Konsepsi dan Sumber Pokoknya dalam kitab Falsafatuna
Oleh : Fardiana Fikria Qur’any
Secara faktual kita sadari bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk yang berpengetahuan. Untuk membuktikan apakah kita berpengetahuan kita tak perlu repot pergi ke sebuah laboratorium atau tes otak ke dokter saraf, cukup rasakan dan nikmati bagaimana pikiran kita sedang berputar-putar menggambarkan sesuatu pada dirinya. Terlebih saat kita merasakan berat memikirkan sesuatu, hutang, kredit, bayaran SPP, atau kita sedang membayangkan rumah kita, dimana saat ini kita sedang merantau atau pikiran-pikiran lainnya, itulah bukti sederhana bahwa kita adalah makhluk berpengetahuan.
Dahulu kala, ada seorang filosof Yunani bernama Pyrho dan Giorgias yang mencoba menihilkan atau memustahilkan manusia untuk menerima pengetahuan. Dikatakan bahwa “manusia tak mungkin memiliki pengetahuan” dan atau “kalaupun memiliki pengetahuan pasti pengetahuan tersebut salah” karena dia menganggap alat kita mengetahui yakni indera sering menipu kita. Seperti kita lihat sebuah kayu di air yang terlihat bengkok, atau bulan yang terlihat kecil, dan contoh-contoh serupa.
Statemen tersebut cukup mudah untuk dibantah, kita bisa bertanya apakah proposisi “manusia tak mungkin memiliki pengetahuan” adalah sebuah pengetahuan atau bukan? Sementara untuk statemen yang kedua, jika kita sadar bahwa pengetahuan berdasar indera kita adalah tidak benar sehingga tak ada kebenaran dalam pengetahuan manusia, apakah kesadaran tersebut adalah sebuah kebenaran. Dalam bahasa lain, pernyataan bahwa “pengetahuan manusia pasti salah karena indera sering menipu” apakah juga sebuah kesalahan?
Setidaknya narasi di atas membuktikan bahwa manusia adalah makhluk berpengetahuan. Semakin kita menolaknya semakin membuktikan bahwa kita berpengetahuan.
Akan halnya fakta tersebut, Baqir Sadr memulai dengan sebuah pertanyaan, apakah yang menjadi sumber pengetahuan pada diri manusia? Dan problem sumber utama pengetahuan ini cukup penting dibahas karena ia menjadi landasan paradigmatik (doktrin) bagaimana sebuah kebenaran nantinya disandarkan (dilegitimasikan).
Untuk itu, Baqir Sadr memulai pembahasan pengetahuan dari dua kategori yang umumnya dipelajari dalam logika. dua, yakni 1). Pengetahuan Sederhana atau disebut “konsepsi” atau “tashawwur”, dan 2). Pengetahuan Penilaian atau disebut “Tashdik”, yakni pengetahuan yang memberikan penilaian.
Pengetahuan konsepsi adalah pengetahuan yang bersifat tunggal atau sederhana dan majemuk. Seperti pengetahuan/gambaran kita dari apa yang kita lihat, dengar, cium dan raba — (inderawi). Seperti pohon, laut, tembok, batu dan lainnya. Juga pengetahuan yang hadir dalam diri kita sendiri, seperti pengetahuan akan rasa takut, cemas, galau, sakit yang kita alami. Yang tak memiliki obyek (inderawi) di realitas.
Tegasnya, sebuah pengetahuan persis sebagaimana kita menangkapnya dari alam dan diri kita.
Karena ia bersifat sederhana/tunggal dalam pengetahuan kita, maka ia tak berindikasi penilaian apa-apa. Atau pikiran kita menerima “begitu adanya sebagaimana ia tergambar”.
Oleh karenanya pula pengetahuan model ini bersifat SUBYEKTIF. Setiap individu memahaminya dalam pikirannya (gambaran) masing-masing.
Sementara pengetahuan model ke-2, yakni Tashdik, sebuah pengetahuan yang berkomposisi berupa proposisi, setidaknya terdiri dari subyek dan predikat. Seperti “gula ini manis” di mana gula sebagai subyek dan manis sebagai predikatnya. Dengan adanya subyek dan predikat ini maka menuntut untuk ditetapkan benar dan tidaknya. Demikian pengetahuan proposisional ini disebut sebagai pengetahuan tashdiki karena mengandung unsur penilaian sehingga ia bernilai OBYEKTIF.
Perbedaan antara pengetahuan model tashawwur (Konsepsi) dan tashdik (afirmasi/asersi) adalah jika Tashawwur arah fokus pembicaraan kita adalah pada pengetahuan dalam benak kita (sebuah gambaran yang hadir). Sementara pada Tashdik, arah fokus pembicaraan pada realitas yang dimaksud oleh tashawwur tersebut. Misal sederhananya, jika dalam benak kita terdapat “gambaran” tentang kopi, maka itulah tashawwur, namun kopi yang ada di pikiran kita bukanlah realitas kopi, yang realitas adalah sesuatu yang kita minum sambil ngobrol2 bersama kawan2 kita di cafe, yang kita sebut itu “k-o-p-i”.
Soal Tashawwur dan Tashdik ini sungguh penting. Karena dunia yang berlangsung saat ini dengan melesatnya perkembangan teknologi informasi di satu sisi dan maraknya emosionalitas dalam berkeyakinan di sisi yang lain sering menghadirkan kekeruhan situasi sosial kita. Seseorang misalnya tanpa bekal pengetahuan dan informasi yang cukup begitu membaca informasi mengenai ajaran atau pemikiran satu atau sekelompok orang dari Facebook, Youtube atau chat Wa-nya begitu mudah menghukumi sesat, kafir, bid’ah secara tiba-tiba.
Kadangkala pula kita sering terlibat dalam satu perdebatan, menilai dan menghukumi sesuatu apakah benar dan salah tanpa terlebih dahulu mempertanyakan apakah kita sudah memiliki konsep yang memadai atas apa yang kita nilai?
Misal ada sekelompok orang berkata bahwa demokrasi itu sistem yang buruk, demikian ia mengatakan seperti itu karena sering ia melihat terdapat ricuhnya masyarakat kala Pemilu berlangsung, konflik politik antar elit yang sering berimbas pada tataran grassroot, dan elit-elit penguasa yang tak jera-jera mengkorup uang rakyat. Namun di sisi lain ada yang mengatakan demokrasi itu adalah sistem terbaik karena ia adalah sebuah bentuk kekuasaan yang dihasilkan oleh konsesnsus kesepakatan rakyat.
Terlihat kedua pandangan tersebut berbeda dalam penilaiannya. Keduanya memiliki Tashdik (penilaian) yang berbeda karena masing-masing mengambil tashawwur yang berbeda pula. Pertanyaannya apakah keduanya layak diperdebatkan bila garis konsepsi awalnya telah beda. yang satu melihat demokrasi dari segi praktik yang disebut praktik demokrasi: Pemilu, lembaga negara dan lainnya. sementara yang lain melihat demokrasi dari segi konsep definitifnya yakni Pemerintahan (kratos) dari rakyat (Demos).
Demikianlah perbedaan tashawwur/konsepsi dapat menyebabkan perbedaan cara menilai. Nah tashawwur tersebut dapat dinilai benar dan tidaknya bilamana diselaraskan dengan sumbernya.
Kembali pada soal utama kita. Apakah/darimakah sumber utama pengetahuan? Demikian Baqir Sadr mempertanyakan awalan analisanya.
Bersambung