Melayani Pasangan Karena Cinta Allah SWT
“Sebel deh, udah cape-cape dimasakin, eeeh…. nggak dimakan, nggak bilang terima kasih lagi.”
“Udah repot-repot berusaha tampil cantik, eeeh… malah dicuekin, bukannya dipuji.”
Omelan tersebut mungkin terdengar jika seorang istri melakukan sesuatu untuk pasangannya karena pamrih. Suami pun, bisa jadi tersinggung ketika pulang dari kantor ternyata tidak mendapati pelayanan maksimal dari istrinya. Yang terlintas di benaknya mungkin, “Aku sudah capek bekerja mencari uang, sampai di rumah tidak dihargai!”
Merupakan hal yang manusiawi jika seseorang melakukan sesuatu karena niat tertentu. Karena niat merupakan faktor pendorong bagi manusia untuk bertindak. Seseorang juga dituntut untuk membenahi niatnya. Karena niat akan menjadi penentu amalnya, diterima ataukah tidak? Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya perbuatan itu tergantung niatnya.” [Muntakhab Mizanul Hikmah, hal 576]
Karena begitu pentingnya pengaruh niat pada amal perbuatan, Islam sangat menekankan pentingnya membenahi niat. Dengan tujuan apakah seseorang melakukan sesuatu? Niat akan memberikan warna pada perbuatan kita, warna Ilahi, ataukah duniawi? Sudah barang tentu, bagi para pecinta Ahlul Bait as, warna Ilahi merupakan warna terbaik. Dalam sebuah hadis, sungguh indah Rasulullah telah menjelaskan dampak niat pada kita, “Barangsiapa yang melakukan sesuatu karena akhirat maka ia akan mendapatkan dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang melakukan sesuatu karena dunia, maka ia tidak akan mendapatkan dunia dan akhirat.”
Lihatlah, menurut hadis ini, orang yang melakukan sesuatu karena Allah, maka ia akan mendapatkan keuntungan dobel, yaitu keuntungan dunia dan akhirat. Dan sebaliknya, orang yang melakukan sesuatu karena dunia, akan mendapatkan kerugian dobel, kerugian dunia dan akhirat. Contohnya, ketika seorang istri memasak hanya demi dipuji suami, pertama, dia tidak akan mendapatkan pahala di akhirat (rugi akhirat). Kedua, ketika suaminya tidak memujinya, hatinya akan kecewa (rugi dunia). Sebaliknya, bila dia melakukan tugasnya demi keridhaan Allah, dia akan mendapatkan keuntungan di akhirat (pahala) dan berkah di dunia.
Di awal pernikahan, sepasang laki-laki dan perempuan mungkin saling tertarik dan menikah karena hal-hal yang bersifat duniawi, seperti kecantikan, ketampanan, status sosial, nasab, kekayaan, pekerjaan, dan lainnya. Meskipun awalnya mungkin demikian, namun, mulai detik ini, mari kita merevisi kembali niat pernikahan tersebut dengan memberikan warna yang suci, yaitu warna Illahi, “Ya Allah, hamba menikah dengannya karena-Mu, dan dalam rangka beribadah kepada-Mu.”
Allah SWT telah memerintahkan hamba-Nya agar menjadikan cinta kepada-Nya sebagai poros dalam semua aspek kehidupan. Karena itu, pasangan suami dan istri pun hendaknya berusaha menjadikan ibadah dan cinta kepada Allah sebagai poros kehidupan berumah tangga. Caranya, dengan menjadikan segala bentuk pelayanan yang kita berikan kepada keluarga sebagai upaya untuk menyenangkan dan meraih keridhaan Allah SWT. Inilah bentuk pelayanan yang ikhlas.
Pelayanan yang ikhlas pun akan menjadikan pasangan suami istri lebih lapang dada saat menghadapi sikap pasangan yang tidak sesuai dengan keinginannya. Karena, yang dinantinya memang bukan sikap dan ucapan terimakasih dari suami, melainkan keridhaan Allah. Manusia mungkin lalai berterimakasih dan bersyukur. Namun Allah tak pernah lalai mencatat setiap amal hamba-Nya meski sebesar biji zarah. Dan ini pula yang telah dicontohkan Rasulullah & Ahlul Bait, terkhusus Sayidah Fathimah as agar kita tidak mengharapkan balasan (jaza’an) dan ucapan terimakasih (syukura) atas apa yang telah kita lakukan sebagaimana yang telah diabadikan dalam surat Al-Insan.
لِـوَجۡهِ اللّٰهِ لَا نُرِيۡدُ مِنۡكُمۡ جَزَآءً وَّلَا شُكُوۡرًا
“…hanyalah karena mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu.” (QS. Al-Insan:8)
Seseorang yang menjadikan Allah sebagai tujuannya, tak akan peduli dengan respon yang diberikan pasangan padanya dalam menjalankan tugas. Dalam benaknya yang terpikirkan hanyalah bagaimana menjalankan tugas yang telah diperintahkan Allah SWT kepadanya. Cinta kepada Allah pun akan mampu mengalahkan rasa lelah dan jenuh. Seorang istri, atau seorang suami, mungkin saja akan merasa lelah menjalankan aktivitas rumah tangga. Akan tetapi, kelelahan dan kejenuhan akan hilang dan berubah menjadi semangat saat mengetahui bahwa apa yang ia lakukan adalah perbuatan yang dicintai Allah SWT.
Satu hal yang pasti, tidak selamanya pasangan suami istri mendapatkan pasangan idaman dan sangat ideal. Sebelum menikah, ia mendapati calon suami atau istrinya sangat sempurna. Hal ini terjadi karena sebelum memasuki jenjang pernikahan mereka hanya bertemu pada waktu yang terbatas, dan hanya mendapati sifat dan karakter yang positif saja. Akan tetapi, pasca menikah, ia akan hidup dua puluh empat jam bersama pasangannya itu sehingga tidak ada lagi yang tersembunyi. Semua karakter, kebiasaan yang baik maupun buruk, akan tampak jelas.
Menghadapi situsi ini, jurus paling ampuh untuk menghindarikan diri dari kekecewaan adalah dengan menjadikan cinta kepada Allah sebagai fondasi rumah tangga. Cinta kepada Allah akan menjadikan kondisi kejiwaan kita lebih tenang dan jauh dari berbagai tekanan batin; kita akan menjalankan tugas sebagai suami atau istri dengan sabar; dan kita bisa bersabar pula menghadapi berbagai kekurangan pasangan.
Di samping itu, Allah SWT pun akan memberikan pahala atas kesabaran kita. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang bersabar karena Allah terhadap karakter buruk istrinya, maka Allah akan memberikan pahala kesabaran Nabi Ayub a.s. dalam menghadapi segala musibahnya. Dan barangsiapa yang bersabar karena Allah SWT atas karakter buruk suaminya maka Allah SWT akan memberikan pahala kesabaran Asyiah bin Muzahim, istri Firaun.” (Muntakhab Mizanul Hikmah: hal.25)
Di awal tahun baru ini, mari buat salah satu resolusi dalam kehidupan rumah tangga adalah menjadikan ‘cinta Allah SWT’ sebagai pondasi rumah tangga dan saling melayani pasangan karena Allah SWT. Memang tidak mudah dan perlu konsistensi, namun juga tidak mustahil. Kenapa? Karena dengan hal ini akan banyak permasalahan pasangan suami-istri akan terselesaikan dan kehidupan rumah tangga akan lebih damai. Wallahu’alam