Mahar Pra Islam, Penyimpangan dalam Mahar
Sejak zaman dahulu, dalam pernikahan, biasanya suami akan memberikan sesuatu pada istri sebagai tanda pernikahan mereka (mahar). Kebiasaan memberi mahar ini terus berlanjut. Tapi sepanjang perjalanannya (sampai sebelum datangnya Islam), terjadi praktek-praktek menyimpang yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang membuat posisi dan kemuliaan mahar terganggu. Setelah Islam muncul, praktek-praktek itu dengan tegas ditolak dan dihapus.
Salah satu praktek menyimpang itu adalah menjadikan mahar istri sebagai milik orang tua. Pada zaman jahiliyah, orang tua gadis menganggap mahar adalah hak mereka sebagai kompensasi atas jasa mereka dalam membesarkan dan merawat anak perempuan mereka. Dalam tafsir Kasyaf karya Zamakhsyari dan tafsir lainnya disebutkan, ketika seorang ayah mendapat karunia seorang anak perempuan di zaman itu maka orang lain akan mengucapkan selamat padanya dengan berkata, “Hanian laka an-nafijah”. “Selamat, semoga dia menjadi sumber kekayaan bagimu. Secara leksikal, an-nafijah berarti sekantong jebat atau wewangian dari rusa jantan yang sangat mahal harganya. Jadi, anak perempuan disebut sebagai sumber kekayaan karena sang ayah kelak akan menikahkan anak gadisnya dan mengambil maharnya.
Praktek menyimpang lain di zaman jahiliyah adalah hak perwalian ayah atau saudara laki-laki (jika ayah sudah meninggal dunia) atas anak perempuan. Ayah atau saudara laki-laki berhak menikahkan anak perempuan dengan pria pilihannya; bukan sesuai pilihan anak perempuan. Begitu juga, mahar anak perempuan akan menjadi milik ayah atau saudara laki-laki; bukan milik dan hak sang anak perempuan.
Di zaman itu juga, anak perempuan bisa ditukar begitu saja pada pria lain. Seorang laki-laki bisa mengatakan pada laki-laki lain, “Aku akan menikahkan anak perempuanku (atau saudariku) denganmu jika kau memberikan anak perempuanmu (atau saudarimu) untuk menjadi istriku.” Jika laki-laki kedua menyetujuinya maka masing-masing perempuan yang ditukar itu telah menjadi mahar bagi kedua laki-laki itu. Pernikahan seperti ini disebut pernikahan syighar yang kemudian dihapus oleh syariat Islam.
Praktek dan kebiasaan buruk lainnya di zaman jahiliyah adalah mewarisi istri. Ketika seorang laki-laki meninggal maka ahli warisnya (seperti anak laki-laki dan saudara laki-laki) akan mewarisi istri sang almarhum sebagaimana mereka mewarisi hartanya. Ahli waris memiliki wewenang menikahkan sang istri dengan siapapun yang mereka inginkan dan ahli waris akan mengambil mahar pernikahan untuk dirinya sendiri. Ahli waris bisa juga mengambil istri sang almarhum sebagai istrinya sendiri tanpa harus memberinya mahar dengan dalih bahwa sang almarhum sudah memberikan mahar sebelumnya pada wanita itu. Lalu Al-Quran datang dan menghapus adat mewarisi istri itu dengan berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, tidaklah halal bagimu mewarisi perempuan dengan cara paksa…” (Q.S: An-Nisa:19)
A-Quran juga mengharamkan seorang muslim untuk menikahi istri ayah sebagaimana yang sering dilakukan di masa jahiliyah. Menikahi istri ayah itu dilarang meski istri sang ayah rela menikah dengan anaknya. Al-Qur’an menyatakan, “Dan janganlah menikah dengan perempuan-perempuan yang telah dinikahi ayah-ayah kamu.” (Q.S: An-Nisa:22)
Selain itu, Al-Quran juga menghapus praktek salah lain yang menghilangkan hak mahar perempuan. Misalnya, saat seorang suami merasa jenuh dan tak menyukai istrinya lagi, suami bisa memperlakukan istrinya sesuka hati dan bahkan boleh menganiayanya. Tujuannya penganiayaan itu tak lain istri setuju untuk bercerai dan suami bisa mengambil semua atau sebagian dari mahar yang telah diterima istrinya. Al-Qur’an mengingatkan, “Jangan menyusahkan mereka [istri] hingga kamu bisa mengambil kembali sebagian dari apa yang sudah kamu berikan kepada mereka.” (Q.S: An-Nisa:19)
Adat dan kebiasaan lain yang juga dilarang Islam adalah pernikahan seorang laki-laki dan perempuan yang dilangsungkan tanpa menetapkan berapa jumlah maharnya. Atau, menuduh si istri berbuat amoral. Dulu ada tradisi, setelah menikah, begitu suami merasa bosan dengan istrinya dan ingin menikah dengan perempuan lain, sang suami akan menuduh istrinya telah melakukan perbuatan amoral dan merusak nama baiknya. Suami lalu mengatakan bahwa istrinya itu sudah tak pantas lagi menjadi istrinya dan mengklaim bahwa sejak awal, pernikahan mereka harus dibatalkan dan mahar harus dikembalikan.
Selain menghapus tradisi-tradisi salah tentang mahar pada zaman jahiliyah, Islam juga menghapus tradisi yang mewajibkan suami bekerja untuk mertua seperti yang dilakukan Nabi Musa as untuk Nabi Syuaib as. Nabi Syuaib as telah menikahkan Nabi Musa as dengan salah satu putrinya dengan syarat Nabi Musa as harus bekerja untuknya selama delapan tahun. Jika Nabi Musa as mau bekerja dua tahun lagi, maka Nabi Musa as tidak akan memiliki hutang budi lagi pada Nabi Syuaib as. Tradisi seperti itu muncul karena saat itu banyak pria yang miskin dan tidak memiliki harta benda apapun. Jadi, sebagai gantinya, sang menantu pria harus bekerja untuk mertuanya. Ini adalah satu-satunya hal bermanfaat yang bisa dilakukan sang menantu untuk mertuanya. Ada sebab lain kenapa menantu pria harus bekerja untuk mertuanya. Di zaman itu, biasanya mertua memberikan hadiah pada anak perempuannya saat menikah. Karena itu, sang menantu harus memberi sejumlah uang pada mertuanya. Jika menantu tak punya uang maka sang mertua akan meminta sang menantu bekerja untuknya. Nantinya, uang yang diberikan sang menantu akan diberikan pada anak perempuannya itu.
Itulah praktek dan tradisi lama yang tak layak yang berhubungan dengan mahar dan telah dihapus oleh Islam dan karenanya tidak lagi dilakukan oleh kaum muslimin.[Euis Daryati MA]