Tafsir Teologis dalam Perbincangan (Bagian Pertama)
- Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan kitab yang paling komprehensif dan mengagumkan dan merupakan mukjizat terbesar sepanjang sejarah yang tidak ada satu pun, dari sejak zaman diciptakannya dunia sampai sekarang, yang mampu menandinginya. Di satu sisi, al-Qur’an menyingung hakikat-hakikat alam gaib, dan di sisi lain, ia mengisyaratkan hukum-hukum ibadah dan praktik secara singkat.
Meskipun seluruh ahli tafsir dan para teolog muslim menganggap al-Qur’an sebagai kalam Ilahi dan mukjizat, dan mereka semua bersepakat perihal tidak terjadinya tahrif atau distorsi di dalamnya dan mereka menganggap al-Qur’an sebagai satu-satunya faktor pemersatu di antara kaum Muslimin, tetapi dalam tafsir dan penjelasan ayat-ayatnya mereka tentu saja tidak memiliki satu pendapat tetapi mereka berbeda pendapat. Sehingga dapat diklaim bahwa salah satu penyebab utama perbedaan-perbedaan tafsir adalah adanya perbedaan/perselisihan kalam di antara para mufassir.
- Pembahasan
Secara lughawi, kalam bermakna “berbicara”. Makna yang lain adalah “perkataan”. Kaum Muslimin, untuk menjaga agama dan akidah serta hukum-hukum Islam, mereka memperhatikan masalah-masalah ushul dan furu’ agama, dan menetapkan ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan serta membuka bab istidlal dan istinbath.
Dalam pelbagai masalah ilmiah, disusunlah ilmu fiqih, sedangkan sesuatu yang menyangkut ushul-ushul akidah, dinamakan dengan fiqih akbar. Sebagian para pemikir menamakan sekelompok dari hukum-hukum agama yang terkait dengan ‘amal sebagai ‘fiqih’, sedangkan yang berhubungan dengan keyakinan-keyakinan, mereka namakan dengan ‘ilmu tauhid dan sifat’. Tentu saja penamaan ini termasuk dalam bab tasmiyah kul bil asyhar wa asyraf ajza’ihi.
Tahanawi dalam kitab “Kasyaf Isthilahat al-Funun mengatakan: ”Ilmu Kalam yang juga dinamakan ushul din dan Abu Hanifah menamakannya Fiqh Akbar adalah ‘ilm nazhar wa istidlal dan juga dinamakan ilmu tauhid dan shifat.”
Ibn Khaldun dalam “Muqaddimah” mendefenisikan ilmu kalam sebagai berikut: “Kalam adalah ilmu yang mengukuhkan akidah keimanan dan keagamaan melalui dalil-dalil rasional serta menolak dalil sekelompok kaum salaf yang salah dalam memahami akidahnya.”
Muthahari menguraikan ilmu kalam seperti ini: ”Salah satu ilmu islami adalah ilmu kalam. Ilmu kalam adalah ilmu yang membahas seputar akidah Islam, yakni sesuatu yang menurut Islam harus diyakini dan diimani. Metodenya adalah seseorang menjelaskanya, menyampaikan argumentasi atasnya dan berusaha membelanya.”
Dapat dikatakan bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang berusaha untuk menetapkan dan mengukuhkan akidah-akidah Islam dengan memanfaatkan argumentasi-argumentasi rasional.
- Hubungan Tafsir Al-Qur’an dan Ilmu Kalam
Al-Qur’an al-Karim di bidang dakwah pada tauhid, ia mengusulkan tiga metode, yaitu: Metode hikmah/burhan, metode mauizhah yang bagus dan metode jidal ahsan.
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Nahl: 125).
Dikarenakan para pendengar dakwah itu tingkatannya dari sisi pemikiran dan semangat berbeda-beda dan memiliki tujuan dan sikap yang berbeda-beda pula di hadapan para penyeru tauhid, maka para pendakwah diharuskan memahami pelbagai metode dakwah, dan pada setiap kesempatan terdapat metode yang sesuai dengannya yang dapat mereka manfaatkan, dan metode-metode yang paling penting telah diisyaratkan dalam ayat tersebut.
Hikmah ditafsirkan dengan menerima kebenaran berdasarkan ilmu dan pemikiran, dan mau’izhah adalah mengingatkan persoalan-persoalan yang dianggap sesuai yang diterima oleh hati. Sedangkan jidal adalah dialog karena adanya munaza’ah dan berusaha mengalahkan musuh.
Dengan kita renungkan makna-makna tersebut, maka menjadi jelaslah bahwa hikmah adalah sebuah dalil yang sangat kokoh dan tidak diragukan serta jauh dari kesamaran. Sedangkan mau’izhah adalah pembicaraan-pembicaraan yang mengandung unsur nasihat yang mencakup maslahat-maslahat serta madharat-madharat pendengar yang menyebabkan lembutnya jiwa dan hatinya. Sedangkan jidal adalah sebuah dalil yang tujuan penggunaannya adalah bukan untuk kebenaran, tetapi maksudnya untuk mengalahkan kompetitor dalam pembahasan dan dialog. Dan untuk mencapai tujuan ini, maka digunakanlah masalah-masalah yang diterima secara umum oleh masyarakat atau diterima oleh musuh.
- Manifestasi Hubungan Al-Qur’an dengan Pelbagai Keyakinan
- Al-Qur’an dan Makrifat-Makrifat I’tiqadi
Karena al-Qur’an al-Karim adalah sumber asli seluruh hakikat-hakikat dan makrifat Islam, oleh karena itu ia mengungkapkan pelbagai persoalan akidah dan kebutuhan-kebutuhan agama manusia dengan kalimat yang paling fasih dan penjelasan yang paling kokoh. Dalam hal ini, ia mengatakan, “Dan Kami turunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS. Al-Nahl: 89).
Dari ayat seperti ini dan ayat-ayat semisalnya, dapat dipahami bahwa al-Qur’an al-Karim, berusaha untuk menjelaskan dasar-dasar akidah dan memberikan perhatian untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ilmiah dan amaliah manusia di bidang akidah. Dan salah satu keistimewaaan dan karakter al-Qur’an adalah menggambarkan dan menjelaskan keyakinan-keyakinan agama manusia. Sebab, meskipun al-Qur’an telah membahas secara jelas dan nyata dalam seluruh bidang-bidang keyakinan seperti tauhid, nubuwwah, dan ma’ad serta makrifat-makrifat yang terkait dengan pelbagai bidang tersebut, namun al-Qur’an berupaya supaya masing-masing dari akidah dan keyakinan-keyakinan agama itu dikemukakannya berdasarkan poros tauhid yang merupakan dasar seluruh akidah dan keyakinan.
Kriteria lain al-Qur’an al-Karim dalam hubungan dengan masalah-masalah kalami dan i’tiqadi adalah, ia menginginkan supaya manusia merujuk kepada fitrahnya dan menerima kebenaran. Dengan kata lain bahwa hendaklah mereka sendiri tanpa ada syarat apa pun untuk mempersiapkan diri menerima kebenaran. Dan apa pun yang mereka lihat sebagai kebenaran dan membawa kebaikan dan manfaat dunia dan akhirat mereka di dalamnya, hendaklah mereka menerimanya tanpa terpengaruh oleh was-was setan dan ajakan hawa nafsu. Setelah itu hendaklah mereka menonjolkan makrifat-makrifat Islam. Dan bila mereka melihat kebenaran, dan adanya maslahat serta kesejahteraan yang sebenarnya bagi mereka dalam menerimanya dan menerapkannya, maka mereka harus tunduk kepada kebenaran itu.
Bersambung….