Memaknai Risalah Budaya Perlawanan Imam Husein
MM-Bulan Muharram sedang berjalan, 1 Muharram jatuh pada 30 juli 2022 M, 1444 H bersamaan dengan tahun baru Islam. Tanggal 30 juli memang di liburkan oleh SKB 3 menteri karena memasuki tahun baru Islam. Bukan karena memasuki peringatan syahidnya Imam Husein di Karbala di bulan Muharram. Flayer ucapan tahun baru Islam bertebaran di mana mana.
Meski begitu di Bengkulu, peringatan 1-10 Muharram dengan Tradisi Tabut secara tegas untuk memperingati syahidnya ketokohan sentral Imam Husein, bukan yang lain. Arak arakan Tabut, dengan kaligrafi tulisan Husein, bahtera nabi, Imam Ali, Hasan, Husein, Fatimah, pembersihan replika lima jari Imam Husein, penyucian sorban Husein, hingga ritual doa di Karabela, Bengkulu. Semua menandakan secara tegas peringatan berduka atas tragedi syahidnya Imam Husein di Karbala
Imam Husein memang tokoh dunia. Jika ada yang mengecilkan dan menghilangkan, maka dalam hitungan kasar, masuk dalam narasi minor dan kehilangan jejak fakta sejarah yang solid. Narasi mayornya adalah bahwa syahidnya Imam Husein adalah sekelas risalah. Sebagaimana bagi kaum Kristiani, Yesus adalan nabi yang syahid. Subtansinya sama, mengembalikan risalah yang hampir padam, dan tragedi kematian suci seorang pengemban risalah adalah intervensi Tuhan secara langsung dan tuntas. Risalah imamah, buah dari estafet nubuwwah.
Namun penerimaan tragedi kematian Imam Husein dimata penerimanya, melintas waktu dan tempat menjadi beragam. Keanekaragaman penerimaan tragedi Karbala setara dengan tantangan zaman. Mulai dari yang terdekat secara geografis dari peristiwa sejak 61 H/680 M, di Karbala, Irak, Suriah, Mekkah dan Madinah, hingga terjauh seperti di Nusantara.
Kesyahidan Imam Husein adalah rentetan kesayahidan. Mulai dari syahidnya Imam Ali hingga sebelas Imam syiah, kecuali yang kedua belas, Imam Mahdi. Ya, semuanya adalah syahid. Kematian dengan cara luar biasa, tragedi pemurnian sebagai satu satunya cara menghilangkan karat kemungkaran yang luar biasa. Syahadahnya keluarga nabi adalah “nahi”, pencegah tercepat bagi virus ganas yang telah menyebar tanpa bisa di kendalikan oleh manusia biasa.
Selain para imamnya yang syahid, pengikutnya di zaman modern juga syahid, seperti Qasem Sulaimani. Jendral ini memasuki pemaknaan ring 1, memaknai syahidnya Husein dengan mensyahidkan dirinya dengan cara ksatria dan penuh kebebasan. Jalan cinta, jalan mesiah. Kata Sulaimani kepada Donal Trump, kami tidak takut mati, kami pengikut jalan syahidnya Imam Husein, silahkan berlaga secara ksatria. Akhirnya Trump mengirim drone MQ-9 Reaper untuk membunuh Sulaimani dengan jalan tak ksatria, jalan Yazid dan Muawiyyah.
Donal Trump beserta pengikutnya ISIS adalah tokoh antagonis, secara subtansial identik dengan Muawiyyah dan Yazid, identik dengan kelicikan, penipuan, kepongahan, kebodohan. Mudahnya adalah identik dengan lingkaran pusat dominasi kemungkaran kekuasaan dunia yang absurd. Sementara Sulaimani identik dengan Imam Husein, jalan kemurnian risalah, jalan kebenaran bukan kekuasaan.
Syahidnya Sulaimani adalah pencegah virus kemugkaran ISIS agar tidak menyebar keseluruh dunia. Daerah kekuasanya di persempit dan dimatikan. Berita tragedi syahadahnya Qasem Sulaimani dan pengawalnya adalah manifestasi dari syahadanya Imam Husein, kerabat dan keluarganya, meski berjarak 1342 tahun, proyeksi kerumitan politik zamanya sama. Imam Husein menghadapi perpecahan umat Madinah, Kufah dan Damaskus akibat gelontoran dinar dan kekuasaan yang di tawarkan Muawiyah. Qasem Sulaimani juga menghadapi hasutan US dan Israel, serta dinar Arab Saudi, Emirat Arab, Turki, Alqaeda, dan ISIS. Mereka satu kelompok, bahu membahu meruntuhkan pemerintah Assad yang anti Israel.
