Membincang Metodologi Ayatullah Murtadha Muthahhari (Bagian Ketiga)
Dasar pemikiran yang sama kiranya terkait dengan tujuan keempat di balik segala kegetolan Muthahhari untuk membangun landasan filosifis dan pandangan dunia Islam ini adalah kesadarannya akan perlunya suatu landasan yang kuat dan koheren bagi pembangunan sistem-sistem Islam di berbagai bidang kehidupan, termasuk di dalamnya sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial, dan sebagainya. Muthahhari memang dikenal juga dengan tulisan-tulisannya mengenai soal-soal ekonomi, sosial, bahkan budaya dalam sorotan ajaran-ajaran Islam. Dalam Pengantar kepada Pandangan Dunia Islam itu Muthahhari memasukkan berbagai tema pembahasan yang dianggapnya sebagai unsur-unsur dari pandangan dunia: Konsepsi tentang Manusia, Pandangan Dunia Tauhid, Konsepsi Kenabian dan Wahyu, Konsepsi tentang Masyarakat dan Sejarah, Imamah, dan Konsepsi tentang Hari Akhir.
Metodologi Muthahhari
Kini saatnya menyinggung – sebagai sebuah pengantar awal – metodologi Muthahhari. Seperti kita lihat dari uraian di atas, tujuan dan agenda Muthahhari sedikit-banyak bersifat ideologis. Nah, menurut Muthahhari (Lihat antara lain,Mengenal Epistemologi), ideologi berakar dari sebuah pandangan dunia (world view atau world conception). Hal ini kiranya akan menjadi lebih jelas jika kita kaitkan dengan pernyataannya mengenai pandangan dunia – dalam Pandangan Dunia Tauhid, yang lagi-lagi merupakan bagian Pengantar terhadap Pandangan Dunia Islam– sebagai berikut: “Setiap doktrin atau filsafat hidup secara tak terelakkan berdasar atas semacam kepercayaan, suatu penilaian tentang hidup dan semacam penafsiran dan analisis tentang dunia. Cara berpikir suatu mazhab (pemikiran) mengenai hidup dan dunia dipercayai merupakan dasar dari seluruh pemikiran aliran tersebut. Dasar ini disebut sebagai pandangan atau konsepsi dunia (world view atau world conception). Semua agama, sistem sosial, dan filsafat sosial (pada gilirannya) didasarkan pada suatu pandangan dunia tertentu. Semua tujuan yang diajukan suatu mazhab pemikiran, cara-cara dan metode-metode yang dilahirkannya merupakan bagian dari pandangan dunia yang dianutnya.”. Pada gilirannya, Muthahhari berkeyakinan bahwa pandangan dunia suatu kelompok manusia ditentukan oleh filsafat yang dominan dalam kelompok itu. Dengan kata lain, seperti ditulisnya dalam buku yang sama, yang menentukan ideologi adalah pandangan dunia filosofis.
Dalam konteks ini, Muthahhari menyadari benar peran epistemology — sebagai akar dari setiap metodologi — di dalamnya. Di samping buku Mengenal Epistemologi yang dirancangnya untuk konsumsi popular ini, Muthahhari masih merasa perlu untuk membahas secara khusus pandangan epistemologis Al-Quran dalam pembahasannya yang berjudul Syenakht dar Qur’an (Epistemologi dalam Al-Quran). Semuanya itu masih dilengkapi dengan pembahasan secara filosofis masalah epistemologi ini dalam syarah yang ditulisnya atas buku filsafat karya filosof besar Iran abad-abad terakhir, Mulla Hadi Sabzawari,Syarh Manzhumah. Dalam buku yang disebut terakhir ini Muthahhari menyatakan : “(Meski begitu menentukannya epistemologi dan, meski pembahasan tentang epistemologi ini sudah dirintis sejak lebih dari dua abad yang lalu, termasuk juga dalam filsafat Islam), sebagian besar persoalan yang menyangkut masalah ini dipaparkan secara terpisah-pisah dalam berbagai pembahasan berkenaan dengan ilmu, pengetahuan, pemahaman, rasio, logika, dan berbagai permasalahan yang berhubungan dengan bentuk pemikiran serta dalam pembahasan mengenai jiwa (nafs). Dahulu sedikit banyak orang telah memahami pentingnya epistemologi, tapi pada zaman ini segala hal yang terkait dengan pandangan dunia bersumbu pada masalah ini.” Nah, dalam pengantar buku – yang merupakan kumpulan ceramah sistematiknya mengenai Epistemologi — ini, Muthahhari mengungkapkan secara panjang lebar masalah ini.
Selain buku Epistemologi dan Pengantar kepada Pandangan Dunia Islamtersebut di atas, Muthahhari masih merasa perlu menulis sebuah buku yang berjudul Penantar kepada Ilmu-ilmu Islam. Ini merupakan salah satu wujudconcern Muthahhari kepada posisi penting epistemologi dan metodologi dalam, baik pemikiran maupun perjuangan Islam. Di dalamnya Muthahhari berupaya memberikan penjelasan yang ringkas tapi menyeluruh tentang berbagai (metodologi) ilmu dalam Islam, termasuk didalamnya Logika, Kalam, Filsafat, Tasawuf, Etika, dan Ushul Fiqh. Dapat diduga bahwa Muthahhari beranggapan bahwa penguasaan terhadap ilmu-ilmu Islam yang cukup komprehensif ini diharapkan akan memampukan kaum Muslim dalam menggali segenap sumber-sumber pemikiran Islam sekaligus mengambil manfaat secara tepat terhadap sumber-sumber ilmu lainnya di luar Islam. Dengan demikian, kiranya bukan saja kaum Muslim bisa lebih baik dalam memberikan kontribusi kepada peradaban umat manusia, lebih dari itu diharapkan mereka akan dapat menyeleksi pengaruh-pengaruh yang datang kepada mereka dari luar dengan suatu cara yang bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga, pada akhirnya, kaum Muslim bisa melahirkan pemikiran-pemikiran dan sistem-sistem yang koheren dan viable sebagaimana dicita-citakan.
Kesimpulannya, pada dasarnya metodologi Muthahhari adalah rasional-filosofis. Bagi pengkaji buku-bukunya, tampak jelas bahwa Muthahhari biasa membahas setiap persoalan pertama sekali secara rasional dan filosofis. Baru belakangan dia memverifikasinya dengan dasar-dasar keislaman : al-Qur’an dan Hadis. Dan bukan sebaliknya. Itu sebabnya, Muthahhari di Iran, bersama Ayatullah Muhammad Taqi Ja’fari, dikenal sebagai bagian dari kelompok “mazhab kalami”.
Lalu, di mana letak ‘irfan dalam pemikiran-pemikiran Muthahhari? Tampaknya‘irfan bagi Muthahhari tidak terutama dan secara langsung memliki signifikansi epistemologis dan metodologis. Sebagaimana tampak dalam beberapa buku tentang ‘irfan yang ditulisnya, termasuk Spiritual Discourses, atau Perfect Man,‘irfan telah memberinya lebih banyak bahan dalam membahas berbagai soal secara filosofis. Persis sebagaimana perannya dalam aliran hikmah, yang memang merupakan spesialisasi Muthahhari di bidang filsafat. Di samping itu,‘irfan bagi tokoh ini juga berperan dalam memberikan sentuhan emosional – dan poetik — dalam pemikiran-pemikirannya yang, otherwise, amat rasional filosofis.
Dr. Haidar Bagir