Lahirnya Pemikiran Filsafat -Bagian Pertama-
Sejarah pemikiran manusia kembali dimulai seiring dengan penciptaannya. Artinya, sejak manusia ada, proses berpikir sudah menjadi bagian tak terpisahkan darinya. Di mana ada manusia, di sana ada pula proses berpikir dan bernalar. Tak ada data dan bukti kuat serta rinci yang menjelaskan hasil pemikiran tak tertulis manusia kecuali yang didapat dari penggalian arkeologi. Sementara, hasil pemikiran yang tertulis relatif lebih terbelakang atau terbukukan sejak ditemukannya teknik tulisan.
Diantara pemikiran manusia adalah pemikiran yang berhubungan dengan alam penciptaan. Awalnya, pemikiran ini bercampur dengan kepercayaan agama yang mereka anut. Karena itu bisa dikatakan bahwa pemikiran filosofis paling tua harus dicari di antara pemikiran-pemikiran berbasis agama di timur.
Para pakar sejarah filsafat meyakini bahwa kumpulan pemikiran filsafat murni atau yang kental dengan sisi filosofis adalah pemikiran yang lahir di tengah para pemikir Yunani pada sekitar abad keenam sebelum Masehi. Sebagian dari mereka berusaha memberikan penjelasan dan penafsiran akan alam, penciptaan dan segala realitas yang ada dengan berbagai pandangan yang berbeda dan terkadang bertentangan. Meski demikian, tak dapat dipungkiri bahwa pemikiran mereka sangat dipengaruhi oleh kepercayaan dan budaya yang datang dari belahan timur dunia. Atmosfir kebebasan berpikir dan mengkritik di tengah masyarakat Yunani saat itu telah menciptakan peluang bagi perkembangan dan kemajuan filsafat. Sehingga, bisa dikatakan bahwa Yunani di zaman itu tak ubahnya bagai medan pengembangan filsafat.
Tentunya, di awal terbentuknya, pemikiran-pemikiran filsafat tidak tersusun secara rapi dan sistematis dengan tema-tema pembahasannya yang tertata baik. Apalagi, dengan nama, istilah dan metodologinya. Secara singkat, seluruh pemikiran ini dikenal dengan nama ilmu, hikmah atau kebijaksanaan, pengetahuan dan semisalnya.
Munculnya Sofisme
Pada abad kelima sebelum Masehi, muncul sekelompok pemikir yang disebut sofis yang dalam bahasa Yunani berarti orang yang bijaksana dan cendekia. Meski dikenal cerdas dan memiliki pengetahuan yang luas, namun mereka tidak meyakini akan kebenaran yang absolut. Mereka menyatakan bahwa tidak ada yang bisa diketahui dengan pasti.
Para ahli sejarah filsafat menyebut kaum sofis sebagai orang-orang pandai yang aktif mengajar seni berpidato dan berdebat khususnya kepada anak-anak muda. Di tangan mereka pulalah para calon panitera dididik, di mana saat itu profesi tersebut sangat diminati dan dibutuhkan. Untuk menjadi pembela hukum di pengadilan, orang harus mampu membuktikan dakwaan atau menyanggah klaim lawan. Bergelut setiap hari -bahkan setiap saat- dengan teori-teori yang tentunya sarat dengan mughalathah atau sofistri ini membuat mereka lambat laun meragukan adanya kebenaran yang pasti. Akhirnya dengan yakin mereka menafikan adanya kebenaran itu.
Mungkin Anda pernah mendengar cerita tentang orang yang bercanda dengan mengatakan bahwa si Polan sedang membagi-bagikan manisan yang enak di rumahnya. Orang-orang yang lugu dengan cepat mempercayai omongan itu lalu berbaris mengantri di rumah yang ditunjuk untuk memperoleh manisan. Lambat laun jumlah orang yang berbaris di rumah itu semakin banyak sehingga di pembuat berita mulai bertanya-tanya di dalam hati, “Jangan-jangan memang si Polan sedang membagi-bagikan manisan yang lezat di rumahnya”. Akhirnya, diapun bergabung dengan orang-orang lain dan mengantri di depan rumah si Polan.
Nampaknya, kaum sofis mengalami hal yang sama dengan kisah tadi. Pada awalnya mereka mengajarkan teori-teori sofistri untuk membuktikan dakwaan dan menyanggah klaim orang. Namun lama kelamaan mereka terpengaruh oleh teori sendiri sehingga meyakini bahwa benar atau salah ditentukan oleh pemikiran manusia. Artinya, tidak ada hakikat dan kebenaran absolut di balik pikiran dan pemikiran manusia.
Kata sofis atau sophis yang artinya orang bijaksana dan pandai telah berubah menjadi jargon untuk menyebut kelompok orang yang meyakini relativitas kebenaran. Dari sinilah muncul kata sofistri yang berarti metode berpikir dan berargumentasi yang menipu dan tidak benar. Dalam bahasa Arab, kaum sofis disebut dengan sufasthi dan metode berargumentasi mereka disebut dengan safsathah.
Di dalam sejarah filsafat, banyak yang memandang kaum sofis secara negatif. Misalnya saja, mereka dituduh mengajar untuk mendapatkan uang yang banyak, menghalalkan segala cara untuk memenangkan argumentasi, serta mengajarkan relativitas. Terlepas dari benar atau tidaknya tudingan itu, yang pasti cara pikir mereka telah mengundang banyak pemikir besar seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles untuk melakukan perlawanan. (AHF)
(Bersambung)