Membedah dan Mendedah Keabsahan Kesaksian Mistik Dalam Pandangan Alquran dan Sunnah (3)
Di samping itu, berdasarkan penelitian, lafaz diletakkan untuk ruh makna tak termasuk bagian-bagian khusus makna bagi lafaz. Misalnya, kata “mizan” (timbangan) diletakkan untuk sesuatu yang menjadi ukuran bagi sesuatu, tidak termasuk dua wadah timbangan atau bagian-bagian khusus lainnya yang diletakkan oleh lafaz. Begitu pula lafaz-lafaz umum seperti kata shirâth (jalan atau jembatan), cahaya, pahala, siksaan. Juga seperti kata liqa` yang diletakkan untuk ruh maknanya, yaitu pertemuan (perjumpaan), tanpa bagian-bagian khususnya termasuk dalam makna itu. Oleh karena itu, pertemuan jisim dengan jisim, pertemuan ruh dengan ruh adalah antara lain dari person-person (ekstensi) pertemuan. Begitu pula pertemuan suatu makna dengan makna lainnya merupakan pertemuan. Masing-masing person, sebagaimana layaknya yang berjumpa dengan yang dijumpai. Jadi perjumpaan jisim dengan jisim adalah satu hal, perjumpaan ruh dengan ruh adalah hal lain, dan sebagainya.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa makna perjumpaan makhluk dengan Sang Khalik adalah ruh perjumpaan di dalamnya. Tetapi gambarannya pun layaknya yang berjumpa dengan yang dijumpai. Artinya, sebagaimana yang terungkap dalam doa-doa dan hadis-hadis tentangnya dengan kata wushul (hal sampai), ziarah (hal mendatangi), hal memandang, tajalli, penglihatan hati dan keterkaitan ruh, sebagai lawan kata perpisahan dan jauh dari sesuatu.”
Dapat disimpulkan dari keterangan di atas bahwa yang dimaksud liqa` Allah adalah macam makrifat khas tentang Allah swt. Lalu bagaimana mencapai makrifat ini? Jawabannya dapat dikaji melalui teks ayat di atas. Satu-satunya jalan mencapai makrifat ini ialah mengimani Allah Yang Maha esa dan beramal saleh. Yakni dengan dua rukun itulah yang merupakan pilar bagi semua agama. Oleh karena itu, hamba yang berharap perjumpaan dengan Allah dan ingin mencapai makrifat syuhudi tanpa perantara kepada-Nya, jalannya ialah tidak mensekutukan Allah, tidak memilih baginya sesuatu yang disembah kecuali Dia dan melakukan amal baik.
3-«واعبد ربك حتى ياتيك اليقين» .
Mengenai maksud yaqin dalam ayat ini, para mufassir selisih pendapat. Pendapat yang populer dari mereka, yang dimaksud yaqin itu adalah kematian. Karena manusia di saat mati, hijab-hijab tersingkap dan ia meyakini hakikat-hakikat gaib. Kata yaqin dalam ayat 46-47 surat al-Mudatsir juga bermakna demikian. Penghuni barzakh (alam kubur) mengatakan:
«و كنا نكذب بيوم الدين حتى اتانا اليقين»
Adapun kata yaqin itu sendiri adalah pengetahuan yang pasti dan jelas, dan kosong dari segala keraguan. Kebanyakan mufassir memaknakan yaqin dengan kematian atas salah satu dari dua faktor:
1-Ayat tersebut ditujukan kepada Rasulullah saw, dan tak ada keraguan dalam keimanan Rasulullah saw kepada Allah dan alam gaib. Keraguan itu sirna dengan ibadah.
2-Jika yang dimaksud yaqin adalah pengetahuan yang pasti, ayat tersebut menunjukkan bahwa ibadah wajib selama belum mencapai yaqin dan setelah sampai pada yaqin, kewajiban itu tak berlaku lagi. Ini bertentangan dengan kejelasan agama dan dalil-dalil aqli dan naqli yang menunjukkan kesinambungan taklif.
