Kaum Milenial Tidak Takut Berhijab
Nabi Muhammad SAW bertanya kepada putrinya, “Wahai putriku, apa yang lebih baik bagi seorang wanita?”
Sayidah Fatimah Zahra as berkata, “(yang terbaik bagi wanita)adalah dia tidak melihat laki-laki non muhrim dan laki-laki (non muhrim) juga tidak melihatnya”
Mendengar ini Nabi membaca ayat suci Al Quran:
[1] ذُرِّيَّةًۢ بَعْضُهَا مِنۢ بَعْضٍ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
(sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (turunan) dari yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Kesulitan orang tua dalam mengajari generasi milenial berhijab
Sekarang ini kita memiliki kesulitan bagaimana mengajari generasi milenial berhijab. Generasi yang lebih kompleks, memiliki akses yang jauh lebih luas dibandingkan generasi sebelumnya. Kaum milenium menganggap kehidupan sosial sebagai aspek yang penting. Bagian yang sangat berpengaruh besar pada kehidupan pribadi mereka. Berbagai kemajuan teknologi, dan perilaku konsumtif memang lekat sebagai karakteristik era milenium ini.
Mereka sangat mengandalkan media social untuk mendapatkan informasi,[2] ya mereka bisa mencari tahu sendiri, tidak perlu diajari. lebih terkesan individual dan kurang peduli untuk membantu sesama.[3] Ini menjadi tantangan bagi kita bagaimana berkomunikasi dengan mereka, dan jelas bahwa komunikasi searah, memerintahkan dan semacamnya kurang bernilai dimata kaum milenial. Ketika cara kita keliru dalam menyampaikan pentingnya hijab, jelas info berharga dan sepenting apapun akan mereka tolak.
Cara Nabi Menanamkan pentingnya hijab kepada anaknya.
Dalam hadis ini ketika Nabi Muhammad SAW bertanya kepada putrinya, “Wahai putriku, apa yang lebih baik bagi seorang wanita?”
Sayidah Fatimah Zahra as berkata, “(yang terbaik bagi wanita)adalah dia tidak melihat laki-laki non muhrim dan laki-laki (non muhrim) juga tidak melihatnya”
Poin pertama yang terlihat adalah cara yang beliau pakai sangatlah lembut. Beliau menggunakan kalimat pertanyaan. Dengan cara ini si anak tidak merasa sedang diajari, tidak digurui. Anak diposisikan sebagai subyek bukan obyek. Jelas berbeda ketika diperlakukan sebagai pelaku dibanding diperlakukan sebagai obyek semata. Cara yang dipilih Nabi SAW ini lebih manusiawi dan lebih mudah diterima. Termasuk bagi kaum milenial yang sangat ingin diakui eksistensinya.
Akan berbeda hasilnya ketika tiba-tiba Nabi SAW datang membawa ayat tentang wajibnya memakai hijab. Menyuruh putrinya kamu harus begini harus begitu, kamu harus malu kepada Allah SWT, malu kepada non mukhrim sehingga kamu harus memakai hijab ketika keluar rumah. Sembari menyerang kepribadian sang putri. Disini anak perempuan akan merasa tidak dihargai eksistensinya. Dan pastinya jiwa berontaknya akan muncul. Harapan kita agar anak kita berhijab pun sulit diharapkan.
Cara nabi dalam menanamkan pentingnya hijab kepada putrinya itu relevan sepanjang jaman.
Mungkin ada yang berpikir, jaman Nabi Muhammad SAW itu sudah kuno, sudah berlalu 1500 tahun yang lalu, jadi metode beliau tidak relevan lagi dengan jaman ini, apalagi untuk generasi milenial.
Sekarang ini berkembang Pendidikan berbasis karakter. Pendidikan yang mengutamakan pembangunan karakter anak didik. Salah satu poin penting dari Pendidikan karakter adalah upaya memanusiakan anak didik, anak didik tidak dijadikan sebagai obyek tapi sebagai obyek.
Sejauh yang pengetahuan penulis, tata cara Pendidikan Nabi Muhammad saw adalah pendidikan berbasis karakter, pola didik beliau sangat manusiawi sekali, dan inilah salah satu alasan mengapa pendidikan beliau berhasil dan memiliki efek hingga sekarang. Termasuk bagaimana cara pendidikan putri beliau
Hijab sebagai tameng anak-anak putri kita dari efek negatif pergaulan
Hadis diatas juga sangat pas, mengingat generasi milenial dengan gadget bisa dengan mudah live streaming dengan lawan jenis, bahkan ketika mereka didalam rumah. Dan kita lihat sayidah Zahra, memberikan hukum kuli, dia tidak dilihat maupun melihat non muhrim, dengan cara apapun, langsung atau tidak langsung, dengan bertemu langsung, atau menggunakan live video call. Jadi anak milenial benar-benar pintar memilih dengan siapa akan bertemu, dengan siapa pantas berinteraksi dan sebagainya.
Jadi hijab terbaik adalah hijab yang dibangun dari dalam, kesadaran yang muncul dari dalam, kepribadian yang muncul dari seorang pelaku yang sadar dia memiliki Tuhan dan bahwa dia adalah hamba-Nya.
Memakai Hijab tidak sama dengan mengurung diri didalam rumah.
“Dia tidak dilihat maupun melihat non muhrim” ini bukan berarti melarang umat Islam untuk bertemu dengan non mukhrim sama sekali. Dalam kondisi tertentu bahkan sayidah Fatimah keluar dan berceramah dihadapan para sahabat Nabi saw.
Dengan hadis diatas bukan berarti melarang muslimah untuk berkarir. Bahkan keberadaan hijab itu sendiri adalah isyarat untuk keluar rumah, walau memang sebisanya untuk mengurangi intensitas dengan orang non mukhrim. Berbicara seperlunya, secukupnya dan tidak berlebih-lebihan.
Kita juga perlu ingat, kondisi tidak dilihat maupun dilihat non mukhrim adalah kondisi lebih baik, lebih utama.
[1] Surat Ali Imran (3: 34), Majlisi, Muhammad Baqir, Biharul Anwar, juz 43, hal 84.
[2] https://www.kominfo.go.id/content/detail/8566/mengenal-generasi-millennial/0/sorotan_media
[3] http://www.livescience.com