Kekhususan Hadis Syiah (2 Dari 3)
b) Reportasi
Hadis Syiah sejak masa shudur hingga penulisannya dalam bentuk kitab-kitab hadis, mengalami sebuah periode yang disebut dengan periode “reportasi”. Saat perawi pertama menukil hadis yang didengar dari maksum atau mencatatnya dalam buku hadisnya, maka terjadilah tahap reportasi.
Perawi kedua dan ketiga juga melakukan hal yang sama. Setelah beberapa generasi berlalu, hadis dicatat dalam kitab-kitab hadis besar dan terkenal. Kitab-kitab hadis ini juga sama seperti riwayat-riwayat, direportasikan kepada generasi-generasi berikutnya. Setelah beberapa lama, naskah-naskah baru mulai ditulis dan disebarkan di berbagai wilayah.
Disamping mempelajari, mengumpulkan pengetahuan dan mengamalkannya, kaum Muslimin juga menulis kitab-kitab yang lebih baru dan lengkap.
Berikut ini kita sampaikan kekhususan-kekhususan terpenting hadis Syiah pada tahap reportasi:
- Mengabaikan larangan penulisan hadis
Banyak anjuran dan motivasi dari para maksum untuk menjaga dan memelihara hadis dengan menulisnya. Hal itu menyebabkan hadis Syiah terlepas dari pukulan telak larangan penulisan hadis.
Larangan penulisan dan pembukuan hadis dimulai sejak periode khilafah Abu Bakar (wafat 13 H) dan dikokohkan pada masa khilafah Umar bin Khattab dengan perintah resmi.[1] Penguasa berikutnya juga mensosialisasikan sunnah syaikhain ini. Sunnah pelarangan penulisan hadis ini pada akhirnya berakhir dengan perintah Umar bin Abdul Aziz (wafat 101 H).
Pada periode 90 tahunan ini, kaum Syiah mengalami berbagai tekanan sosial politik. Meskipun demikian, semangat berjuang melawan sistem yang berkuasa dalam segala bidang membangkitkan mereka untuk melawan aturan-aturan yang tidak benar dan sembrono tersebut. Oleh karena itu, tulisan-tulisan Syiah berlanjut dari masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib hingga Imam Ali Zainal Abidin as. Tentunya sebagian tulisan, seperti Kitab Sulaim bin Qais dan Kitab Shahifah Sajjadiyah, masih bisa kita dapatkan meskipun tidak lengkap.
- Kontinuitas masa shudur dan penulisan hadis
Kekhususan terpenting hadis Syiah pada tahap ini adalah dualitas shudur & penulisan hadis yang menghindari penukilan verbal dan dari dada ke dada. Salah satu cacat yang dimiliki oleh teks-teks suci adalah reportasi verbal dan tiadanya penulisan yang berakibat pada kesalahan, distorsi, kekurangan atau kelebihan dalam teks-teks tersebut.
Hampir 60 % hadis-hadis Syiah yang berasal dari periode Shadiqain (Imam Baqir dan Imam Shadiq as) masih ada. Penulisan hadis pada masa itu memiliki kebebasan penuh dan memunculkan ushul hadis Syiah.
Meskipun pada masa tersebut Ahlu Sunnah juga melakukan penulisan hadis, akan tetapi tulisan-tulisan hadis mereka berbeda jauh. Hal itu dikarenakan kaum Syiah saat itu masih memiliki akses kepada imam maksum dan menulis ucapannya yang mencerminkan seluruh hakekat, berbeda dengan Ahlu Sunnah.
Oleh karena itu, kontinuitas terjadi antara shudur dan penulisan hadis. Sementara itu Ahlu Sunnah dengan menerima larangan penulisan hadis, memiliki jarak 100 tahunan dengan hadis Nabi saw sehingga untuk memperoleh sebuah hadis harus memanfaatkan jalur penukilan verbal dari 3 perantara. Jelas bahwa kemungkinan salah dalam penukilan verbal jauh lebih besar dari reportasi tertulis.
Atas dasar itu, mayoritas ushul hadis Syiah lahir pada masa kehidupan Shadiqain dan melalui shudur hadis dari imam lain sehingga sebagian meyakini seluruh ushul dihasilkan pada periode tersebut.[2]
- Kemungkinan penyelinapan dan distorsi
Salah satu bencana saat bersandar kepada hadis-hadis tertulis adalah kemungkinan adanya penyelinapan dan distorsi di dalamnya. Dengan memperoleh naskah-naskah yang tidak populer, sebagian orang yang bersifat oportunis dan cinta dunia, terutama yang senang mengkultuskan, memasukkan hadis-hadis dusta dan palsu ke dalamnya. Kemudian memberikannya kepada orang lain.