Namun, zhahir (makna yang tampak pada) ayat tersebut bahwa yang dimaksud yaqin adalah keimanan dan pengetahuan yang pasti secara syuhudi (penyaksian hati), dan ibadah hakiki kepada Allah mengantarkan pada jenis makrifat ini. Dalam hal ini, walaupun Rasulullah saw senantiasa memiliki makrifat ini, tetapi makrifat ini dicapai berkat ibadah. Sebagaimana ibadah hakiki kepada Allah berperan dalam melahirkan makrifat ini, dalam kesinambungan ibadah pun mempunyai efek selama manusia hidup di dunia. Sebagaimana halnya Nabi saw menjelaskan tentang kalimat “ihdinash shirathal mustaqim” (tunjukilah kami ke jalan yang lurus), yang harus dibaca setiap hari dalam salat lima waktu, tidak berarti si pembaca tidak berada di jalan yang lurus.
Di samping itu, seandainya makna yang tampak pada ayat bahwa tidak ada ibadah kewajiban beribadah setelah mencapai yaqin, pandangan ini tertolak dengan merujuk pada dalil-dalil qath’i Alqur`an dan hadis. Qarinah-qarinah dari Alqur`an dan hadis bagi ayat-ayat Alqur`an, mentaqyid atau mentakhshis atau melahirkan suatu makna yang berbeda dengan makna zhahirnya. Karena itu, Allamah Thabathaba`i mengatakan: “Dipahami dari ayat tersebut bahwa ibadah hakiki kepada Allah membuahkan yaqin.”
4- «و كذلك نرى ابراهيم ملكوت السموات و الارض وليكون من الموقنين» .
Kata “kadzâlika” dalam ayat ini secara lahir mengisyaratkan pada penglihatan yang pada ayat sebelumnya terkait dengan sayidah Maryam. Nabi Ibrahim as berkata kepada Azar:
«اتتخذ اصناما الهة انى اريك و قومك فى ضلال مبين» .
“Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata.”
Yakni, “aku menyaksikan kebenaran.” Dengan demikian, makna ayat di atas menjadi: “Kami dalam hal memperlihatkan, menunjukkan malakut langit dan bumi kepada Ibrahim.”
Kata “malakut” adalah mashdar (asal kata) seperti “mulk”, yang berarti kuasa (mampu) memanfaatkan. Dalam Alquran kata “malakut” juga dipakai pada makna kebahasaannya, dan tidak memiliki makna yang berbeda. Namun perlu diperhatikan bahwa ada perbedaan ektensial antara mulk dan malakut Allah dengan mulk dan malakut yang berlaku pada umat manusia. Perbedaan ini perlu diingat walaupun tidak mengubah makna kata. Penjelasannya, kepemilikan (malikiah) yang kita punya terkait dengan sesuatu di masyarakat adalah kepemilikan i’tibari yang ditegakkan oleh anggapan dan kesepakatan. Adapun kepemilikan Allah terkait segala sesuatu merupakan kaitan eksistensial dan hakiki, karena keterkaitan hakikat-hakikat eksitensial dengan Allah swt (bahwa segala yang ada adalah ciptaan-Nya). Kepemilikan-Nya adalah sesuatu yang mirip dengan kepemilikan manusia
و چيزى است كه شبيه مالكيت انسان نسبتبه قواى ادراكى و تحريكى خود.
Atas itu, jika tentang ayat di atas dikaji dengan cermat, akan diketahui bahwa Allah swt dengan menunjukkan kekuasaan-Nya atas langit dan bumi, sebenarnya Dia ingin memperlihatkan Diri-Nya kepada Ibrahim melalui penyaksian segala sesuatu (ciptaan-Nya), yang bersandar kepada-Nya. Karena Sandaran ini tak mungkin bersekutu, maka siapa saja yang memandang segala maujud di alam ini, akan sampai pada kesimpulan bahwa tak ada satupun pemelihara dan pengatur sistem alam di tengah seluruh maujud (selain Allah). Patung-patung berhala itu hanyalah benda-benda yang dapat dimusnahkan oleh tangan manusia, dan tak berpengaruh dalam sistem alam.
Muhammad ‘Arif