Peristiwa Asyura dalam Perspektif Fiqh: Pemikiran Soroush Mahalati (bagian 1)
Fardiana Fikria Qur’aniy-“Pandangan fikih tentang peristiwa Asyura” Soroush Mahalati dalam wawancara dengan Shafqna: Musuh hanya menginginkan “penyerahan” dari Imam Hussein (AS) / Imam Hussein (AS) tidak menerima baiat dengan Ja’er dan Taqiyyah / pengulangan slogan-slogan Karbala, Tassi dan Tidak mengikuti Nabi.
Salah satu topik yang menjadi perhatian para fuqaha dan memiliki interpretasi dsn penafsiran yang berbeda dari masing-masing ahli fikih ialah, peristiwa Asyura. Penyelidikan peristiwa Asyuro dalam perspektif fiqh menimbulkan banyak pertanyaan. Di antaranya, Apakah peristiwa Asyura adalah gerakan fiqhiyah atau melampaui fiqh? Kebangkitan Asyura termasuk dalam bagian bab fiqh yang mana? Apakah masuk dalam bab jihad dalam pembahasan memerangi kezaliman atau masuk di dalam bab amar makruf – nahi munkar? Apakah imam boleh membai’at penguasa tidak adil atau tidak boleh? Bagaimana pendapat para ahli fikih Syiah terkait ini? Hojjatul Islam wal Muslimin, Muhanmad Soroush Mahallati, profesor di bidang hukum Islam (Fiqh-ushul fiqh) di hauzah ilmiah Qom dan juga penulis buku “Hukum-Hukum dalam peristiwa Asyura”melakukan wawancara bersama Shafaqna untuk memaparkan tentang pandangan fikih tentang peristiwa Asyura.
Pertanyaan: Sepanjang sejarah terdapat perbedaan bacaan dan pandangan tentang peristiwa Karbala, namun jika kita ingin mengkaji pergerakan Imam Husain dan peristiwa Karbala dari perspektif fikih, pertanyaannya adalah apakah peristiwa Karbala merupakan gerakan fikih atau meta-fikih? Jika Asyura adalah masalah fikih, maka dimungkinkan untuk mengkaji perlakuan fikihnya. Tentu saja mungkin bagi Syi’ah dan dapat digunakan sebagai sumber fikih. Dalam peristiwa Asyura, dari segi hukum/fikih bagian manakah yang bisa dikaji?
Persepsi para fuqaha Syi’ah pada abad pertama adalah bahwa pergerakan Imam Husain (AS) dapat dianalisis dari dimensi fikih. Mungkin salah satu pendapat tertua dalam hal ini adalah pendapat dari Syekh Mufid, kemudian Sayed Murteza dan kemudian Syekh Tusi. Para sesepuh ini telah mempertimbangkan tindakan imam Husein sudah sesuai dengan aturan umum fikih. Tentu saja, asumsi mereka bahwasanya mereka ragu bahwa imam Husein memiliki pengetahuan puncak dari peristiwa Karbala dan analisis mereka didasarkan pada premis tersebut. Menanggapi pertanyaan mengapa Imam Husein pergi ke sana mengetahui pelanggaran orang-orang Kufah, Syekh Mufid mengatakan: Tidak ada alasan untuk pengetahuan Imam (Al-Masail al-Akbariya hal. 69), Syed Murteza juga memiliki pendapat yang sama dalam bukunya Tanziyyah al-Anbiyyah bahwa Nabi tidak pernah meramalkan apa yang terjadi, seperti konfrontasi antara orang Kufah dan imam Husein. “Kami sama dalam perhitungan manusia, masing-masing dari mereka saling berkhianat.”
Tentu saja, di masa-masa selanjutnya, banyak ahli fikih tidak menerima pendapat ini, tetapi bagaimanapun, berdasarkan pengantar ini, tindakan Imam sepenuhnya dibenarkan, Imam mengandalkan seruan orang-orang Kufah untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar atau mereka bergerak untuk merebut kekuaaaan dan setiap mukallaf yang memiliki tanggungjawab untuk amar makruf nahi munkar. Akan tetapi kajian ini tidak memberikan serta menjelaskan kerangka fikih peristiwa Asyura.
Pertanyaan: Jika Asyura adalah gerakan yang dapat diteliti dalam satu bentuk permasalahan fikih, maka pertanyaannya di bawah topik fikih manakah peristiwa tersebut, apakah Jihad? Amar ma’ruf dan nahi munkar? Atau melawan penindasan?
