Logika Munafik
Oleh: Otong Sulaeman
Pernah ada seorang selebritis yang menjelaskan aktivitasnya dalam mencari kehidupan duniawiah. Demi mengejar bayaran yang tinggi, dia siap melakoni jadwal pentas sepadat apapun. Mumpung masih muda dan sedang berada di awang-awang popularitas, katanya. Terkadang norma-norma sosial dan agama dilabrak tanpa ampun. Mengumbar aurat pun tidak membuatnya merasa malu. Katanya, “Saya nggak mau munafik-lah!”
Atau, dalam kehidupan sehari-hari, mungkin sering kita dapati, ada orang-orang yang jelas-jelas memalsukan faktur pembelian. Dia membeli barang hanya satu juta, misalnya, namun di faktur ditulis dua juta. Diklaimnya uang dua juta itu dari bos atau rekanannya, dan satu juta masuk ke kantongnya. Ketika ditanya, jawabnya, “Ah, jangan munafik-lah. Kalau nggak begini, dari mana kita bisa dapat uang?”
Kuncinya ada pada satu kata: uang. Dia butuh uang, sebanyak-banyaknya . Ini adalah kata hatinya. Dia selaraskan semesta perilakunya dengan kata hatinya itu. Keselarasan antara hati dan ucapan adalah kejujuran. Sebaliknya, kesenjangan antara keduanya adalah kemunafikan. Ia yakin, sebagian besar orang pastilah butuh uang, sebanyak-banyaknya. Karena itu, jika Anda bersikap seolah-olah tidak butuh uang, Anda pastilah orang munafik. Sedangkan dia yang berburu harta adalah orang yang berhasil terhindar dari kemunafikan.
Tentu ada yang salah dari cara berpikir di atas. Mari kita bedah masalah ini dari logika berpikirnya. Di dalam bahasa Indonesia kita mengenal istilah antonim. Antonim adalah suatu kata yang artinya berlawanan satu sama lain. Antonim disebut juga dengan lawan kata. Jadi, antonim dari keras adalah lembek, dan antonim dari naik adalah turun. Panas-dingin, tinggi-rendah, takut-berani, semua ini adalah antonim.
Dalam bahasa Indonesia, antonim hanya satu jenis saja, yaitu lawan kata. Dalam ilmu mantiq klasik, dua kata yang berlawanan itu (mutaqabilani) bisa dikategorikan dalam empat kelompok, yaitu tadhad (oposisi sifat), tadhayuf (oposisi terikat), tanaqudh (kontradiksi), dan ‘adam wa malakah (oposisi potensial). Dalam kolom yang singkat ini, tentu tidak mungkin membahas keempat jenis lawan kata itu. Saya hanya akan membahas antonim dalam kategori tanaqudh (kontradiksi).
Tanaqudh adalah perlawanan kata di antara “sesuatu” dan “bukan sesuatu”, seperti “manusia” dan “bukan manusia”, “ada” dan “tidak ada”, “theis (percaya kepada tuhan)” dan “atheis”, atau “benar” dengan “salah”.
Salah satu karakter khas dari dua kata yang tanaqudh adalah tak bersatu dan pasti terikat (la yajtami’ani wa la yartafi’ani). Contohnya, tak mungkin ada objek yang disebut manusia, dan pada saat yang sama juga ‘bukan manusia’.
Karakter khas lain dari tanaqudh adalah kemungkinan terjadinya perlawanan antara dua konsep: yang satu hanya memilki satu objek (ekstensi) dan yang lain punya beberapa objek (ekstensi). Contohnya adalah ‘manusia’ dan bukan ‘manusia’. Objek dari kata manusia hanyalah satu, yaitu manusia itu sendiri. Akan tetapi, objek dari konsep ‘bukan manusia’ tidak hanya satu, melainkan banyak. Dalam hal ini, kata ‘manusia’ beroposisi dengan beragam ekstensi (objek), mulai dari hewan, tumbuhan, benda mati, hingga malaikat. Begitu juga dengan kata ‘munafik’. Lawan kata ini adalah ‘bukan munafik’. Tapi, mereka yang dikategorikan ‘bukan munafik’ pun sangat luas: mukmin, kafir, fasiq, zalim, dan lain sebagainya.
Kini mari kita kembali kepada kasusnya: seorang artis tidak laku karena menolak tampil vulgar, dipandang munafik oleh artis yang rela buka-bukaan karena ‘jujur’; dia perlu uang. Atau, seseorang yang terpaksa hidup miskin karena menolak korupsi, dipandang munafik oleh mereka yang secara ‘jujur’ mengakui diri perlu uang dan melakukan berbagai cara demi mencari uang.
Mudah-mudahan kini kita bisa dengan telak menjawab argumen orang-orang seperti ini. Ya betul, mungkin mereka memang tidak munafik (dalam arti: isi hati mereka adalah ‘butuh uang’; dan perbuatan mereka pun selaras dengan isi hati, yaitu bekerja keras mencari uang, meskipun menghalalkan segala cara). Namun, dalam konteks ini, ketidakmunafikan mereka tidaklah setara dengan kejujuran, ketakwaan, dan keimanan. Ketidakmunafikan mereka dalam kasus ini, justru setara dengan keingkaran pada aturan Allah.
Jadi, jika seseorang yakin sekali bahwa dirinya bukan orang munafik, janganlah dulu dia merasa bangga. Yang ideal tentu saja, kembali merujuk kepada Al Quran. Dalam ayat-ayat awal surat Al Baqarah, diungkapkan adanya tiga golongan manusia: bertakwa, kafir, dan munafik. Orang yang bertakwa adalah orang yang hati dan ucapan/perilakunya sama-sama baik. Kafir adalah orang yang hati dan ucapan/perilakunya sama-sama buruk. Sedangkan munafik adalah orang yang hatinya buruk, tapi keburukan hatinya itu tertutupi oleh ucapan dan perilaku lahiriahnya yang tampak baik.[]