Haji yang Hakiki Mempersatukan Umat Islam
Salah satu hikmah di balik pensyariatan ibadah haji adalah menjalian persatuan di antara kaum Muslimin. Haji adalah momen yang paling tepat untuk mewujudkan pesan-pesan persaudaraan, kebersamaan dan kesetiakawanan di antara umat Islam. Betapa tidak, pada kesempatan ibadah haji, seluruh kaum Muslimin dari pelbagai penjuru dunia datang dengan satu tujuan dan satu niat. Mereka bertemu di tempat yang suci, al Haramain (Mekkah-Madinah). Mereka dapat mengenal adat-istiadat dan kebudayaan masing-masing mereka. Islam-lah yang mempertemukan mereka. Haji membuat hubungan di antara mereka semakin menguat.
Haji bukanlah ibadah individual dimana masing-masing jamaah haji datang dari pelbagai negara dan berkumpul di suatu tempat untuk melaksanakan manasik haji dan ketika manasik tersebut selesai, maka tuntaslah tugas ibadah mereka. Tanpa ada keharusan bagi masing-masing mereka untuk mengenal satu sama lain, mempererat hubungan di antara mereka, memikirkan nasib kaum Muslimin dan bersepakat untuk bersatu dalam menghadapi musuh-musuh Islam. Yang penting, setiap orang hanya sibuk menunaikan manasik haji secara baik dan berhati-hati agar ia tidak melanggar ketentuan yang diatur oleh mazhabnya sehingga amalan hajinya tidak cacat secara fiqih, dan setelah itu pulang. Tidak demikian. Ini haji yang keropos. Ini haji yang tidak dikehendaki oleh Islam.
Rasulullah saw menyampaikan sabdanya yang sangat populer berikut ini:
“Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu dan ayah kalian satu. Kalian semua berasal dari Adam dan Adam berasal dari tanah. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa. Maka, tiada keutamaan bagi orang Arab atas orang `Ajam kecuali dari sisi ketakwaan.[1]
Pesan persatuan ini dimana dan kapan beliau sampaikan? Beliau menyampaikannya di Tanah Suci Mekah, Mina dan Arafah saat melaksanakan manasik haji. Tentu ada alasan rasional di balik pemilihan tempat tersebut. Salah satu alasannya adalah karena tempat itu sampai hari kiamat akan menjadi ajang pertemuan kaum Muslimin seluruh dunia, sehingga selalu teringat dan tergiang pesan abadi Nabi tersebut bagi mereka dan supaya mereka menjalin persatuan dan kesatuan di antara mereka serta bekerja sama di bidang spiritual dan material demi kemajuan mereka bersama.
Islam tidak menginginkan jutaan kaum Muslimin berkumpul di satu tempat tapi hati mereka dipenuhi dengan kedengkian dan permusuhan sesama mereka. Allah Swt tidak menghendaki mereka menjadi orang-orang sebagaimana yang difirmankan-Nya: “Kalian mengira bahwa mereka bersatu, sedangkan hati mereka terpecah belah.”[2] Atau menjadi orang-orang sebagaimana yang diisyaratkan oleh Imam Ali dalam perkataannya: “Wahai manusia yang fisik mereka berkumpul dalam satu tempat namun tujuan mereka bercerai berai.[3]
Sayidina Ja`far ash-Shadiq berkata: “Allah menjadikan pertemuan di dalamnya dari Timur dan Barat [dunia] supaya satu sama lain saling mengenal.”[4] Ya, salah satu manfaat besar haji adalah kesempatan setiap orang Muslim untuk mengenal keadaan politik, ekonomi dan budaya Muslim yang hidup di negara lain. Mereka dapat tukar-menukar informasi dan bekerja sama dalam mengatasi problem akidah dan sosial mereka. Masing-masing mereka dapat tukar-menukar kartu pengenal dan menjalin kontak melalui surat, email, telpon dll.
Saat menjelaskan filosofi ibadah haji, Imam Ali secara indah berkata: “Haji mengukuhkan agama.”[5] Yakni, salah satu filosofi haji adalah mengukuhkan/menguatkan agama. Atau dengan kata lain, filosofi haji adalah mendekatkan para pengikut agama. Berkenaan dengan riwayat Imam Ali tersebut, Muthahari berkomentar: “Bila yang dimaksud adalah bahwa filosofi haji ialah menguatkan agama maka ini berarti perkumpulan haji membuat hubungan antara kaum Muslimin semakin menguat dan keimanan mereka semakin membaja, sehingga dengan demikian Islam pun semakin kokoh dan solid. Namun bila yang dimaksud adalah bahwa filosofi haji ialah mendekatkan agama maka ini berarti dekatnya hati kaum Muslimin yang berkosekuensi pada kuat dan kukuhnya Islam.”[6]
Pada kesempatan yang lain, Imam Ali juga berkata: “Allah menjadikan Ka`bah sebagai bendera (panji) Islam.”[7] Dari dahulu sampai sekarang setiap kelompok yang berperang memiliki bendera/panji yang khusus. Bendera dijadikan simbol perlawanan. Selama bendera tegak dan berkibar maka perlawanan tetap berlangsung, namun bila bendera jatuh maka ini pertanda peperangan dan perlawanan pun berakhir. Orang yang paling berani-lah yang memegang bendera tersebut. Dan musuh selalu berusaha—dengan pelbagai cara—untuk menjatuhkan bendera itu. Bendera begitu suci dan terhormat. Bendera merupakan simbol persatuan dan kedaulatan suatu negeri/negara.
Amirul Mukminin mengatakan bahwa Ka`bah adalah bendera (panji) Islam. Yakni, sebagaimana bendera merupakan simbol persatuan dan kedaulatan bagi suatu bangsa dan selama bendera tetap berkibar maka negara yang memiliki bendera itu pun tetap eksis maka demikian juga Ka`bah bagi Islam. Dalam suatu hadis dikatakan: “Agama akan tetap tegak selama Ka`bah tetap tegak.” Yakni, selama haji tetap ada dan hidup maka Islam pun tetap hidup dan eksis. Jadi, Ka`bah adalah bendera persatuan Islam yang suci. Ia merupakan simbol persatuan, kedaulatan dan kemerdekaan kaum Muslimin.
Muhammad ‘Arif
[1] Tuhaful Uqul, hal. 34.
[2] QS. Al Hasyr: 14.
[3] Nahjul Balaghah, khotbah 29.
[4] Hajj, Murtadha Muthahari, hal. 22.
[5] Nahjul Balaghah, Kalimat al Qishar, Hikmat 244.
[6] Hajj, Murtadha Muthahari, hal. 23.
[7] Nahjul Balaghah, khotbah 1.