Mukasyafah (Bagian Kedua)

mukasyafah
Yaitu cahaya khusus hadrati yang Allah Swt berikan kepada hamba-hamba-Nya dimana dengan perantaranya mereka mampu menggapai alam sifat-Nya.
Sebagaimana hati adalah perantara alam mulk dan malakut, dimana di satu sisi berada di alam malakut dan yang lain berada di alam mulk. Dengan tampilan yang ada pada alam malakut, ia mampu memancarkan cahaya akal dan ruh. Dan dengan tampilan yang pada alam mulk, ia pun memiliki pengaruh-pengaruh cahaya spiritual dan rasional yang mampu menembus kepada jiwa dan raga dan rahasia perantara alam ruh dan hati pun terjadi. Sehingga dengan tampilan yang ada di dalam ruh, ia akan memanfaatkan pelbagai anugerahnya. Dan dengan tampilan yang ada dalam hati, maka pelbagai macam hakikat-hakikat anugerah tersebut akan sampai (kepada tujuannya). Begitu juga ketersembunyian perantara alam sifat-sifat ketuhanan dan spiritual pun akan terjadi, sehingga mampu menyaksikan sifat-sifat Tuhan dimana gambar dan pantulannya pun dirasakan oleh alam spiritual. Dan yang demikian ini disebut dengan penyingkapan sifat-sifat (kasyaf shifati).
Dan Allah yang Mahamulia dalam keadaan ini bila mengalami penyingkapan di sifat alam maka terjadi apa yang disebut dengan ilmu laduni dan bila mencapai penyingkapan sifat-sifat Kebesaran maka disebut dengan fana’ hakiki. Demikian juga terkiat dengan sifat-sifat selainnya. Adapun penyingkapan esensial (kasyf dzati) merupakan sebuah kedudukan yang tinggi yang tidak mampu diungkapkan dengan kata-kata dan dilukiskan dengan sesuatu. Semoga Allah Swt menjadikan kita termasuk sebagai orang-orang yang berhasil menggapainya. Kitab “Falah al-Sa’il”, halaman 211, Tahqiq Majdi.
Dan kekuatan manusia tidak mampu menangkap dan menyaksikan kebesaran Ilahi. Dan hati-hatilah wahai orang yang tidak mengetahui hakikat hal tersebut. Bila Anda menganggap hal itu mustahil atau jauh sekali dari kenyataan atau setan menjadikan keraguan pada sesuatu yang mungkin saja terjadi dari apa yang kami riwayatkan. Sebaiknya Anda menjadi orang yang membenarkan. Tidakkah Anda mendengar Allah Swt berfirman bahwa, tatkala Tuhan memanifestasi pada gunung maka gunung itu pun hancur dan musa pun jatuh pingsan.
Manusia bila ingin menyingkap alam-alam ini dan menyaksikannya maka tujuan yang agung harus segera digariskannya/ ditetapkannya dan dia harus mengetahui apa yang sebenarnya sedang dicarinya. Dia harus memahami betapa besar sesuatu yang dicarinya, sehingga kesungguhannya dalam mencari sesuai dengan kebesaran sesuatu yang dicarinya. Misalnya, orang yang berusaha mencari sesuatu yang rendah maka kesungguhannya dalam mencari tentu tidak bisa dibandingkan dengan orang yang mencari kekuasaan alam. Namun karena yang dicari ini kebesarannya dilihat dari sisi kemuliaan dan cahaya kewibawaan dan kekuasaannya serta kenikmatannya tidak sebanding bahkan tidak bisa dibandingkan dengan apapun hakikatnya. Dan seorang pemula tidak mampu membayangkannya meskipun dia berusaha membayangkan maka ia tidak akan mampu mencapai salah satu daripada ribuan hakikatnya. Oleh karena itu, secara global maka ia harus mengkiaskannya dengan ukuran rasional dan hal-hal yang diketahui oleh dirinya sendiri. Misalnya, kemuliaan-kemuliaan yang ada pada alam kebenaran dan alam materi yang dilihatnya dari para pembesar dunia dan orang yang dekat dengan penguasa dan kekuasaan itu sendiri. Misalnya, ia membayangkan seluruh kekuasaan alam lalu setelah itu hendaklah ia mengkiaskan kekuasaan langit yang dilihatnya begitu agung dan mulia. Saat itu, ia mengkiaskan alam fisik dengan alam ghaib, malakut, jabarut dan selainnya.
