Memetik Hikmah dan Pelajaran dari Taubatnya Nabi Dawud
Adapun taubatnya para nabi maka cukuplah Anda memperhatikan riwayat yang menceritakan taubatnya Nabi Dawud alaihi salam. Diriwayatkan bahwa ketika beliau mengetahui setelah turunnya dua malaikat untuk memperingatkan beliau maka beliau selama empat puluh puluh hari bersujud dan tidak mengangkat kepalanya dari sujud kecuali untuk suatu keperluan dan salat. Dan selama empat puluh hari ini, beliau tidak makan dan tidak minum dan seluruh waktunya dihabiskan dalam tangisan. Begitu banyaknya tangisan itu sehingga dari matanya mengalirlah air yang menggenangi di sekitarnya. Bahkan di dekat kepalanya tumbuhlah tanaman-tanaman dari air matanya itu. Nabi Dawud dalam seluruh waktunya selalu memanggil Allah Swt dan menyerunya dengan lisan yang berasal dari hati yang hancur dan terbakar. Beliau bertaubat dengan sungguh-sungguh dan di antara munajat yang diucapkannya adalah: Mahasuci Allah, Pencipta cahaya. Dahi terluka karena panjangnya sujud dan air mata pun telah habis tertumpah dan kedua kaki pun memar. Dalam keadaan seperti ini, aku terluka sehingga kedua lututku terasa melekat dengan kulitku.
Kemudian datanglah suara yang menyeru: Wahai Dawud, bila engkau lapar Aku akan memberimu makanan. Apakah engkau haus sehinggga Aku beri minum? Apakah engkau teraniaya sehingga Aku menolongmu, tetapi Dawud tidak pernah menyebutkan nama dari dosanya. Nabi Dawud berteriak sambil berkata, ada dosa yang ingin aku ucapkan yang telah aku lakukan. Ada suara yang menyeru: Angkatlah kepalamu dari sujud sehingga Aku mengampunimu. Dawud tetap tidak mau mengangkat kepalanya sehingga jibril pun datang lalu kepalanya pun diangkatnya. Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa setelah diterimanya taubatnya, lagi-lagi beliau menangisi dosanya dimana saking hebatnya tangisan dan teriakannya sehingga orang-orang yang mendengarnya pun mati dan beliau pun berkali-kali jatuh pingsan.[1]
Menyiapkan Sarana Menuju Taubat
Ringkasnya, hendaklah taubat dilakukan dengan diawali dengan penyesalan, ketundukan, keagungan dan tangisan, baik secara kualitas maupun kuantitas yang sesuai dengan banyaknya dosa, dan utamanya hendaklah yang bersangkutan menyeru Allah Swt saat beristghfar kepada-Nya dengan memanggil-manggil asma’-Nya dan sifat-sifat-Nya yang sesuai dengan maqam taubat, bahkan sesuai dengan dosanya yang karenanya ia bertaubat. Bila taubat itu dari dosa yang khusus maka hendaklah dilakukan dalam keadaan dan kondisi dan pakaian dan gerakan yang mampu lebih menarik rahmat dan kasih sayang Ilahi Misalnya, dengan rayuan, menunjukkan ketidakmampuan dan rasa takut akan siksa Ilahi. Dan hendaklah ia masuk dari pintu yang sesuai dengan keadaannya.
Jadi, hendaklah ia masuk dari pintu-pintu rahmat Ilahi yang sesuai dengan keadaannya. Bila ia tidak mampu masuk dari pintu manapun maka hendaklah mau tidak mau ia masuk dari pintu ketidakputus asaan, yaitu pintu Iblis dan mengatakan:
Wahai yang mengabulkan permohonan makhluk-Nya yang paling dibenci, yaitu Iblis ketika ia meminta masa tangguh (masa tempo) maka janganlah engkau halangi aku dari ijabah-Mu.
Jadi, ketahuilah bahwa pintu taubat sebelum menyaksikan kematian itu akan tetap terbuka meskipun dosanya tidak bisa dibayangkan.
Dan hendaklah ia mengetahui bahwa rasa putus asa dari rahmat Allah Swt adalah seburuk-buruk dosa dan ketahuilah bahwa tidak ada dosa yang lebih tinggi daripada putus asa dari rahmat Ilahi. Saya mungkin kurang beradab menyebutkannya tetapi karena ini adalah pembelajaran bagi kita bersama maka saya harus menyebutkannya, yaitu putus asa dari rahmat Allah itu lebih buruk daripada membunuh para nabi.
Kesimpulan, ini juga hal yang penting, yaitu pesuluk harus mengetahui bahwa setan itu mencurahkan segala tenaganya supaya manusia dalam setiap keadaan itu tercegah dari jalan menuju Allah Swt. Dan bila jalan-jalan dari jalan yang biasa, yaitu hawa nafsu ia tidak dapat dibuatnya untuk menyimpangkan manusia maka ia ingin menyelewengkan manusia melalui jalan-jalan syariat dan akal. Bila juga manusia tidak mampu dikuasainya melalui jalan ini maka setan akan mengatakan bahwa urusanmu telah selesai; engkau tidak akan pernah mampu melakukan taubat yang hakiki; taubat yang hakiki memiliki syarat-syarat; engkau mana mampu mengamalkan syarat-syarat itu dan bila syarat-syaratnya tidak mampu engkau lakukan maka tidak taubat lebih baik daripada taubat bohong-bohongan. Di samping itu, setan akan mengatakan: engkau sedemikian banyak melakukan dosa maka kelayakan dan kebahagiaan untuk diterimanya taubat tidak akan mungkin engkau peroleh.
Bila pesuluk mendengarkan ocehan-ocehan ini dan menerimanya maka ia akan kalah. Sehingga setan yang terkutuk akan memenuhi keinginannya. Dan bila ocehan-ocehan setan ini dijawabnya dan ditolaknya maka ia mengatakan: Pertama, rahmat Allah Swt yang mampu diimajinasikannya adalah rahmat yang membuat engkau pun (Iblis) tidak berputus asa dan doamu mustajab. Kedua, bila aku tidak mampu melakukan taubat hakiki yang sempurna maka sebatas manapun taubat yang aku lakukan akan aku lakukan. Mungkin saja Allah yang Maha Pengasih dengan kadar taubat ini yang aku lakukan akan memberiku taufiq untuk menggantarkan aku ke arah taubat yang lebih tinggi dan lebih sempurna darinya. Dan bila aku melakukan itu maka lagi-lagi Allah Swt akan memberikan kepadaku petunjuk yang lebih tinggi sehingga aku disampaikannya kepada taubat yang sempurna. Sebagaimana kebiasaan Allah Swt memang demikian. Namun bila ucapanmu yang aku dengar maka kehancuran yang pasti dan ketidakselamatan dan keterputusasaan dimana semua itu merupakan dosa besar yang menghancurkan yang mungkin saja akan menyebabkan penyegeraan azab dan menyebabkan bertambahnya azab dan kerugian dunia dan akhirat.
[1] Bihar al Anwar 14/28.