Kritik Disertasi “Kesatuan Mistis Dalam Filsafat Illuminasi”(Bagian III)

filsafat illuminasi
Menurut hemat penulis, insan kâmil yang dalam kajian tasawuf dan ‘irfân memiliki posisi yang strategis adalah manusia seutuhnya yang dalam dirinya telah memanifestasi asma al-‘Alîm-al-Khabîr, sehingga pelbagai aspek dan pengetahuan Islam tersebut sangat mungkin dikuasainya secara mendalam dan menyeluruh. Lagi pula, bila seseorang mustahil mengetahui semua aspek pengetahuan Islam, apa gunanya komprehensifitas ajaran Islam. Dan bila tidak ada orang yang mampu memahami ajaran Islam secara komprehensif, maka mau tidak mau ajaran Islam tidak akan pernah dipahami dan diterima secara utuh dan mendalam.
Ketiga, pada paragraf keempat dalam latar belakang, Ahmad Asmuni menyatakan bahwa peradaban Islam—setelah mengalami puncak kejayaan—mulai menurun di akhir abad kesebelas. Sebagian beranggapan bahwa salah satu yang menyebabkan kemunduran tersebut adalah serangan telak yang dilakukan oleh al-Ghazali terhadap pemikiran filosofis. Meskipun peneliti tidak menunjukkan persetujuan penuh terhadap anggapan ini dan pemikiran Islam, utamanya filsafat bangkit lagi setelah pembelaan yang dilakukan oleh Ibn Rusyd melalui kitabnya “Tahâfut at-Tahâfut” yang menyerang balik al-Ghazali, mestinya—menurut hemat penulis—ditegaskan bahwa serangan al-Ghazali tersebut tidak terlalu signifikan dalam menahan laju filsafat, apalagi dianggap mematikannya. Sampai hari ini filsafat bukan hanya tidak mati bahkan semakin berkembang dan menyempurna, terutama di negeri kelahiran al-Ghazali sendiri, Iran. Di samping itu, yang menyerang filsafat bukan hanya Imam Ghazali (450-505 H) bahkan sebelumnya banyak dari kalangan mutakallimîn, seperti Abu al-Hasan Asy’ari (260-324 H), Juwaini (419-478), Baqilani (W. 403) dan sesudahnya pun tidak sedikit yang juga menghujat filsafat, seperti Abdul Karim Syahrestani (468-549), Ibn Taimiyah (661-728 H). Meskipun semua sepakat bahwa serangan yang dilakukan al-Ghazali termasuk yang paling populer dan “menggerikan” melalui dua kitabnya yang kesohor, yaitu “Tahâfut al-Falâsifah” dan “al-Munqidh min al-Dhalâl”.
Al-Ghazali mengkafirkan para filosof karena mereka meyakini tiga akidah (bagaimana ilmu Allah terhadap parsialitas alam, masalah yang terkait dengan eskatologi dan perihal qidâm (kedahuluaan) alam dan karena tujuh belas masalah lain lalu al-Ghazali menganggap mereka sebagai ahli bid’ah.
Dr. Dhiya’i meyakini bahwa Suhrawardi mengetahui pelbagai karya mutakallimîn yang menentang filsafat, khususnya kitab Tahâfut al-Falâsifah, karya Imam Ghazali, bahkan sebagian istilah-istilah Ghazali, khususnya dalam Misykât al-Anwâr justru digunakannya—dengan sedikit perubahan—dalam hikmah al-Isyrâq.[1] Dan perlu dicatat juga bahwa Suhrawardi sendiri melakukan kritik terhadap filsafat, tepatnya filsafat Ibn Sina dan filsafat Masyâ’i (Peripatetik).
- Pokok Permasalahan
- Identifikasi Masalah
Sesuai dengan judulnya, “Kesatuan Mistis dalam Filsafat Illuminasi”, maka permasalahan yang dikemukakan dalam disertasi ini adalah landasan ontologis kesatuan mistis serta bagaimana formulasi dan hierarki kesatuan mistis dalam filsafat illuminasi.
- Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembatasan masalah yang dikaji adalah seputar konsep kesatuan mistis dan landasan ontologisnya, jenjang kesatuan mistis, dan fase-fase yang ditempuh dalam pengalaman uniter.
Dari pembatasan masalah tersebut, maka masalah pokok dalam disertasi ini ialah bagaimana menjelaskan dan menganalisa konsep kesatuan mistis dan landasan ontologisnya, jenjang kesatuan mistis, dan fase-fase yang ditempuh dalam pengalaman uniter menurut Syihab ad-Din Yahya al-Suhrawardi?
Dari pokok permasalahan tersebut dikembangkan beberapa sub permasalahan sebagai berikut:
- Bagaimana pendakian mencapai kesatuan mistis menurut Suhrawardi?
- Bagaimana hakikat kesatuan mistis tersebut dipahami secara ontologis?
Critical Review
Pertama, jika dilihat dari pokok masalah pada disertasi ini, sebenarnya penelitian ini menggunakan metode Hermeneutik ‘irfâni atau penafsiran sufistik. Sebab, filsafat illuminasi yang menekankan tahdzîb nafs sangat bersesuaian dengan penafsiran ‘irfâni atau tasawuf.
Kedua, menurut hemat penulis kajian disertasi ini akan menjadi lengkap dan menarik bila dilakukan dengan pendekatan secara komparatif, terutama saat membahas konsep ittihâd, hulȗl, wahdah al-wujȗd, dan wahdah al-syuhȗd menurut Suhrawardi yang memakili mazhab Filsafat Isyrâq, Ibn Sina yang menjadi utusan mazhab Filsafat Peripatetik dan Mulla Shadra yang merepresentasikan mazhab Filsafat Hikmah al-Muta’âliyah.
Namun karena peneliti tidak melakukan komparasi tersebut maka tidak tampak kekurangan dan kelebihan Filsafat Isyraq dibandingkan Filsafat Peripatetik dan Filsafat Hikmah al-Muta’âliyah.
- Tinjauan Kepustakaan
Critical Review
Literatur yang dipakai oleh Ahmad Asmuni untuk mendukung disertasi ini terbilang cukup, namun seperti yang telah diungkap sebelumnya, kekurangan Ahmad Asmuni dalam disertasi ini adalah, tidak adanya referensi dalam bahasa Persia, yang notabene adalah bahasa Ibu Suhrawardi. Padahal, literatur bahasa Persia itu sangat penting karena banyak syarah dan gagasan/pemikiran filsafat Isyrâq ditulis dalam bahasa Persia. Hal ini tentu saja merupakan suatu kelemahan mendasar, karena selayaknya sebuah karya ilmiah dengan kategori disertasi, menuntut penulisnya mengambil rujukan dan literatur yang muktabar dan mumpuni dalam bahasa Persia.
Dan pada halaman 13 terdapat kesalahan dalam menyebut nama kitab Suhrawardi. Di halaman tersebut tertulis nama kitab “Safir-i Simurgh”. Penulisan nama kitab ini salah dan yang benar adalah Shafîr-i Simurgh.
Dan di antara kitab dan karya Suhrawardi yang ditulis dalam bahasa Persia ialah: Shafiî-i Simurgh, ‘Aql Surkh, Owoze Per Jabrâil, Ruzi Bo Jamâ’ati Shufiyyon, Portu Nomeh, Yazdon Syenokht-i.
[1] Sayed Muhammad Ali Debaji, Hekmat va Falsafeh (Wisdom and Philosophy) Vol. 4, No. 4, February 2009, , Teheran, Iran, hal.119.