Dalam kitab Rijal Kesyi dan dengan nukilan dari Imam Shadiq as disebutkan:
“Janganlah kalian terima suatu ucapan (hadis) yang disandarkan kepada kami, kecuali bila sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah atau kalian menemukan sebuah bukti dari hadis-hadis kami sebelumnya. Karena Mughirah bin Sa’id, semoga Allah melaknatnya, menyelinapkan hadis-hadis dalam kitab-kitab sahabat ayahku yang tidak pernah diucapkan olehnya.”[3]
Di tempat lain juga dari beliau as disebutkan:
“Mughirah bin Sa’id telah sengaja berbohong atas nama ayahku. Ia mengambil kitab-kitab para muridnya yang bersembunyi di kalangan para sahabat ayahku. Sementara murid-muridnya mengambil kitab-kitab tersebut dari para sahabat ayahku dan menyerahkannya kepada Mughirah. Mughirah menyelinapkan (ajaran) kufr dan zindiq dan menyandarkannya kepada ayahku. Kemudian Mughirah menyerahkannya kepada murid-muridnya dan memerintahkan mereka untuk menyebarluaskan di tengah kaum Syiah. Setiapkali terdapat pengkultusan dalam kitab-kitab para sahabat ayahku, maka hal itu dari apa yang telah diselinapkan Mughirah dalam kitab-kitab mereka.”[4]
Jelas bahwa kemungkinan penyelinapan terjadi ketika penulisan tidak disertai dengan sima’ atau qiraah. Oleh karena itu, hal ini mungkin terjadi dalam kitab-kitab yang tidak penting dan populer. Bencana ini tidak menimpa kitab-kitab hadis Syiah yang terkenal, karena berbagai naskah dari kitab-kitab tersebut berada di tangan semua orang. Adanya satu riwayat dalam satu naskah menyebabkan ketidakpercayaan terhadap naskah tersebut.
- Pemaparan hadis
Keberadaan maksum disertai kecerdasan sebagian sahabat para imam dalam kajian dan evaluasi hadis dengan landasan Syiah membuka bab metode pemaparan hadis kepada para maksum dalam kultur hadis Syiah.
Dengan menyaksikan kekurangan dan heterogenitas dalam sebagian teks hadis, para perawi yang cerdas akan meragukan dan mengevaluasinya dengan cara menyodorkan kepada imam maksum sehingga dapat mengurangi atau menambah kepercayaan mereka terhadap teks. Dengan metode ini, disamping mengidentifikasi sebagian riwayat palsu, juga akan menampakkan sebagian kesalahan, distorsi, penukilan makna, taqthi’ dan bencana-bencana yang dimungkinkan timbul dalam teks-teks hadis.
Perawi dalam sebagian kasus juga memperoleh pemahaman yang lebih baik dari hadis sehingga membantu ijtihad dan istinbathnya sendiri dan orang lain. Pemaparan hadis kepada maksum merupakan metode umum sebagian perawi seperti Muhammad bin Muslim dan Yunus bin Abdurrahman.
Yunus bin Abdurrahman adalah seorang yang paling ketat terhadap teks-teks yang berbau pengkultusan. Yunus berkata:
Aku mendapati madrasah hadis Irak (Kufah). Aku menemukan segolongan sahabat Abu Ja’far (Imam Baqir as) dan banyak sahabat Abu Abdillah (Imam Shadiq as). Aku mendengar hadis dari mereka dan mengambil kitab-kitab mereka, lalu aku sodorkan kepada Abul Hasan, Imam Ridha as. Banyak di antara hadis tersebut yang tidak diakui oleh Imam Ridha sebagai hadis Imam Shadiq as.[5]
Metode pemaparan atau penyodoran hadis kepada imam termasuk metode yang aman dalam hadis-hadis Syiah. Hadis-hadis Ahlu Sunnah tidak memiliki kekhususan seperti ini, karena mereka tidak memiliki keyakinan terhadap kemaksuman para imam. Meskipun dalam budaya hadis Ahlu Sunnah juga terdapat pemaparan hadis kepada ulama, akan tetapi para ahli hadis dan ulama juga sama seperti individu lain umat manusia, tidak mengetahui keelokan dan poin-poin detail dari pengetahuan Ilahi. Mereka juga mudah terpengaruh lingkungan, selera, keturunan dan… (Bersambung)
Ringkasan Vizhegiha-ye Hadis-e Syieh (M. Kazem Taba’tabai)
[1] Lihat: Tadzkirah Al-Huffadh, Dzahabi, Halaman 3 dan 7.
[2] Muhaqqiq Hilli dan Syahid Awal berpandangan demikian; lihat: Al-Mu’tabar, Halaman 15; Adz-Dzikra, Halaman 6.
[3] Ikhtiyar Ma’rifah Ar-Rijal, Syeikh Thusi, Jilid 2, Halaman 489.
[4] Ibid, Halaman 491.
[5] Ikhtiyar Ma’rifah Ar-Rijal, Jilid 2, Halaman 489 – 490.