Terdapat beberapa topik beragm dari peristiwa Asyura yang berkaifan dengan fikih. Tentu saja, melawan penindasan tidak termasuk dalan topik amar makruf nahi munkar secara langsung, akan tetapi bisa dijelaskan sebagai tindakan imam Husein di bawah perintah terhadap kebenaran dan melarang kemungkaran, khususunya dari sudut pandang mengapa imam Husein maju menghadapi kemungkaran yang berbahaya. Bukankah syarat dari amar makruf dan nahi munkar itu tidak adanya bahaya? Namun banyak ahli hukum yang mengangkat isu Asyura dalam pembahasan Jihad dalam Kitab Jihad, mengapa imam Husein tidak mau menerima perdamaian dan kompromi di tengah perang dan konflik. Dia memiliki hak untuk memilih, dia dapat berdamai dengan musuh dan dia dapat melawan dan menerima kesyahidan. Berdasarkan pendapat ini, tindakan imam Husein dapat disajikan dalam kerangka umum yurisprudensi. Di kalangan ahli fikih, Shahid Sani juga menerima teori yang sama.
Ustad Karki, seorang peneliti juga mengangkat masalah ini dalam buku yang sama yaitu, Al-Jihad, tetapi pendapatnya berbeda dengan Allamah Hilli. Ustad Karki juga menyajikan analisis bahwa meskipun imam mengetahui puncak dari perang, ia harus melawan karena beberapa alasan. Misalnya, ia tahu bahwa Yazid tidak berkomitmen atas perjanjian yang dikompromikan dengannya yang akan merugikan umat dan masyarakat Islam dan mungkin tidak ada kemungkinan perdamaian sama sekali dalam kondisi seperti itu. Bagaimanapun, teori Karki dikaitkan dengan kemungkinan dan kemungkinan, tetapi tujuan dari kemungkinan ini adalah untuk menjelaskan kebangkitan Imam menurut aturan fikih.
Berdasarkan keyakinan kebanyakan orang bahwa salah satu tujuan Imam Husein tidak menerima setia penguasa tirani adalah satu tindakan melawan penindasan, itulah sebabnya insiden Karbala terjadi karena penolakan untuk menerima ini. Pertanyaannya ialah, apakah perang melawan penindasan merupakan bagian dari Jihad atau apakah itu bagian dari amar makruf nahi munkar? Dan apakah Imam Husein percaya bahwa peristiwa Karbal ini bagian daripada Jihad atau amar makruf nahi munkar?
Tidak mau melakukan bai’at berbeda dengan masalah memerangi kezaliman. Ketika seorang pria yang tidak adil dan tidak kompeten mengklaim kekhalifahan dan kekuasaan, maka setiap Muslim memiliki kewajiban untuk menolak ajakannya. Tidak menerima baiat adalah kewajiban negatif dan kewajiban ini tidak diperuntukkan bagi Imam Husain (a.s.), tetapi jika seseorang berada dalam situasi berbahaya dan tidak mengikrarkan janji akan menyebabkan dia terbunuh, maka diperbolehkan baginya untuk berjanji setia kepada penindas dalam situasi ini, dan itu adalah salah satu contoh taqiyyah. Tapi Imam Husein menolak untuk membai’at Yazid. Para ahli hukum telah mengatakan bahwa dalam beberapa situasi, taqiyya dilarang, misalnya, tidak diperbolehkan taqiyya yang menyebabkan rusaknya dasar agama dan tidak boleh juga memberikan kekuasaan dan legitimasi kepada orang yang tidak adil untuk menghapus aturan Islam.
Imam Khomeini mengatakan bahwa taqiyyah yang menyebabkan kehancuran agama itu dilarang, dan kemudian dia menganggap aturan ini berlaku untuk Asyura: “Dan saya percaya Al-Husein dan para sahabatnya bangkit untuk membunuh Yazid bin Mu’awiyah, mereka mempersembahkan hidup mereka untuk mati syahid dan meninggalkan takiyah.
Pertanyaan: Pada dasarnya, apakah imam diperbolehkan bersumpah setia (bai’at) kepada penguasa yang tidak adil dan juga telah mengambil alih kekuasaan khilafah, atau imam tidak boleh bersumpah setia (tidak boleh membai’at)?
Terdapat tiga tahapan dalam membai’at penguasa yang zalim. Pada tahapan pertama, hukum pertamanya ialah, membai’at penguasa zalim adalah haram baik bagi Imam maupun bukan imam. Tahapan kedua, hukum kedua ialah