Hendaklah ia membandingkan antara alam inderawi dan alam alam gaib malakut dan jabarut serta selainnya. Kemudian hendaklah ia merenungkan kualitas kekuasaan penguasa-penguasa dunia lalu hendaklah ia membandingkannya dengan kekuasaan spiritual. Sehingga ia akan melihat bahwa kekuasaan para penguasa ini yang hanya berlangsung puluhan tahun saja akan seperti apa keadaannya jika dibandingkan dengan kekuasaan abadi?!
Tentu saja masih banyak ribuan kekurangan yang ada dan bisa dibayangkan dengan kekuasaan dunia ini.
Adapun kekuasaan spiritual adalah kekuasaan yang hakiki. Seperti kekuasaan manusia terhadap anggota tubuhnya, kekuatan dan daya khayalnya. Misalnya hendaklah ia memperhatikan penggambaran kekuasaan ukhrawi sebagaimana diberitakan oleh riwayat-riwayat dalam bab kekuasaan ahli surga dimana ada perintah dari sisi Allah Swt kepada mereka dan ditulis di dalamnya: Aku menjadikanmu makhluk yang hidup yang tidak akan mati dan engkau mampu mengatakan kepada sesuatu, ‘jadilah maka ia menjadi sesuatu’.[1]
[1] Disebutkan dalam hadis qudsi bahwa Allah Swt berfirman: Hamba-Ku, taatlah kepada-Ku niscaya Aku akan menjadikanmu seperti-Ku. Aku Mahahidup dan tidak akan mati dan Aku pun menjadikanmu hidup dan tidak mati; Aku Mahakaya sehingga tidak membutuhkan sesuatu pun, maka Aku pun menjadikanmu kaya dan tidak membutuhkan sesuatu pun. Aku dalam kondisi apapun akan tetap ada dan Aku pun menjadikanmu dalam kondisi apapun akan senantiasa ada!
Ka’ab al Ahbar meriwayatkan hadis ini dengan redaksi yang lain sebagai berikut: Wahai anak Adam, Aku Mahakaya dan tidak membutuhkan sesuatu pun. Taatlah kepada-Ku atas apa yang Aku perintahkan kepadamu, sehingga Aku pun menjadikanmu kaya dan tidak membutuhkan sesuatu pun. Wahai anak Adam, Aku Mahahidup dan tidak mati. Taatilah Aku atas apa yang Aku perintahkan kepadamu, niscaya Aku akan menjadikanmu pun hidup dan tidak mati. Aku mengatakan kepada sesuatu ‘jadilah’ maka menjadilah ia sesuatu; taatlah kepada-Ku atas apa yang aku perintahkan kepadamu, sehingga engkau pun dapat mengatakan kepada sesuatu ‘jadilah’ maka ia menjadi sesuatu!
Kalimatullah, halaman 140 dan pada halaman 536 sumber-sumbernya berasal dari kitab ‘Uddah ad Da’i dimana Ahmad bin Fahd Hilli menyebutnya dari Ka’ab al Ahbar dan Hafizh Rajab Barsi dari kitab Masyariq Anwar al Yaqin serta Hasan bin Muhammad Dailami dari kitab Irsyad al Qulub.
Pada halaman 143, ia mengatakan: Dalam hadis qudsi juga disebutkan, sesungguhnya Allah Swt memiliki hamba-hamba yang menaati-Nya atas apa yang Ia inginkan lalu Allah Swt pun menuruti kemauan mereka atas apa yang mereka inginkan, sehingga mereka mengatakan kepada sesuatu ‘jadilah’ maka ia menjadi sesuatu.
Dan pada halaman 537, Hafizh Rajab Barsi menyebutkkan sumbernya berasal dari kitab Masyariq Anwar al Yaqin.