Tragedi Qasem Sulaimani menemukan momentumnya, memberi teladan makna otentik sesuai peristiwa konteknya. Kabar syahidnya Qasem Sulaimani menyebar, membaur dengan ragam peristiwa politik lokal dunia. Narasi syahidnya Sulaimani memang belum menemukan konteknya yang rapi dan masif dengan syahidnya Imam Husein. Para pecintanya berusaha menyambung mata rantai risalah itu. Tapi kubu Muawiyah modern bekerja keras menghentikanya.
Lihat saja di Indonesia, sekedar memperingati syahidnya Imam Husein saja sulit, padahal subtansinya sama sebagaimana haul Hasyem Asyari, haul Gus Dur, haul para leluhur, haul para syuhada pahlawan nasional.
Syahidnya Imam Husein memang melintas zaman. Menjadi panduan panji kebenaran. Oleh para pengirim kabarnya menjadi termanifes, menjadi beragam sesuai cerapan zamanya, dari murni peristiwa tragedi kesyahidan menjadi peristiwa kegembiraan, pengaburan makna, peristiwa budaya yang dikomersialkan, akhirnya terlupakan dan berusaha dilupakan.
Penerus dan Pemutus Risalah
Ingatan syahidnya Imam Husein memang ada upaya untuk menghilangkan dan melupakan. Upaya itu dilakukan secara historis-geneologis oleh Muawiyah dan Yazid, dengan cara mengecam Imam Ali dan Imam Husein, mengadakan acara syukuran sebagai simbol kebahagiaan sehingga tragedi karbala menjadi kabur. Tarjetnya adalah mengukuhkan dinasti Muawiyah, imperium pertama dunia Islam. Upaya melupakan tragedi syahidnya Imam Husein artinya pengukuhan imperium Muawiyah. Memang imperiumnya hingga Spanyol, tapi kebatilan dan kebenaran campur aduk dengan nafsu ekpansi kekuasaan.
Upaya pengkaburan dan penghilangan peristiwa tragedi karbala memang dahsyat hingga sekarang. Tidak hanya orang awam, kaum ulama dan intelektual jadi bimbang menentukan sikap. Pertama, diantaranya paling kasar dan primitif dari kalangan wahabi-khawarij muawiyin, mereka mengatakan peringatan asyura tidak ada dalam Alquran, memperingati artinya menambah kebencian. Kelompok ini secara geneologis memang pendukung Yazid dan Muawiyah.
Kelompok ini biasanya merujuk pada Ibu Taimiyah dan Ibnu Qayyum Jauzi yang menganggap perlawanan Imam Husein sebagai pemberontakan terhadap penguasa dinasti Muawiyah-Yazid yang sah. Muawiyah dianggap representasi Islam bukan representasi kemungkaran. Detil-detil kemungkaran Yazid dalam membantai Imam Husein tidak di hitung. Imam Husein yang mewarisi dan pelanjut risalah Nabi tidak masuk dalam teologi mereka. Ketokohan dan sepak terjang Imam Husein dianggap bukan sumber rujukan agama yang valid.
Ibnu Qayyim Jauzi dan Ibnu Taimiyyah berpendapat, perlawanan Imam Huseim di dorong kehendak berkuasa, melakukan makar dan menentang penguasa Yazid yang dianggap sah. Meskipun Yazid mendapatkan kekuasaanya dengan tipu daya, intimidasi, terror, dan pembunuhan seperti di Irak, Syam, Madinah dan Mekkah.
Kedua, terdapat kelompok yang menganggap sikap perlawanan Imam Husein sebagai kewajiban agama yang sah, namun maju ke medan laga bukan pilihan yang tepat, karena tidak seimbang. Mereka secara tidak langsung menganggap perlawanan fisik Imam Husein sebagai upaya bunuh diri bukan kesyahidan. Pandangan ini dipahami oleh tokoh seperti Ibnu Khaldun.
Ibn Khaldun menggunakan istilah “pemaksaan diri”, perlawanan Husein memang sah karena Yazid fasik, terang terangan minum arak, mudah membunuh orang yang tidak disukai, meninggalkan shalat, main perempuan, gemar berpesta. Husein menurut Ibnu Khaldun melupakan kekuatan militer yang lemah dan tidak berimbang. Perlawanan Husein dianggap reaktif, emosional tanpa pertimbangan.
