Salam Bagimu, Imam Baqir Sang Pembelah Ilmu..
Imam kelima Syiah Imamiyah adalah Muhammad Baqir bin Ali bin Husein bin Ali. Tongkat kepemimpinan umat sampai di tangannya setelah ayahnya, Imam Sajjad, syahid pada tahun 94 H.
Khulafa yang semasa dengan Imam Baqir adalah Walid bin Abdulmalik (86-96); Sulaiman bin Abdulmalik (96-99); Umar bin Abdulaziz (99-101); Yazid bin Abdulmalik (101-105); dan Hisyam bin Abdulmalik (105-125 H). Mereka -terkecuali Umar bin Abdulaziz yang cinta kepada keluarga Nabi saw- berbuat aniaya dan menindas terhadap beliau, khususnya.
Salam Rasulullah saw kepada Imam Baqir
Di sepanjang imamahnya dalam situasi dan kondisi masa itu tak mendukung, beliau menyebarkan ilmu-ilmu Islam; menjelaskan problem-problem ilmiah; dan mengadakan kajian-kajian ilmu. Dengan demikian beliau mengawali pendirian sebuah hauzah atau pusat keilmuan Islam, yang kemudian berkembang pesat dan meluas melalui putranya, Imam Ja’far Shadiq.
Para perawi dan ulama besar serta sejumlah sahabat Imam Baqir menimba ilmu dari beliau. Fuqaha seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan lainnya mengambil ilmu dan menukil penjelasan dari beliau, baik tanpa maupun dengan perantara.
Kitab-kitab mereka dan para sejarawan seperti Thabarai, Khatib Baghdadi, Muwatha` Malik, Sunan Abi Dawud, Musnad Abi Hanifah, Tafsir Zamakhsyari dan lainnya terisi dengan kalimat “qâla Muhammad bin ‘Ali” atau “qâla Muhammad al-Bâqir”.
Murid-murid unggulan binaan beliau dalam bidang fikih, hadis, tafsir dan ilmu-ilmu Islam lainnya, seperti Zurarah bin a’yun, Abu Bashir, Muhammad bin Muslim, dan Buraid bin Muawiyah ‘Ajali menjadi rujukan ilmu. Imam Ja’far Shadiq menyebut mereka sebagai agen ilmu dan hadis-hadis ayahnya.
Jauh sebelum masa itu, yakni di masa hidup Rasulullah saw, beliau telah membicarakan cucunya yang mulia ini yang kelak lahir dan akan dijumpai oleh sahabat pilihannya, Jabir bin Abdillah Anshari ra. Diriwayatkan; pada suatu hari Rasulullah saw berkata kepada saya (Jabir): “Sepeninggalku, kamu akan menjumpai seorang dari keturunanku. Namanya senama denganku, posturnya mirip dengan posturku. Ia akan membuka pintu-pintu ilmu di hadapan umat.”
Waktu demi waktu berlalu dalam bertahun-tahun setelah Nabi saw wafat hingga masa sampai pada Imam Sajjad, pada suatu hari, Jabir saat berjalan melewati satu lorong Madinah, melihat putranya, al-Baqir. Setelah ia perhatikan dengan seksama, tanda-tanda yang telah diceritakan Rasulullah saw kepadanya terdapat pada diri Sang Imam ini. Ia bertanya, “Siapa nama Anda?”
“Namaku Muhammad bin Ali bin al-Husain”, jawabnya.
Jabir langsung mencium keningnya dan berkata, “Datuk Anda, Rasulullah saw, menyampaikan salam melalui saya kepada Anda!”.
Kompetisi Memanah
Penguasa masa itu, Hisyam bin Malik, mengkhawatirkan keberadaan Imam Baqir di Madinah dengan kedudukannya yang sangat dimuliakan dan dicintai. Maka sepulang dia dari pergi haji, dia perintahkan pemerintah Madinah untuk membawa beliau bersama putranya, Ja’far, ke ibukota kekhalifahannya, Syam. Sampai di sana beliau tidak ditemui olehnya selama tiga hari, pikir dia, hal ini dapat menurunkan citra beliau yang mulia di mata penduduk.
Hisyam di dalam pertemuan khusus dengan para pejabat bani Umayah, dalam rencana untuk menjatuhkan Imam tak mungkin dengan mengadakan masjlis perdebatan dengan ulama, karena ketinggian ilmunya di atas mereka. Maka harus dengan cara lain, dan Hisyam condong pada sebuah ide yang menurutnya jitu, yaitu mengadakan “lomba memanah”. Imam direncanakan harus ikut dalam kompetisi ini.
Tiba di hari kompetisi ini, beliau datang dan Hisyam menoleh kepadanya sambil berkata: “Apakah Anda ikut dalam perlombaan ini?”
Imam menjawab, “Saya sudah tua dan masa saya memanah sudah berlalu!”. Hisyam kemudian memberi isyarat kepada seorang pembesar bani Umayah, agar menyodorkan anak panah dan busurnya kepada beliau. Imam mengambilnya lalu membidik anak panah dan mengena persisi di titik targetnya. Anak panah kedua, beliau lepaskan dan membelah kayu panah yang pertama. Anak panah terakhir yang beliau lepaskan juga membelah kayu panah yang kedua.
Perkiraan Hisyam salah dan rencana mempermalukan beliau di hadapan hadirin, yang telah dia buat, gagal! Namun dia terpaksa memberi ucapan selamat kepada Imam. Beliau berkata kepadanya, “Anda tahu bahwa penduduk Madinah memiliki kebiasaan memanah, termasuk saya, gemar memanah di waktu muda dulu. Kemudian, sudah lama saya tinggalkan. Hari ini karena Anda memaksa, terpaksa saya melakukannya.
Hisyam bertanya, “Apakah putra Ja’far juga mahir memanah?”
Imam menjawab, “Kami adalah keluarga “ikmâluddîn” (penyempurnaan agama) dan “itmâmun ni’mah” (penuntasan karunia), yang disebut dalam ayat: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ (QS: al-Maidah 3), yang mewarisi satu sama lain dan bumi tidak akan kosong dari orang-orang kami –sebagai hujjah.”
Referensi:
Sire-e Pisywayan/Mahdi Pisywai