Menurut Al-Quran, Kita Memang Belum Beriman
Oleh: Otong Sulaeman
Ikmalonline.com –Gonjang-ganjing soal istilah kafir yang digantikan dengan istilah non-Muslim hingga kini masih menjadi perdebatan hangat. Tentu masalah ini menjadi besar dan sensitif karena dihubung-hubungkan dengan konstelasi politik nasional menjelang pilpres. Perhatikanlah, bagaimana pro kontra itu muncul di antara mereka yang terafiliasi dengan salah satu di antara kedua kubu kontestansi pilpres.
Dalam tulisan ini, saya hanya akan mencoba meneropong istilah kafir-Muslim-Mukmin dari sisi Al-Quran, terlepas dari konteks sosial-politiknya.
Di dalam Al-Quran, kekafiran (kufr) itu biasanya dipertentangkan dengan keimanan (iman). Kufr dimaknai sebagai orang yang tidak percaya (menolak untuk percaya) kepada ajaran Islam. Sebagai konsekwensinya, ia memang tidak melaksanakan apa yang tidak ia percayai itu, Misalnya, ia menolak percaya bahwa minum khamar itu terlarang. Karena itu, ia akan meminum khamar kapanpun ia mau. Adapun keimanan berlaku sebaliknya. Ia percaya kepada ajaran agama, dan ia melakukannya. Contohnya, ia percaya bahwa puasa di bulan Ramadhan itu wajib, maka ia pun melakukannya.
Itu adalah definisi keimanan versus kufr yang sederhana. Faktanya, di dalam ayat-ayat Al-Quran dikatakan bahwa keimanan dan kekafiran itu bersifat gradatif. Ada kekufuran tingkatan tertinggi yang bermakna keimanannya berada di titik nadir. Tapi ada juga keimanan yang hakiki, di mana tak ada kekufuran di dalamnya. Sebagian besar dari kita kemungkinannya tidak berada di dua titik ekstrem itu. Kita beriman, tapi derajat keimanan kita tidak berada di titik yang aman dan mulia.
Bagaimana kita bisa tahu seberapa seberapa murni dan genuine keimanan kita? Al-Quran memberitahu kita parameternya. Di dalam Al-Quran, ada empat ayat Al-Quran yang diawali dengan kata “innama al-mu’minuuna…” yang secara sederhana diartikan “Orang-orang yang beriman itu hanyalah … Jika dibuatkan redaksi terjemahan bebasnya, ayat-ayat tersebut bermakna “Hanya orang-orang dengan ciri-ciri inilah yang disebut sebagai orang-orang mukmin sejati”. Kita lihat keempat ayat tersebut.
- Al-Anfal: 2
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka, dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
- An Nur: 62
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَى أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ
Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mu’min hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan pertemuan itu sebelum meminta izin kepadanya.
- Al Hujurat: 10
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
Sesungguhnya, orang-orang beriman itu tak lain hanyalah bersaudara
- Al Hujurat: 15
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar
Jika kita sandingkan keempat ayat ini secara keseluruhan akan kita dapati gambaran secara menyeluruh tanda-tanda mukmin sejati sebagaimana yang dikehendaki oleh Al Quran. Minimalnya, ada tujuh ciri yang dikemukakan oleh keempat ayat tersebut, yaitu:
- Hati mereka selalu tertambat kepada Allah (bukan kepada harta atau kedudukan).
- Keimanan mereka tidak statis, melainkan selalu bertambah menuju kesempurnaan. Setiap ada pesan agama yang baru mereka pahami, pesan itu selalu mereka terima dengan taat dan mereka laksanakan.
- Memiliki tingkat ketawakalan kepada Allah yang sangat tinggi. Tempat mereka menggantungkan harapan hanyalah Allah, bukan manusia, jabatan, kontrak kerja, gaji kantor, dan lain sebagainya.
- Dalam kehidupan sosial, mereka hanya menjadikan pemuka agama sebagai pemimpin, dan tidak pernah membantah sedikitpun terhadap pemimpin tersebut.
- Mereka orang yang sangat egaliter (merasa sama dengan mukmin yang lain) dan tidak sombong.
- Keimanan mereka sangat kuat, didasarkan kepada ilmu, akal, dan fitrah Ilahi. Segala macam cobaan yang datang sama sekali tidak membuatnya meragukan keimanan kepada Allah.
- Siap berjihad dengan harta dan nyawa
Inilah ciri-ciri orang yang beriman. Salah satu saja dari ketujuh ciri itu lepas dari kepribadian seseorang, maka dia tidak layak menyandang sebagai Mukmin sejati. Sedangkan jika ketujuh ciri di atas terdapat pada seseorang, bisa dipastikan bahwa orang tersebut sangatlah mulia dan bermartabat.
Keimanan yang sejati memang pasti akan melahirkan pribadi-pribadi yang mulia. Jika kita masih belum merasa menjadi pribadi yang mulia, keimanan kita memang belum sampai tingkatan yang ideal. (os)