Manfaat Ketaqwaan hingga Sikap Wara dalam Mewujudkan Kesalehan Sosial
Kesalehan sosial menjadi kebutuhan sepanjang jaman. Setiap orang, kapan pun dimana pun membutuhkan kondisi kesalehan sosial yang sudah membumi. Keadilan yang merata dan menyeluruh, masing-masing orang ingin memberikan partisipasi sesuai kapasitas yang dimiliki, menilai bahwa menjalani hidup hanya sekedar mampir istirahat dibawah pohon rindang, cepat atau lambat harus bergerak pergi meninggalkan pohon teduh itu.
Keadilan dan kemerataan kesejahteraan sosial menjadi dambaan setiap orang. Sebuah pesan yang berada di benak masing-masing orang secara fitrah, jika pun ada orang yang membunuh, merampok, mencuri, menipu, atau merampok, hal ini bukan karena fitrah, tapi ini terjadi karena penyakit psikologis, penyakit yang muncul kondisional, penyakit yang jelas bisa diobati sebagaimana penyakit-penyakit yang lain.
Kesalehan sosial adalah sebuah keharusan, sehingga bumi menjadi siap untuk memiliki pemerintahan dan kepemimpinan ideal, yang secara utuh mengangkat asas keadilan sosial bagi seluruh umat manusia.
Pemerintahan yang dijanjikan Allah yang penuh keadilan bukan muncul secara tiba-tiba, pemerintahan ini muncul setelah penduduk melakukan berbagai usaha untuk mempersiapkan diri, salah satu cara yang perlu dilakukan adalah dengan mengaplikasikan kesalehan sosial dalam kehidupan.
Beberapa orang yang sadar akan pentingnya mencari ilmu, mereka berusaha keras, dan melakukan fastabiqul khairat di jalan ini, mencari ilmu sebanyak mungkin. Merekam setiap kelas ofline dan online yang diikuti, namun rekaman itu hanya menjadi tumpukan file semata, karena sebagian lalai benar bahwa mencari ilmu adalah sebuah kemuliaan dan keutamaan tapi lebih dari itu, mengamalkan ilmu yang sudah dipelajari jauh lebih penting dari mencari ilmu.
Ada dua kelompok, kelompok pertama mencari ilmu sebanyak-banyaknya, kapan pun dimana pun, sebanyak yang mereka bisa, mereka juga memahami ilmu ini dengan baik, Kelompok kedua mencari ilmu sebanyak-banyaknya, tapi hanya mengandalkan media rekaman, menghadiri kajian untuk kemudian merekam kajian itu lalu berniat berdakwah dengan cara menshare materi-materi itu ke media sosial, kelompok ketiga, mencari ilmu sekadarnya dan hal ini dilakukan setelah ilmu yang sudah dipelajari tuntas dijalankan dan diamalkan, jadi ilmu yang dipelajari selalu diiringi dengan amal.
Kelompok pertama, katika hanya sibuk mencari ilmu semata maka akan terjebak menjadi kelompok yang dilaknat oleh ilmu itu sendiri, jika tidak berusaha maksimal mempraktikkan ilmu yang sudah dipelajari, ilmu yang sudah didapatkan hanya akan menjadi beban dikemudian nanti. Keutamaan mencari ilmu karena efek positif yang akan didapatkan pencari ilmu setelah mempraktikkannya bukan karena proses mencari ilmu semata.
Kelompok kedua, ketika ia melakukan itu tanpa memamahi kajian yang diikuti, sehingga tidak juga mengamalkan ilmu yang melewati tangan dan gadgetnya, maka dia telah menjadi orang yang merugi, kehilangan waktu dan umurnya semata.
Kelompok ketiga yang menjalankan ilmu yang sudah dimiliki lalu mencari lagi tahapan demi tahapan, merekalah orang yang beruntung, ilmu yang sampai kepada mereka benar-benar bermanfaat, mereka fokus mengamalkan pada diri mereka sendiri, sesuai perintahNya Ku anfusakum dirikamu terlebih dahulu. Dengan mempraktikkan, secara tidak langsung mereka juga sedang mendakwahkan ajaran Islam, karena orang-orang yang melihat mereka akan mendapatkan ilmu itu, mengutamakan amal dari omongan.
Mempraktikkkan celakalah orang yang menyuruh orang lain namun lupa untuk menjalankannya, kabura maqtan indallahi an taquuluu ma la taf’alun,
Orang yang mengutamakan untuk beramal, kita dapati pada para Nabi ini, mereka melakukan perbuatan-perbuatan besar, perbuatan yang berharga. Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.[1]
Ketaqwaan dan Sikap Wara Modal Besar Membangun Kesalehan Sosial
Ketaqwaan sebagai sikap untuk taat kepada Allah, menjauhi semua larangan dan menjalankan semua yang diwajibkan adalah bekal terpenting masing-masing individu. Ketika semua orang menjalankan konsep ini maka tidak akan ada perselisihan ditengah masayarakat, masyarakat yang dinamis dan saling menguntungkan akan muncul dan menyebar keberbagai penjuru. Semua tempat diseluruh dunia dipenuhi dengan keadilan.
Ketaqwaan masih lebih rendah dibanding sikap wara, dimana dalam taqwa masing-masing orang menjalankan hal itu sesuai ilmu semata, dilakukan karena unsur ketakutan kepada neraka, kerakusan kepada surga dan belum menjadi malakah menyatu dalam jiwa. Namun hal ini sudah cukup untuk menjadi landasan dibangunnya sikap saleh sosial.
Setingkat lebih tinggi dalam mewujudkan kesalehan sosial adalah sikap wara, sebuah sikap yang sudah menyatu dalam diri seseorang, meninggalkan yang haram bukan karena takut kepada neraka, menjalankan kewajiban bukan karena rakus terhadap surga. Ketaqwaan yang sudah menyempurna, ibadah dilakukan bukan karena suatu alasan kecuali karena cinta dan penyembahan tulus kepada Allah SWT. Sebuah perbuatan baik yang besar yang sangat berharga dimata Allah.
Kesalehan sosial adalah ketika masyarakat memiliki warna Allah, sibghatallah, ketika amalan-amalan menjadi ada karena alasan Allah, dilakukan karena ingin mengharapkan ridho Allah.
Kesalehan sosial adalah sebuah pilihan sebagai bentuk penantian kehadiran satria piningit. Kesalehan sosial adalah sebuah kondisi yang harus diperjuangkan, hasil dari kegigihan bukan dari pangku tangan pembiaran.
Sikap taqwa adalah sebuah keharusan bagi para penanti kehadirannya, mengaku menanti tapi masih melanggar konsep ketaqwaan tentu hanya berucap teoritis saja, sedang kenyataannya dia bukan seorang penanti. Ketaqwaan adalah keharusan namun jika bisa sampai ke tingkat wara maka itu sangat berharga.
[1] Qs Shaad: 45.