Karakteristik ‘Irfan Islami dalam Perspektif Muthahari (Bag. 1)

‘irfan
Ilmu ‘irfân adalah salah satu ilmu yang lahir dan tumbuh dalam pangkuan kebudayaan Islam. Ilmu ini bisa ditelaah dan dikaji dari dua sudut pandang, yakni sosiologis dan ilmiah. Ada satu perbedaan penting antara kaum arif dan sarjana-sarjana Islam lainnya semisal para ulama hadits, penafsir Alquran, para faqih, teolog, pujangga, dan penyair. Kendatipun kaum arif termsuk dalam kelompok ilmuwan, menciptakan ilmu ‘irfân dan melahirkan banyak pakar yang telah menghasilkan buku-buku penting tentang masalah ‘irfân, mereka berbeda dari sarjana-sarjana lainnya memilih untuk membentuk sebuah sekte sosial tersendiri di dunia Islam. Berbagai kelompok cendikiawan lainnya semisal para faqih dan sebagainya hanyalah sekedar kelompok cendikiawan saja dan tidak dipandang sebagai sekte yang terpisah.
Dari sudut pandang ilmiah, mereka yang ahli dan mahir dalam ‘irfân disebut kaum arif. Hanya saja, dari sudut pandang sosial, mereka dikenal sebagai kaum sufi. Betapapun kaum arif dan sufi bukanlah sebuah sekte keagamaan tersendiri yang terorganisasi, mereka pun tidak mengklaim sebagai telah membentuk sejenis kultus seperti itu. Mereka tersebar dalam semua sekte di kalangan kaum muslim. Namun dari sudut pandang sosial, mereka adalah subuah kelompok dan badan terpisah, dengan berbagai gagasan khas dan gaya hidupnya yang tersendiri. Mereka mengenakan sejenis pakaian tertentu dan potongan rambut mereka pun mempunyai gaya tertentu pula. Mereka tinggal di pondok-pondok atau zâwiyah. Dengan demikian, kaum sufi sampai pada tingkat tertentu menjadi sebuah sekte tersendiri jika ditilik dari sudut pandang agama maupun sosial.
Bagaimanapun, sejak dulu hingga sekarang, khususnya di kalangan Syi’ah, masih ada orang-orang arif (‘urafâ’) yang tampaknya tidak berbeda dari orang kebanyakan lainnya. Akan tetapi, mereka sangat akrab bergaul dengan ‘irfân dan perjalanan spiritual. Dalam kenyataannya, mereka inilah sesungguhya kaum arif sejati, dan bukan mereka yang menciptakan ratusan ritus dan berbagai bid’ah lainnya.
Di sini kami bermaksud mendiskusikan ‘irfân hanya sebagai sebuah cabang dari berbagai ilmu Islam dan sama sekali tidak berkaitan dengan kaum sufi sebagai suatu sekte sosial atau dengan berbagai ritus yang telah mereka lakukan. Jiak kita membicarakan aspek sosial tasawuf, maka kita perlu membahas sebab-sebab yang melahirkan sekte ini dan mengungkapkan bagaimana sekte ini secara positif dan negatif mempengaruh dan mewarnai mistik Islam, bagaimana sekte ini dan sekte-sekte Islam lainnya saling memberikan reaksi, kerumitan apa yang ditimbulkan atas ilmu-ilmu Islam serta dampak atau akibat apa yang dilahirkan atas penyebaran Islam. Hanya saja kami sekarang tidak membahas masalah-masalah ini serta mendiskusikan ‘irfân hanya sebagai sebuah ilmu saja.
Dari sudut pandang ilmiah, ‘irfân mempunyai dua aspek yakni, aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek praktis ‘irfân adalah bagian yang melukiskan hubungan manusia dengan dunia dan dengan Allah. Aspek itu menentukan hubungan-hubungan ini serta menjelaskan berbagai kewajiban yang dilahirkan oleh hubungan-hubungan ini atas diri manusia. Sebagai ilmu praktis, bagian ini mirip dan menyerupai etika. Perbedaan antara keduanya akan kami jelaskan nanti.
Bagian ‘irfân ini disebut sayr wa sulûk (perjalanan spiritual). Bagian ini menjelaskan dari mana seseorang yang mencapai tujuan kemanusiaan, yakni monoteisme, mesti mengawali perjalanannya, dalam urutan bagaimana dia mesti menempuh berbagai tahap dan kedudukan (maqâm) serta keadaan (hâl) apa yang diharapkan bakal dialaminya selama melakukan perjalanannya itu. Untuk tujuan perjalanan itu, sangatlah penting agar perjalanan ini dilakukan di bawah bimbingan seorang pembimbing spiritual yang benar-benar berpengalaman yang mungkin akrab dan sangat mengetahui prosedur perjalanan dan yang pernah melewati sendiri semua tahap dalam perjalanan tersebut. Tanpa bimbingan seorang Syaikh yang berpengalaman (kadang-kadang disebut Khidhir), sang sâlik (seorang yang tengah menempuh perjalanan rohani) bisa kehilangan jalan dan tersesat.
Seorang penyair berkata, “Jangan coba-coba berjalan tanpa ditemani oleh seorang Khidhir. Kegelapan adalah jejak. Karena itu, berhati-hatilah agar engkau tidak kehilangan jalan dan tersesat.” Monoteisme (tawhîd) atau Keesaan Allah yang dicari seoran garif dan yang merupakan tujuan tertinggi kemanusiaan sangat berbeda dari Monoteisme orang-orang awam. Bagi seorang filosof, Keesaan Allah bermakna hanya ada satu wujud hakiki, tidak lebih dari satu.
Kaum arif berpandangan bahwa Keesaan Allah berarti bahwa Allah adalah satu-satunya wujud yang benar-benar ada. Keberadaan segala sesuatu lainnya hanyalah ilusi semata. Monoteisme seorang arif diwujudkan dengan melakukan perjalanan spiritual dan dengannya mencapai tahap dimana dia tidak melihat sesuatu yang lain kecuali Allah.
Musuh-musuh kaum arif bukan hanya tidak percaya pada tahap ini, melainkan juga kadang-kadang menyebut gagasan semisal ini adalah murni bid’ah. Sebaliknya, bagi kaum arif, mencapai tahap ini adalah monoteisme hakiki, dan semua tingkatan keimanan lainnya pada satu Tuhan adalah menyimpang dan sesat. Menurut kaum arif, manusia tidak bisa sampai pada tahap ini melalui pemikiran intelektual semata. Dia bisa mencapainya hanya dengan membersihkan dan mensucikan hatinya, dengan mengekang berbagai keinginan-keinginannya serta melakukan perjalanan spiritual.