Ketika Cinta Bersemi di Bulan Maulid

cinta nabi
Dalam kalender Hijriah, bulan kelahiran Nabi saw disebut Rabi’ul Awwal. Dan rabi’ berarti musim semi dan awwal bermakna yang pertama. Jadi, Rabi’ul Awwal adalah musim semi yang pertama.
Musim semi adalah musim yang sangat ditunggu dan diharapkan. Musim semi sebagai pertanda kehidupan kembali dan kemakmuran serta kesejahteraan. Demikian juga bulan Maulid adalah bulan keberkahan, kelapangan dan kekayaan bagi banyak orang. Betapa tidak, begitu memasuki bulan agung ini, berapa banyak acara diadakan, mimbar ditegakkan, dan penceramah diundang ke sana ke sini. Bulan kelahiran Nabi saw membawa kebaikan dan kemudahan serta rezeki pada banyak orang. Kopiah, baju koko, mukenah dan pelbagai busana muslim lainnya dijajakan dan dipakai banyak dipakai. Pasar-pasar dadakan digelar. Pedagang-pedagang kaki lima meramaikan kegiatan maulid di pelbagai tempat, angkot-angkot pelbagai jurusan membawa jamaah maulid.
Di samping itu, dalam acara maulid berapa banyak berkat, tumpeng, aneka makanan dan minuman dihidangkan dan dibagikan. Berapa banyak kambing, sapi dan ayam yang disembelih dan dikorbankan untuk maulid nabawi. Ini semua contoh yang menunjukkan bahwa bulan maulid benar-benar menghidupkan kegiatan keagamaan dan sekaligus memutar roda ekonomi umat.
Barangkali sulit—kalau tidak kita katakan mustahil—ditemukan suatu ajaran, agama dan bahkan “isme”—apapun namanya—yang antara umat dan Nabinya memiliki hubungan semesra dan seindah seperti relasi yang terbangun antara Nabi Muhammad saw dan umatnya. Apa rahasia di balik ikatan emosional dan cinta luar biasa antara sang idola dan para penggemarnya ini? Mungkin rahasianya adalah karena para penggemar dan pengikutnya benar-benar memahami secara detail kehidupan dan biografi Nabi mereka. Setiap episode dan sisi penting sejarah yang menceritakan kehidupan Nabi saw tidak ada yang terpotong dan hilang yang tidak mereka ketahui. Begitu detail dan telitinya sejawaran Islam dalam menulis dan merekam jejak dan langkah Nabi saw sehingga sirah Nabi saw begitu jelas, lengkap dan orisinil. Maka, kejelasan, kelengkapan dan keaslian sejarah Nabi saw ini semakin menambah kecintaan umat dan memotivasi mereka untuk selangkah demi langkah berusaha meneladani Nabi mereka. Barangkali kelengkapan, kejelasan dan keaslian sejarah Nabi saw nyaris tidak ditemukan tandingannya dalam tokoh-tokoh lainnya yang dikagumi banyak orang.
Ya, sirah nabawiyyah merupakan khazanah dan perbendaharaan Islam yang luar biasa. Trac record Nabi saw itu begitu jelas karena sunah Nabi saw yang mencakup qaulan (ucapan), fi’lan (perbuatan) dan taqriran (ketetapan yang terwujud dalam diam dan persetujuannya) tercatat dan terhimpun secara rapi dan teliti di tangan perawi hadis dari kalangan sahabat-sahabat yang mulia—radhiyallah ‘anhum.
Oleh karena itu, semangat mencintai dan mengikuti Nabi saw begitu mengakar dan mengkristal di tengah umat Islam. Sehingga masing-masing kelompok mengklaim bahwa mereka lebih mengikuti dan mencintai Nabi saw. Dan datangnya bulan maulid semakin meneguhkan bahwa umat Islam benar-benar mengikuti dan mencintai Nabinya.
Dan sesuai penuturan ayat, النَّبِيُّ أَوْلى بِالْمُؤْمِنينَ مِنْ أَنْفُسِهِم
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri (QS.al Ahzab: 6), maka Nabi saw di mata orang mukmin begitu berharga dan mulia yang melebihi keberhargaan dan kemuliaan diri mereka. Sebagian ahli tafsir memaknai ayat tersebut seperti ini: Rasul saw memiliki hak tadbir (pengaturan) dan hak milk (kepemilikan) atas diri mereka. Artinya, Rasul saw berhak untuk melakukan apapun yang disukainya terhadap orang mukmin karena kepemilikan orang mukmin itu ada di tangannya. Ini tak ubahnya kepemilikan seseorang terhadap barangnya, sehingga ia bisa melakukan apa saja terhadap barang yang dimilikinya. Oleh karena itu, setiap panggilan dan ajakan yang datang dari Rasul saw harus didahulukan dan segera dipenuhi dan seseorang harus meninggalkan aktifitas dan kesibukan apapun yang sedang dikerjakannya.
Ada juga sebagian mufassirin yang memaknai ayat tersebut dengan penjelasan bahwa kata “aula” dalam ayat di atas berarti Nabi saw harus ditolong dan dicintai serta diutamakan.
Memperingati maulid Nabi saw bukan hanya tidak bid’ah bahkan sejatinya peringatan ini sebagai pertanda cinta. Sebab, bila kita mencintai seseorang—siapapun ia baik anak kita maupun tokoh yang kita idolakan—pasti kita akan mengenang, mengetahui dan mengapresiasi hari kelahirannya. Lagi pula, dalam Alquran diberitakan bahwa Nabi Isa mengenang dan mengabadikan hari kelahirannya dengan mengatakan:
وَ السَّلامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَ يَوْمَ أَمُوتُ وَ يَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. (QS. Maryam: 33).
Di samping itu, bila saja turunnya makanan dari langit yang didapatkan oleh Nabi Isa dan Hawariyyun dijadikan sebagai hari raya, so pasti kelahiran Baginda Rasul saw lebih layak untuk dikenang dan dijadikan hari agung dan hari raya bagi umat Islam. Sebab, kehormatan Nabi saw jauh melebihi hidangan yang Allah turunkan untuk Nabi Isa dan umatnya.
Cahaya Nabi Muhammad saw bersinar terang-benderang di bulan maulid dan menyinari nusantara. Jutaan umat Islam melampiaskan gelora emosi dan luapan cintanya untuk menyambut Nabi saw pembawa pesan perdamaian. Dan bulan maulid adalah bulan cinta. Di bulan inilah kenduri cinta dibagikan; dan di bulan ini ditekankan dari atas podium-podium bahwa Islam berasal dari as salam (kedamaian dan keselamatan) yang berarti menebarkan kasih sayang dan perdamaian kepada umat manusia.
Nabi saw diutus bukan untuk menghunuskan pedang dan menebar kebencian serta memperbanyak permusuhan, tapi beliau dilahirkan untuk menebar akhlak, memupuk persaudaraan, dan menyemikan cinta. Dan hakikat dan dasar agama Islam adalah cinta. Maka siapapun yang dalam hatinya sunyi dari cinta kepada sesama Muslim (mahabbah islamiyah) yang meyakini tiga pilar Islam (meyakini wujud Allah, meyakini Nabi Muhammad saw sebagai utusan terakhir dan dan meyakini hari kemudian) bahkan cinta kepada sesama manusia (mahabbah insaniah) maka kecintaannya kepada Nabi saw dan keislamannya patut dipertanyakan.
Syekh M. Ghazali
Pemerhati Sosial-Keagamaan