Kronologi Penamaan Kalam
Setiap ilmu punya catatan tersendiri yang khas dan unik. Seperti juga disiplin ilmu lain, ilmu Kalam pada mulanya hanyalah pemikiran dan pandangan yang berserakan dari berbagai pakar dan ahli terkait isu-isu keimanan agama. Namun, seiring dengan perkembangan ilmu lain, interaksi dengan budaya dan peradaban asing, dan desakan untuk menata masalah yang diperbincangkan, para bapak Kalam menghimpun pemikiran dan pandangan yang berserakan itu ke dalam satu ‘rumah’ ilmu yang menyusun masalah-masalahnya dan, didukung matodologi serta epistemologi, menempatkannya dalam pendaftaran dan urutan yang logis, lalu mereka meletakkan papan nama di atas dinding rumah ilmu ini dengan ilmu Kalam. Namun, bagaimana proses peletakan nama itu sendiri, mari kita ikuti!
Kemunculan Istilah Teknis
Kalam berasal dari bahasa Arab yang, secara harfiah, berarti perkataan atau pembicaraan. Sepanjang telaah atas hadis dan riwayat dapat disimpulkan bahwa di paruh pertama dari abad kedua Hijriah, istilah teknis ‘kalam’ dan ‘mutakallim’ sudah muncul dan populer. Berikut ini beberapa contohnya:
- Ibn Abi Al-‘Awja’ menjumpai Imam Ja’far Al-Shadiq a.s. (83-148 H) dan mengatakan, “Apakah engkau mengijinkan aku membahas kalam?” Imam menjawab, “Berkalamlah apa yang kamu inginkan!”. Kalam yang dimaksud dalam percakapan Imam Al-Shadiq a.s. dengan Ibn Abi Al-‘Awja’ adalah pengertian teknis, mengingat percakapan mereka berkaitan dengan tema-tema akidah.
- Seorang uskup agung Nasrani bernama Buraihah beserta serombongan ruhaniawan Nasrani datang menemui Hisyam ibn Hakam. Buraihah berkata kepadanya, “Aku sudah berdebat dengan semua orang Islam yang terkenal keilmuan dan ‘kalam’ mereka tentang ajaran-ajaran Nasrani, akan tetapi aku tidak menemukan satu kebenaran pun pada diri mereka. Sekarang aku datang kepadamu untuk berdebat.” Dari perkataan uskup ini jelas maksud ‘kalam’ di dalamnya adalah istilah teknis. Ini dikuatkan dengan ungkapan debat dan perdebatan yang merupakan salah satu aspek dominan ilmu Kalam.
- Ibn Abi Al-‘Awja’ pernah hadir dalam kuliah Imam Ja’far Al-Shadiq a.s., namun ia hanya duduk dan diam. Imam menyapanya, “Kenapa kamu diam?” Ia menjawab, “Keagungan pribadimu telah menahanku dari ber-‘kalam’.” Ia melanjutkan, “Aku telah menjumpai para ulama dan berdebat dengan mereka, namun aku tidak pernah dirasuki kewibawaan seperti yang kualami sekarang ini dari kewibawaanmu.”
Semua riwayat di atas dan riwayat-riwayat lainnya menjelaskan sejarah ilmu kalam dalam pengertian teknisnya sebagaimana yang dikenal sekarang. Ini juga sekaligus membantah kesimpulan Sahrustani yang menyatakan bahwa sejarah ilmu Kalam jatuh bekalangan hampir setengah abad sebelumnya, terhitung sejak periode setelah penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, yakni masa dinasti Makmun (w.218 H).
Latar Bekalang Penamaan
Ada banyak alasan dan sebab mengapa ilmu Kalam dinamai dengan nama ‘kalam’. Berikut ini uraian singkatnya:
Satu: Masalah Kebaruan dan Kekadiman Kalam Allah
Bagi sejumlah kalangan, karena salah satu masalah paling kontroversial dalam ilmu ini adalah kebaruan dan kekadiman kalam (perkataan) Tuhan hingga menyebabkan konflik dan berbagai peristiwa memilukan, maka ilmu ini menjadi polpuler dengan istilah ‘kalam’ (perkataan). Ini salah satu dari dua sebab yang dikemukakan Sahrustani dalam menganalisis latar belakang penamaan ilmu Kalam (6).
Addhid Al-Din Iyji dalam Al-Mawaqif dan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya, demikian pula Taftazani dalam Syarh Al-Maqashid menyebutkan sebab di atas ini.
Sebagian sarjana meragukan sebab tersebut dengan argumentasi: pembahasan dan perdebatan seputar masalah kebaruan dan kekadiman Tuhan atau al-Quran di masa kekuasaan dinasti Abbasiyah, khususnya di era Makmun, padahal telah dicatat sebelumnya telah dicatat bahwa istilah Kalam telah dikenal luas jauh sebelumnya.
Namun perlu juga ditegaskan bahwa dari riwayat-riwayat yang terkait dengan masalah kebaruan dan kekadiman Al-Quran dapat disimpulkan bahwa masalah ini sesungguhnya sudah dibahas di masa Imam Ja’far al-Shadiq a.s. dan diperdebatkan oleh murid-murid beliau. Ini sebagaimana Abdurrahman Qaishar dalam sebuah suratnya kepada Imam Al-Shadiq a.s. dan meminta dari beliau agar menyatakan pandangannya berkenaan dengan sejumlah masalah yang berkembang pada masa itu, termasuk masalah kebaruan dan kekadiman Al-Quran.
