Rasulullah saw Pemurah dalam Urusan Pribadi, Teguh dalam Masalah Prinsip
Rasulullah saw Pemurah dalam Urusan Pribadi, Teguh dalam Masalah Prinsip
Di makalah sebelumnya dengan judul “Karena Keagungan Akhlak Nabi saw, Seorang Yahudi pun Masuk Islam” dikatakan bahwa: yang dimaksud sisi lembut pada diri Rasulullah ialah terkait dengan masalah-masalah pribadi. Di sana dimisalkan dengan kasus seorang Yahudi yang berbuat buruk terhadap Rasulullah saw, tetapi beliau meski memiliki kekuatan yang besar membalasnya dengan sikap tabah dan ramah.
Sedangkan di sini, sisi keras dan keteguhan beliau terkait dengan masalah-masalah prinsip dan universal. Satu misal diceritakan; Di masa penaklukan Mekah (Fathu Makkah), seorang wanita dari bangsawan Quraisy telah melakukan pencurian. Dalam Islam hukumannya potong tangan. Setelah perkaranya jelas dan dia mengakui perbuatannya, maka hukum musti dijalankan.
Selain itu, muncul perantara dan bantuan (advokasi) dari sejak itu bahwa seseorang datang dan berkata: “Wahai Rasulullah, jika mungkin bagi Anda berpaling dari hukuman. Sebab, wanita ini putri si fulan yang Anda kenal adalah seorang yang sangat terhormat, dan harga diri keluarganya yang terhormat akan jatuh, terutama ayah dan saudaranya serta yang lain bila mereka datang, apapun yang akan mereka katakan.”
Beliau saw bersabda, “Tidak mungkin! Apakah kalian pikir aku akan menon aktifkan undang-undang Islam? Seandainya wanita itu sebatang kara dan bukan dari keluarga bangsawan, kalian akan mengatakan: “Benar, dia pencuri dan harus dihukum! Orang miskin yang disebabkan oleh keadaannya, mencuri, ya harus dihukum. Tetapi apakah dengan alasan bahwa dia dari bangsawan Quraisy dan kata kalian bahwa harga diri keluarganya yang mulia menjadi hilang, maka dia tidak dihukum? Hukum Allah tak kenal libur, dan tak terima perantara serta bantuan (hukum).”
Murah Hati dan Teguh pada Prinsip
Rasulullah saw dalam masalah-masalah prinsip tidak bersikap lunak, meski dalam masalah pribadi adalah seorang yang luar biasa ramahnya, paling sayang, sangat pemurah dan pemaaf. Hal ini dicontohkan oleh Imam Ali, bahwa ia berseri-seri di wajahnya. Tidak sebagaimana sebagian tokoh agama yang ingin disucikan oleh masyarakat, selalu bermuka masam dan tak tampak senyum sekalipun. Konon, sampai dikatakan bahwa ketakwaan, berarti muka masam. Padahal; “Orang mukmin keceriaan dia di wajahnya, dan kesedihan dia di dalam hatinya.” (Nahjul Balaghah, Hikmah 333)
Orang mukmin menahan dan menyimpan kesedihannya (karena dunia dan akhirat terkait dengan urusan pribadi). Ketika berhadapan dengan orang lain tampak ceria di wajahnya. Seperti Rasulullah saw, Imam Ali terkadang bercanda dengan orang-orang, namun sampai tak melampaui batas.
Ada yang telah mengatakan bahwa kekurangan Ali kw ialah canda dan tawa, bahwa seorang khalifah mestinya berwajah serius dan ditakuti oleh rakyatnya. Tetapi mengapa Rasulullah saw tidak begitu? Telah disampaikan di makalah sebelumnya berdasarkan QS: Al Imran 159. Namun demikian, dalam masalah-masalah prinsip, Imam Ali seorang yang paling meneladani beliau saw, tak kenal kompromi.
Diceritakan; saudaranya yang bernama Aqil, anak-anaknya sudah beberapa hari dalam kelaparan, sampai wajah mereka gelap dari saking laparnya. Ia memanggil Ali kw dan berkata kepadanya; “Lihat keponakan-keponakanmu yang lapar ini. Aku punya hutang. Aku juga lapar. Aku tak punya apa-apa. Bantulah aku!”
Beliau berkata, “Baiklah, gajiku dari Baitulmal akan aku berikan kepadamu”
“Saudaraku, berapakah gajimu juga pengeluaranmu dan yang akan diberikan kepadaku? Suruhlah mereka supaya mengambilnya dari Baitulmal”, pintanya.
Maka Imam menyuruh orang untuk membakar besi sampai memerah. Setelah itu beliau menyodorkannya ke hadapan Aqil yang buta. Mengira itu adalah kantong uang, ia menjulurkan tangannya dan kepanasan. “Aku teriak seperti sapi”, katanya.
Demikianlah contoh tentang sikap keras dalam masalah-masalah prinsip, terkait dengan hukum Allah dan hak sosial. Berikut contoh lainnya tentang akhlak Rasulullah saw yang luar biasa lembut terhadap muslimin dengan perlakuan yang sama. Diceritakan; seorang wanita yang telah melahirkan, lari membawa bayinya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, aku ingin Anda azani dan iqamati di telinga anakku ini!” Atau dalam riwayat lain, dia membawa anaknya yang berusia satu tahun kepada beliau: “Wahai Rasulullah, aku ingin anakku ini Anda memangkunya dan memandanginya agar mendapat berkah, atau Anda mendoakannya”
“Baiklah..”, ucap beliau.
Referensi:
Sairi dar Sire-e Nabawi/Syahid Mutahari