Kelompok ketiga, tragedi Karbala adalah konflik politik, rebutan kekuasaan yang tidak subtansial. Baik Muawiyah dan Imam Husein dianggap sama-sama melakukan kesalahan-rebutan kekuasaan. Implikasinya kelompok ini menghindar dan tidak mau memperingati, karena tragedi itu adalah sejarah politik hitam dalam sejarah dunia Islam yang harus dihindari. Kelompok ini menghadap hadapkan antara antara etika Islam dan kekuasaan profan.Tidak menganggap Imam Husein sebagai representasi kebenaran secara tegas. Islam etika anti kekuasaan dianggap paling moderat dan subtansial, etika Islam adalah representasi kebenaran. Mereka adaptif dan fleksibel terhadap kemungkaran.
Kelompok keempat, tragedi Karbala Imam Husein dianggap sebagai fenomena budaya. Ketokohan Imam Husein diakui sebagai representasi kebenaran tetapi hanya sebagai fakta budaya, tanpa refleksi kebelakang dan kedepan. Mereka ragu dan tidak mau terlalu jauh memaknainya karena takut dianggap bidah dan di tuduh syiah. Fenomena ini terjadi di daerah Sumatera seperti di Bengkulu. Maksimalnya berkolaborasi dengan dinas Pariwisata menjadikan sebagai ajang festival untuk kepentingan pemasukan daerah. Mereka adalah para penjaga tradisi dan pecinta wisata.
Kelompok keenam, kelompok maksimalis. Menjadikan tragedi syahidnya Imam Husein sebagai simbol budaya perlawanan bagian dari ajaran “keadilan” Islam (ushul mazhab). Tidak sekedar peristiwa sejarah yang bersifat aksidental, bisa salah, bisa benar, tetapi bagian dari ajaran Islam yang esensial, karena menjadi momen sejarah penerus mata rantai risalah. Karenanya peristiwa itu bukan hanya berbasis kebebasan Imam Husein untuk tidak mau hidup dalam tirani Yazid, tetapi keniscayaan bimbingan risalah sebagaimana tragedi nabi Isa. Sehingga keputusan Imam Husein sebagai keputusan, mutlak benar atas dasar bimbingan risalah Muhammad, karenanya mutlak bimbingan dan perintah Allah. Sebagaimana kerelaan nabi Ismail menerima perintah Allah melalui Ibrahim untuk disembelih.
Kelompok ini dilebeli berbasis pada ideologi politik dan teologi syiah, tetapi lebih tepatnya para pecinta dan penerus risalah nubuwwah dan imamah berbasis ismah (kesucian). Nabi Muhammad dan para imam adalah suci, dan Imam Husein adalah imam ketiga imamiyah yang suci. Niat, perbuatan, keputusan politiknya suci, murni untuk mengembalikan kebenaran Islam Muhammadi yang diredupkan oleh manuver politik kekuasaan dinasti despotik Muawiyah.
Manifestasi pemahaman Revousi Huseiniyah ini teraktualisasikan dalam berbagai epik perlawanan di seluruh dunia termasuk di nusantara. Tarjetnya bukan kekuasaan untuk kekuasaan tetapi kebenaran. Tidak penting mereka dikategorikan pengikut ideologi politik syiah, karena secara esensial revolusi Imam Husein adalah kebutuhan esensial pancaran ruh kebenaran suci setiap ruh manusia. Aktualisasinya adalah kebebasan manusia dari kezaliman, dibawah pancaran bimbingan Tuhan.
Perlawananan revolusi Husainiyah di nusantara menemukam momentumnya pada abad ke 17-19 M. Dari perang Ternate pada awal abad ke 17, hingga perang Aceh, akhir abad 19. Para tokoh Husainah itu diantaranya para pangeran, kapitan, guru, tarekat sufi, raja, dan ulama. Mereka umumnya para pelaku jalan revolusi Husein.
Mereka para sufi ksatria langit, satrio lelono (pangeran terasing). Pembaca dan pecinta sastra epos Indonesia klasik; sastra Jawa, Madura, Bugis, Makasar, Minangkabau, Sasak, Sunda, Banjar, diilhami epos Islam seperti Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sayyidina Husein, Hikayat Iskandar Zulkarnaen, dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiah.