Karakteristik ‘Irfan Islami dalam Perspektif Muthahari (Bag. 2)
Inilah sisi praktis ilmu ‘irfân. Dan, dalam hal ini, ia menyerupai etika, yang juga membicarakan ihwal apa yang mesti dilakukan seseorang. Perbedaan antara kedua ilmu ini adalah sebagai berikut :
- Di samping hubungannya dengan dirinya sendiri dan dengan dunia, ‘irfân membicarakan hubungan manusia dengan Allah. Hanya saja, tidak ada satu sistem etika pun mau membahas hubungan manusia dengan-Nya. Hanya sistim moral agama sajalah yang membicarakan aspek ini.
- Perjalanan spiritual dalam ‘irfân sebagaimana ditunjukan oleh kata-kata ini adalah sebuah kondisi yang senantiasa bergerak. Namun demikian, prinsip-prinsip moralnya besifat statis. ‘Irfân berbicara tentang suatu titik tolak dan kemudian menyebut-nyebut berbagai tahap yang mesti dilalui seorang sâlik untuk mencapai tahap terakhir. Dari sudut pandang seorang arif, jalan spiritual adalah jalan hakiki serta bukan jalan figurative dan fenomenal. Sangatlah penting melewati setiap tahap dalam ‘irfân dan mustahil bagi seseorang sampai pada tahap berikutnya tanpa melewati tahap-tahap sebelumnya. Di mata seorang arif, jiwa mannusia itu laksana seorang bocah atau jenis tanaman dan tubuhan yang mesti dirawat sesuai dengan sistem yang cocok baginya. Sebaliknya, dalam etika, hanya sifat-sifat tertentu saja yang ditekankan, semisal, ketulusan, persahabatan, keadilan, kesucian, kedermawanan, dan pengorbanan ¾ sifat-sifat yang membaur dan menghiasi jiwa. Dari sudut pandang moral, jiwa manusia bisa dibandingkan dengan sebuah rumah yang harus dicat dan dihiasi. Akan tetapi, sewaktu melakukan hal ini, tidaklah perlu menempuh urutan tertentu dan bisa dilakukan dari sisi mana saja. Dalam‘irfân juga dibicarakan ahlak. Hanya saja, dalam‘irfân juga dibicarakan akhlak. Hanya saja, dalam ‘irfân, akhlak merupakan unsur-unsur yang senantiasa bergerak.
- Unsur-unsur spiritual dalam etika terbatas jumlahnya. Semua oran tahu apa makananya. Sebaliknya, unsur-unsur spiritual dalam‘irfân boleh dikata sangat luas.
Dalam hubungannya dengan perjalanan spiritual, keadaan-keadaan dan fase-fase emosional seperti didiskusikan dalam‘irfân yang tidak dijumpai oleh sang sâlik sendiri. Pengalamannya ini tidak dialami oleh orang lain. Bagian lain dari ilmu‘irfân menjelaskan hakikat alam semesta. Bagian ini membahas Tuhan, dunia, dan manusia.
Bagian‘irfân ini menyerupai filsafat, sebab ia berupaya menginterpretasikan alam semesta secara filosofis. Sementara itu, bagian pertama tersebut di atas mempunyai kesamaan dengan etika, sebab ia ingin mengubah kondisi moral manusia. Akan tetapi, seperti halnya bagian pertama sekalipun mempunyai kemiripan yang dekat dengan etika berbeda darinya, maka beitu pulalah bagian kedua ini berbeda dari filsafat, kendatipun memiliki beberapa cirri yang sama dengannya. Kami akan membahas perbedaan ini lebih jauh nanti.
‘irfân Teoretis
kini, kita sampai pada spek teoretis‘irfân. ‘‘Irfân teoretis membahas hakikat alam semesta dan mendiskusikan mannusia, Tuhan serta dunia. Dengan sendirinya, bagian‘irfân ini mempunyai kesamaan yang dekat dengan teosofi, sebab keduanya menginterpretasikan alam semesta. Persis seperti halnya filsafat mempuyai berbagai problem dan prinsipnya sendiri, maka begitu pulalah mistisisme juga memiliki berbagai problem dan prinsipnya sendiri. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa filsafat memijakkan berbagai argumennya pada postulat-postulatnya, sementara ilmu mistisisme atau‘irfân mendasar argumen-argumennya pada visi dan intuisi serta kemudian mengemukakan berbagai teorinya secara logis.
Pemikiran dalam filsafat bisa dibandingkan dengan kajian di atas sebuah tulisan dalam bahasa aslinya, dan pemikiran dalam‘irfân bisa dibandingkan dengan kajian atas sebuah tulisan yang diterjemahkan dari bahasa yang berbeda. Yang dikemukakan sendiri oleh kaum arif adalah bahwa mereka menyatakan dalam bahasa pemikiran apa yang mereka lihat dengan mata kalbu dan segenap eksistensi fisik mereka. Konsepsi ihwal eksistensi dalam‘irfân sangat berbeda dari konsepsi tentang eksistensi dalam filsafat.
Dari sudut pandang seorang filosof, eksistensi non-Tuhan sama rielnya dengan eksistensi Tuhan. Perbedaannya adalah bahwa Tuhan adalah wujud yang secara esensial benar-benar ada dan mengada dengan sendiri-Nya. Sementara itu, segala sesuatu non-Tuhan bukanlah eksistensi yang secara esensial benar-benar ada dan mengada dengan sendirinya. Dari sudut pandang kaumarif, eksistensi Allah meliputi segala sesuatu dan segala sesuatu adalah manifestasi bebagai nama dan sifat-Nya. Tak sesuatu punbisa dikatakan benar-benar ada di depan keberadaan-Nya.
Pandangan seorang filosof berbeda dari pandangan seorang arif. Sang filosof ingin memahami alam semesta ini. Dalam ungkapan lain, dia ingin mempunyai gambaran tentang alam semesta yang benar, sempurna dan menyeluruh dalam benaknya. Dimata seorang filosof, capaian tertinggi manusia ialah mampu memahami dunia sedemikian rupa sehingga dalam eksistensinya sendiri eksistensi dunia ini pun tegak dan dia sendiri menjadi dunia. Itulah sebabnya filsafat mendefinisikan sebagai: ‘Dunia mental manusia menjadi sama dengan dunia yang ada’. Hanya saja seorang arif tidak tertarik pada akal dan intelek. Dia ingin menjangkau hakikat eksistensi, yakni Allah sendiri. Dia ingin berjumpa dengan hakikat ini dan mengamatinya.
Menurut kaum arif, capaian tertinggi manusia ialah kembali kepada asal-usulnya (yakni, dari mana dia datang) guna menghilangkan jarak antara dirinya dengan Allah serta menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan untuk berusaha hidup abadi dalam Diri Allah.
Seorang filosof menggunakan akal dan inteleknya, sementara seorang arif demi mencapai tujuannya menggunakan kalbu dan jiwa suci serta upaya spiritual terus-menerus.
(Disarikan dan diterjemahkan dari buku Kulliyat ‘Ulum Islamy bagian ‘Irfan, karya Allamah Syahid Murtadha Muthahari)