantarkan pada hakikat ilmu. Bahkan pada tingkatan tertentu ilmu itu menjadi hijab (veil) antara dirinya dan hakikat, juga hijab antara dirinya dan al-haq. Ia menjadikan ilmu sebagai instrumen untuk mempopulerkan dirinya, memasarkan dirinya ke pasar publisitas, popularitas.
Baginya ilmuwan itu ibarat selebriti yang selalu memiliki pandangan yang mencengangkan, mengagumkan, memesona nalar audience. Alih-alih ingin mencerahkan orang lain dirinya, ia melemparkan dirinya dalam pesona itu. Ada beda tipis antara sensasi pesona dengan kebahagiaan akal. Kesenangan seorang ilmuwan lahiriyah adalah ilusi dan imaginasi yang diciptakan oleh dirinya.
Semakin banyak wawasan, banyak bacaaan, dan semakin besar kafital untuk melejitkan dirinya di pusaran keterkenalan. Yang paling diburu oleh ilmuwan lahiriyah seperti ini adalah simbol-simbol kecendekiawan, seperti gelar, penghargaan prestisius, dan prestasi dari kalangan publik, sertifikat, plakat, medali, dan sebagainya.
Adapun ilmuwan sejati yaitu yang melenyapkan ego dan tidak ada lagi yang diharapkan dan diinginkan oleh dirinya. Keinginannya menjadi keinginan Tuhannya. Itulah penyamaan keinginan. Keinginan tuhan adalah keinginan yang tertinggi, seorang sufi mengatakan : “Aku menginginkan agar aku tidak menginginkan.”
Keinginan yang lebih mulia yang mengalahkan keinginan-keinginan kecil dan sementara seperti hewaniyah dan egoisme. Ilmu semakin dalam semakin menghilangkan ananiyahnya. Ia telah menggapai dan melihat hakikat. Seorang anak kecil masih menginginkan boneka-boneka permainan tapi saat sudah dewasa ia tidak tertarik lagi ia ingin yang lebih real. Ilmuwan lahiriyah ibarat anak kecil yang masih tergoda dengan mainan-mainan, tapi jika sudah sempurna ilmunya ia hanya menginginkan Sang Pemiliki Sejati dari semua permainan dunia ini.
Bagi yang buta hatinya, tidak mungkin tertarik dengan yang lebih tinggi dan lebih mulia seperti keridhaan Illahi dan pahala dari Ilahi. Ia tidak mengenal Tuhan, jadi mana mungkin tertarik, tak kenal maka tak sayang. Ilmuwan lahiriyah lebih mengenal dengan kehidupan dunia daripada kehidupan dan keabadian akhirat, meskipun yang dikuasainya wawasan dan informasi tentang Tuhan, alam akhirat, kebahagiaan dan keabadian. Ilmuwan lahiriyah lebih terobsesi untuk memuaskan intelektualnya dan bukan melenyapkan dirinya. Ia merasa sayang akan kehilangan dirinya karena subyek telah menikmati ketenaran dan tatapan mata dari pengagumnya yang sangat mengikat dirinya. Ia telah melacurkan ilmunya dengan sesuatu yagn lebih rendah dari ilmu itu sendiri.
Sementara alim lahir dan batin, semakin banyak yang dilkuasainya semakin hilang dirinya, ibarat tetesan air di samudera, ia tidak melihat lagi identitas dirinya, ia tidak melihat lagi jati dirinya yang membentuk tetesan-tetesan kecil tapi ia sudah meluncur, dan menghilang dalam samudera yang lebih besar.
Dalam kehidupan sehari-harinya ia lebih bermanfaat, lebih jujur, tanpa pamrih, berani, dan selalu bergembira. Bermanfat karena ia hanyalah wasilah bagi kepentingan manusia yang lain. Ia menyerap Asma Ilahi bukan lagi dirinya yang eksis, tapi manifestasi nama-nama Ilahi yang terkadang lembut dan terkadang keras, dan tegas. Tidak ada yang dikhawatirkan dan tidak ada yang diharapakan lagi. Jujur karena dirinya adalah kekosongan dari setiap kepentingan. Dirinya adalah kekosongan dan kemurnian yang transparan sehingga setiap orang bisa melihat dan merasa percaya.
- Bagaimana Menghilangkan Diri (Ego)
Melenyapkan ego identik dengan menggabungkan tetesan air ego dengan samudara lautan yang maha luas. Ia tidak lagi menjadi pertimbangan yang menjadi payung dan ujung dari semua akfititas, pikiran dan semangatnya adalah liqa Allah dan keridhaan Allah swt.
Hati-hatilah dengan titik-titik yang dapat membangkitkan ego rendah, menengah dan yang tertinggi, ego rendah sama sekali tidak akan mengantarkan pada yang lebih tinggi sekalipun halal. Apalagi ego mulia yaitu intelek yang memiliki kemungkinan untuk mengantarkan pada Tuhan, pada akhirat. Mengikuti ego yang rendah adalah pembunuhan ego yag lebih tinggi dan turun menjadi hewan, kecuali sebagai wasilah saja.
Mengejar wasilah demi menggapai wasilah lain yagn lebih tinggi. Wasilah pertama bukan untuk ego yang rendah tapi untuk ego yang tinggi yaitu intelek (akal) yaitu exercise nalar. Latihan kesabaran, latihan menjalani proses untuk tujuan yang tertinggi yaitu mendapatkan kesempatan untuk belajar lagi, mendapatkan kesempatan untuk memperoleh wasiah yang paling praktis (uang) dan itu juga untuk menyempurnakan kehidupan mental, sosial, gotong royong.
Rangkaian wasilah demi wasilah ini berujung kepada keridhaan Ilahi atau kepada Tuhan yang maha mutlak. Loving God through loving self, through loving study, career, workd, activity and so on. Rangkaian ini bisa saja di rusak dan diinterupsi oleh ego yang rendah. Terjadi potong kompas yang menghentikan atau menyelewengkan perjalanan. Jalan lurus (shiratul mustaqim) tidak hanya jalan tapi juga the way. Salat saja mungkin saja terselewengkan untuk memperkuat posisi dunianya, karena posisi spiritual memberikan daya tarik bagi yang lain untuk mengidolakan dan menjadikan sebagai panutan dalam urusan spiritual yang kemudian menarik juga fasilitas-fasilitas dunia.
Dunia adalah segala hal yang menjauhkan dari Allah dan akhirat adalah segala hal yang mendekatkan kepada Allah. Prestise, gelar, ijazah, kedudukan, presitse, penghargaan, hadian nobel, simpati, dikagumi oleh banyak orang jika itu mendekatkan diri kepada Allah hal itu adalah akhirat. Namun sebaliknya aktifitas yang secara lahir maknawiyah tapi karena suasana batinnya menjauhkan dari Allah, maka itu adalah dunia dan kehinaan. Semakin banyak ibadah justeru semakin jauh dari Allah.