Mengapa Fatimah Zahra Berduka?
Mengapa Fatimah Zahra Berduka?
Sejarah Islam menunjukkan dukacita Fatimah Zahra sepeninggal ayahnya, Rasulullah saw. Tak terkira bagaimana suasana di dalam rumah Ahlulbait Nabi saw bila Sayidah Fatimah Zahra selalu bersedih dan banyak menangis di sepanjang sisa hidupnya. Meski suami beliau Sayidina Ali dan anak-anak mereka selalu hadir di sisinya, tak seorang pun yang mampu menghapus kesedihan di hatinya. Keluarga yang disucikan Allah swt (QS. Al-Ahzab 33) dengan semua keutamaan yang mereka miliki, mereka sangat menghormati Sayidah Fatimah, sebagaimana penghormatan Rasulullah saw terhadap putri kecintaannya ini.
Wajah suci yang terbit cerah di masa hidup Rasulullah saw itu, seketika terbenam dalam duka untuk selamanya. لم تر ضاحكة قط; “Tak pernah sekalipun terlihat gembira..” (ath-Thabaqat al-Kubra 2/312; Hilyatu al-Awliya` 2:43/133). Para sahabat Nabi saw pun sangat menghormati Sayidah Fatimah. Diceritakan, setelah Nabi saw wafat, Bilal mengungkapkan: “Aku tidak akan mengumandangkan azan untuk siapapun..”
Suatu hari Fatimah berkata, “Aku ingin mendengar suara Bilal sang muazin ayahku.” Perkataan beliau ini kemudian sampai kepada Bilal. Maka dikumandangkan lah azan oleh Bilal: “Allahu akbar..Allahu akbar..”, Fatimah jadi ingat ayahnya dan terkenang masa hidup Rasulullah, hingga tak bisa menahan tangis. Sampai pada, “Asyhadu anna muhammadar rasulullah…” Fatimah histeris dan jatuh pingsan.
Ketika itu orang-orang berkata kepada Bilal, “Hentikan hai Bilal! Putri Rasulullah saw meninggal dunia!.” Mereka mengira Fatimah telah wafat. Maka Bilal berhenti, tidak menuntaskan azannya. Lalu Fatimah pun siuman, dan meminta Bilal agar melanjutkan azannya.
Tetapi Bilal berkata, “Wahai pemuka para wanita, aku khawatir akan terjadi apa-apa pada dirimu bila engkau mendengar suara azanku!”. (Man la Yahdhuruhu al-Faqih 1, hadis 907)
Dalam kedukaan dengan banyak tangisan yang terdengar di luar siang dan malam, agar rintihan tangis beliau yang tak henti-henti dan sangat memilukan itu tidak mengganggu para tetangga sekitar, Sayidina Ali membangun sebuah tempat tinggal khusus baginya di luar Madinah. Ialah rumah yang kemudian dikenal dengan “Baitul Ahzan” (rumah penuh duka).
Dukacita Sayidah Fatimah yang sedemikian dalam, mengapa? Jika sepenuhnya karena ditinggal wafat oleh sang ayah yang sangat dicintainya, tidakkah beliau menyadari bahwa setiap manusia di dunia yang fana ini pasti akan berpisah dengan orang-orang yang disayanginya? Bukankah kepergian mereka -untuk selamanya- dari kehidupan duniawi adalah sebuah kepastian atas kehendak Allah swt?
Faktor Utama Kedukaan Sayidah Fatimah
Ya, kepergian Rasulullah saw menjadi faktor kedukaan Fatimah Zahra. Adakah faktor-faktor lain yang menghimpun pada dirinya? Hanya Allah dan Rasul-Nya mengetahui semuanya yang telah menimpa Sayidah Fatimah. Bagaimana duka putri Rasulullah saw ini, beliau sendiri sempat melukiskannya secara global bagi kita:
صبت علي مصائب لو أنها صبت على الأيام صرن لياليا; Artinya kira-kira, “Berbagai musibah telah menimpaku, seandainya ditimpakan kepada siang hari niscaya menjadi malam.”
Telaah sejarah menyimpulkan bahwa penyimpangan umat sepeninggal Rasulullah saw, yang berakibat perselisihan, pertikaian dan perpecahan di antara mereka, menjadi faktor lainnya yang utama bagi dukacita Fatimah Zahra. Dapat dirujuk sejarahnya dari setelah peristiwa Saqifah bani Sa’idah sampai peristiwa berdarah di Karbala. Bahkan semua peristiwa yang terjadi di dalam tubuh umat Islam sendiri, terkait dengan kekuasaan dan penindasan atas nama Islam hingga saat ini, tercakup dalam duka yang menimpa Fatimah Zahra.
Di sisi lain bahwa kepentingan seorang pribadi agung seperti Sayidah Fatimah adalah kepentingan dalam risalah ilahiah yang dibawa Rasulullah saw. Yaitu, terkait dengan umat manusia dan keselamatan mereka di dunia dan akhirat mereka. Meski seluruh hidup dan aktifitas beliau lebih banyak di dalam rumah dan dalam urusan rumah tangga, setiap nafas beliau sebagaimana nafas pengabdian Rasulullah saw kepada umatnya. Bagaimana bisa demikian? Dapat dikukuhkan dengan pendekatan yang sederhana berikut ini:
Pertama, seorang ibu yang terbaik seperti beliau berbuat banyak hal yang positif di dalam rumah, seperti membimbing anak-anaknya dengan benar. Artinya bahwa ia sedang mempersiapkan manusia-manusia terbaik dan akan mempersembahkan mereka kepada masyarakat. Lahir darinya seperti al-Hasan, al-Husain dan Zainab al-‘Aqilah yang adalah figur-figur sempurna bagi umat manusia.
Kedua, selain bagaimana ibadah beliau kepada Allah, kepeduliannya yang besar terhadap orang lain dan masyarakat terlihat di dalam doa dan amal sosialnya. Dalam riwayat diceritakan bahwa ketika putranya, al-Hasan, selalu mendengar dalam munajat ibunya setiap malam, beliau mendoakan orang-orang lain sebelum keluarganya. Ketika ditanya, mengapa? Beliau menjawab, “Dahulukan tetangga sebelum orang rumah..”.
Dapat dirujuk riwayat tentang QS. Al-Insan 7-9, yang menunjukkan sifat itsârnya yang tinggi (mendahulukan kepentingan orang lain), ketika beliau dan keluarganya memberi makan kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan. Ringkasnya bahwa urusan Fatimah Zahra adalah sebagaimana urusan ayahnya, yaitu urusan umat Nabi saw. Karena itu, beliau sangat bersedih bila melihat umat sepeninggal Rasulullah saw, menjadi menyimpang yang berakibat buruk bagi mereka sendiri.