Klaim Umat Islam, Antara Menakar dan Merusak Pribadi Akhlak Nabi Saw
Bismillahirrahmanirrahim
“Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis, (berkat) nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”[1]
Surat ini—menurut Allamah Thabathaba’i dalam karya monumentalnya tafsir al-Mizan—menghibur Nabi Saw dan bersimpati kepada beliau atas tuduhan gila yang disematkan kepada beliau oleh orang-orang musyrik. Kemudian ayat ini menggembirakan jiwa Rasul Saw dengan janji indah dan mengajak beliau untuk bersyukur atas karunia dan nikmat Ilahi yang tak terhingga serta melarang keras beliau untuk tunduk dan merendah di hadapan kaum kafir tersebut dan sangat menekankan kepada beliau untuk bersabar sesuai dengan keputusan Allah Swt.[2]
Menurut Allamah Thabathaba’i, nikmat yang dimaksud dalam ayat tersebut sesuai dengan siyaq ayah (konteks ayat) adalah nubuwwah (kenabian). Maka, orang yang dipilih menjadi Nabi Saw tentu tidak mempunyai persoalan di otak dan akalnya alias gila karena ia senantiasa berada dalam hidayah Ilahiah. Demikian Thabathaba’i menjelaskan.
Berkaitan dengan ayat, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”, Sayed Thabathaba’i menafsirkan: adalah al-malakah an-nafsaniyyah (sifat jiwa yang melekat atau mendarah daging) yang dengan mudah muncul darinya pelbagai perbuatan dan ia terbagi dalam dua kategori, yaitu pertama, al-fadhilah (sifat yang baik) yang mencakup pelbagai perangai yang terpuji seperti ‘iffah (kehormatan diri) dan keberanian, dan kedua, ar-radhilah yakni sifat tercela seperti tamak/rakus dan pengecut. Dan kalau kata khuluq ini disebut secara umum maka ia berarti perangai yang baik.
Raghib Isfahani mengatakan: al-khalq dan khulq pada hakikatnya berasal dari satu sumber seperti asy-syarb dan asyurb (minum) namun kata al-khalq dikhususkan dengan penampilan dan bentuk serta rupa yang bisa dilihat dengan mata kepala, sedangkan al-khulq itu diidentikkan dengan pelbagai potensi dan perangai/tabiat yang bisa dicapai dengan basirah (mata hati).
Ayat di atas meskipun pada hakikatnya memuji kebagusan dan keluhuran akhlak Nabi Saw dan mengagungkannya namun bila kita amati konteksnya maka ia merujuk pada akhlak-akhlak sosialnya yang indah yang berkaitan dengan pergaulan sosial seperti keteguhannya dalam membela kebenaran dan kesabaran dalam menahan gangguan orang-orang serta kekasaran sikap mereka serta memaafkan kesalahan dan kedermawanan, juga kelembutan dan kasih sayang serta tawaduk dan lain sebagainya.
Pelajaran-Pelajaran yang Bisa Kita Ambil
Hari ini kita banyak kehilangan nilai-nilai luhur dari akhlak nabawi tersebut. Ibarat seorang yang mengklaim bahwa si A sebagai ayah biologisnya namun tidak ada tanda-tanda fisik dan lahiriah sedikitpun yang menyerupainya. Misalnya, ayahnya berkulit putih dan berhidung mancung serta berambut lurus tapi seseorang yang mengklaim sebagai anaknya justru berkulit hitam, pesek dan berambut keriting. Tentu untuk membuktikan klaim ini barangkali perlu dilakukan tes DNA supaya terbukti bahwa anak tersebut benar-benar anak si A atau justru anak si B.
Ya, Rasulullah Saw ibarat ayah bagi umat Islam. Persoalannya adalah apakah dalam DNA kita ada mahabbah nabawiyyah (kasih sayang nabawi), ‘iffah nabawiyyah (kehormatan diri nabawi), shabr nabawi (kesabaran nabawi), tawadu’nabawi (tawaduk dan rendah hati nabawi), rifq nabawi (kelembutan nabawi)?
Ternyata antara kita sebagai anak dan orangtua kita jauh sekali perbedaannya bak jarak antara langit dan sumur. Sang ayah ke mana-mana dan di mana-mana berbicara tentang ajaran kasih sayang tapi sang anak durhaka jusru mengkampanyekan dan menyampaikan ujaran kebencian, fitnah dan arogansi. Sang ayah ketika memasuki Madinah Al-Munawwarah dan salah satu yang pertama kali dilakukannya adalah mempersaudarakan sahabat Muhajirin dan Anshar—radhiyallah ‘anhum, tapi sang anak ketika memasuki di suatu kota ia malah “buang kotoran dan najis serta mencerai beraikan umat dengan melempar isu-isu khilafiyyah yang tidak proporsional dan membagi-bagi umat dalam kotak-kotak kelompok-kelompok fanatik. Sang anak durhaka ini seolah-olah tidak senang kalau antara pelbagai kelompok Islam bersaudara dan bekerjasama, apapun mazhab dan alirannya selama masih bertauhid, memiliki Al-Quran yang sama, kiblat yang sama dan tentu ayah ideologis yang sama yaitu Kanjeng Nabi Saw.
Citra akhlak sosial Rasulullah Saw begitu mulia dan luar biasa. Dan beliau sebagai uswah hasanah bagi umat Islam. Beliau tidak hanya saleh secara individual—sebagaimana dikisahkan oleh Siti Aisyah bahwa saking kerasnya dalam beribadah hingga badan beliau lemah dan kaki beliau bengkak, dan itu beliau lakukan karena beliau ingin menjadi hamba yang bersyukur—tapi beliau juga saleh di kehidupan sosial. Dan kesalahen sosial ini sangat penting sekali. Inilah intisari ajaran Islam. Ibadah individual Islam justru mengorbitkan insan yang saleh secora sosial. Hal ini berbanding terbalik dengan sebagian orang mengklaim sebagai umatnya Kanjeng Nabi Saw tapi nihil dari akhlak agung beliau. Betapa tidak, bagaimana mengklaim sebagai umat Nabi Saw tapi saling curiga terhadap sesama Muslim; menganggap hanya dia dan kelompoknya yang berhak masuk surga; hanya dia dan kelompoknya yang paling bertauhid; hanya dia dan kelompoknya yang paling selamat dan hebat?
Aneh bin nyata, Nabi Saw berdakwah untuk memasukkan banyak orang ke surga tapi sebagian orang berdakwah untuk mengeluarkan orang dari surga, padahal Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan “laila ha illallah” maka ia pasti masuk surga.”
Sumber:
[1] QS. Al-Qolam: 1-4
[2] Allamah Thabathaba’i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jilid 19, hal. 367, terbitan Jami’ah Mudarrisin,Qom, 1417 H.