Memang, masalah penamaan ini berbau politis di akhir masa kekuasaan Makmun dan kian kompleks dan genting sampai akhir kekuasaan Muktashim. Karena dua khalifah Abbasiyah ini pendukung kebaruan Al-Quran, mereka memperlakukan kasar semua pihak yang percaya pada kekadiman kitab suci ini; mereka tak segan-segan bahkan menyiksa dan membunuh sehingga masa itu dicatat oleh sejarah sebagai era petaka (mihnah). Dan jelas sekali, rangkaian peristiwa ini terjadi pada abad ketiga Hijriah, sementara istilah teknis kalam sudah muncul sejak pertengahan abad kedua.
Kedua: Persaingan dengan Kalangan Filosof
Sebab lain penamaan ilmu Kalam ini ialah upaya kalangan mutakallim bersaing dengan para filosof sehingga mereka menamai ilmu yang digagasnya dengan nama Kalam. Dengan cara ini mereka mengira sudah tidak perlu lagi pada ilmu mantiq (logika), karena kata ‘kalam’ sendiri sudah sinonim dengan mantiq (bicara). Penjelasan ini dikemukakan oleh Sahrustani dan Adhud Al-Din Al-Iyji.
Tampaknya, sebab ini juga tidak begitu tepat, karena hal itu berarti bahwa istilah teknis ‘kalam’ diletakkan setelah penerjemahan dan pencetakan karya-karya filsafat di tengah umat Islam, dan ini telah terbantahkan oleh uraian di muka. Selain itu, ilmu mantiq adalah ilmu yang berfungsi menjelaskan pola-pola pembuktian dan pembahasan serta perdebatan, padahal misi utama ilmu Kalam ialah membuktikan ajaran-ajaran keimanan agama dan menjawab kritik dan isu keimanan, sehingga ilmu Kalam tidak harus bertumpu hanya pada satu pola pembuktian tertentu. Dengan kata lain, ilmu mantiq bukan milik khusus filsafat, tetapi sebuah alat teoretis yang melayani berbagai bidang ilmu pengetahuan manusia, termasuk ilmu Kalam.
Ketiga: Nama-nama Bab
Kebiasaan kaum mutakallim dalam membahas tema-tema ilmu kalam ialah memulai pembahasan mereka dengan mengatakan atau menuliskan, “Al-Kalām fī kadzā …”, yakni pembahasan tentang …., sehingga ilmu ini dinamai dengan kalam. Penjelasan ini juga dikemukakan oleh Adhud Al-Din Al-Iyji dan Taftazani. Hanya saja, mereka tidak membawakan dalil penguat atas penjelasan ini.
Keempat: Kekuatan Dalil
Taftazani membawakan penjelasan lain, yaitu bahwa dalil-dalil dalam ilmu Kalam mempunyai kekuatan yang sangat unik sehingga kekuatan ini menjadi dasar bagi kekuatan berbicara. Oleh karena itu, ilmu kalam dinamai ‘kalam’ karena kekuatan dalil dan argumentasinya.
Sebab penamaan ini tampak terlalu berlebihan yang melebih-lebihkan ilmu Kalam, sebab dalil yang kuat dan yang terkuat hanyalah demontrasi, sementara ilmu kalam tidak selalunya menggunakan demonstrasi, di samping juga demonstrasi tidak hanya berlaku dalam ilmu Kalam.
Kelima: Kemampuan Berdebat dalam Masalah Keimanan Agama
Penguasaan atas ilmu Kalam akan membantu seseorang lebih mudah dalam berdebat membela an membuktikan kebenaran ajaran dan keimanan agama. Jelas bahwa perdebatan tidak lain dari dialog dan pembicaraan dan, oleh karena itu, ilmu ini dikenal luas dengan ilmu kalam, yakni ilmu pembicaraan. Penjelasan ini dikemukakan oleh Adhud Al-Din Al-Iyji dan diapresiasi oleh Ibn Khaldun.
Seperti ini alasan yang oaling relevan dibanding yang lainnya, karena sesuai dengan realitas sejarah ilmu Kalam dimana perdebatan dengan lawan keimanan agama berperan penting bagi seorang mutakallim, selain juga sesuai dengan sejarah kemunculannya sebegaimana disebutkan di muka.
Nama-nama Lain
Selain ‘kalam’, ada nama-nama lain yang mempopulerkan ilmu ini, di antaranya:
Satu: ilmu ushuluddin. Ini disebutkan oleh Kwajeh Nashiruddin Thusi dalam Naqd Al-Muhashshal dan Ibn Maytsam dalam Qawā’id Al-Marām.
Kedua: Fiqih Akbar. Nama ini dikemukakan oleh Taftazani sebagai lawan dari fiqih, yaitu ilmu hukum-hukum syar’i.
Ketiga: ilmu tauhid dan sifat. Nama ini juga dikemukakan oleh Taftazani.
Keempat: ilmu Ushul al-‘Aqa’id (Prinsip-prinsip keyakinan).
Kelima: ilmu Ilahiyyat (ilmu ketuhanan).
Kini, ilmu kalam dianggap dan secara lazim diterjemahkan sepadan dengan teologi. Pemadanan ini agaknya lebih dekat dengan makna kelima.[af]
Disarikan dari berbagai sumber:
- Shaduq, Kitāb Al-Tawhīd.
- Kulaini, Ushūl Al-Kāfī, jld. 1.
- Sahrustani, Kitāb Al-Milal wa Al-Nihal, jld. 1.
- Al-Iyji, Al-Mawāqif.
- Taftazani, Syarh Al-Maqāshid, jld. 1.
- Jalaluddin Suyuthi, Tārīkh Al-Khulafā’.